O, betapa puisi kerap berambisi adu sakti. Kosakata berjajar saling unjuk muka; mana yang lebih indah?
Sedang aku yang tak mengerti rahim diksi, hanya mampu menabur di tanah berbatu, berharap semesta iba lalu menumbuhkan benih di situ. Kurawat sepenuh cinta dalam lembar-lembar kertas wangi kenanga yang bisa saja lapuk di rak buku tua, lenyap dilahap rayap atau koyak dirajam hujan, tetapi abadi di ingatan.
Kelak, jika musim panen tiba, sekiranya pemilik ladang tak alpa mengundangku ke pesta, aku pasti turut serta merayakan sukacita. Hingga di kepala ini tumbuh sulur-sulur kata, merimbun, membaur, menjalar di sepanjang khatulistiwa. Menjadi masa di mana puisi bukan sekadar aksara tanpa makna.
Ia menyatukan yang tercerai, membawa pulang yang terhilang, dalam satu wadah mahaindah bak kantong anggur kulit tanpa cacat cela. Rupa-rupa aksara dalam satu nama; puisi Indonesia.
Sebab puisi sesungguhnya adalah yang memerdekakan jiwa, meski beda selera.