Membahas semua hal yang berkaitan dengan rusak-nya alam dan lingkungan hidup, maka jika di-list akan terlalu panjang urutan-nya bahkan banyak sudah yang terlupakan dan juga diabaikan dengan atau tidak disengaja. Cukup saja jika di-lihat dari beberapa kasus yang ada di Indonesia, seperti kasus ulat bulu, punah dan langka-nya flora dan fauna, konversi lahan, lumpur Lapindo, Teluk Buyat di Sulawesi Utara, tambang emas di Freeport, puluhan area tambang di Samarinda yang tidak menjalankan pengelolaan lingkungan, yang bahkan sempat beberapa waktu lalu menewaskan tiga orang bocah, dan banyak lagi kasus-kasus pengrusakan lingkungan lainnya. Mengenai persoalan tambang sendiri telah merupakan polemik tak berkesudahan, konflik yang berputar antara dampak terhadap lingkungan hidup untuk seluruh mahluk bumi dan tuntutan hidup yang sebagian-nya memanfaatkan hal ini untuk kepentingan tertentu. Bijak dan tidak bijak-nya persoalan itu telah menjadi pandangan abu-abu.
Lingkup yang lebih kecil atau lebih sederhana seperti apa yang dikenakan sehari-hari, dengan sadar atau tanpa sadar ada banyak yang terbuat dari bahan-bahan yang masuk dalam kelompok “environmental vandal”. Seperti aksesoris atau ornamen yang terbuat dari salah-satu bagian dari hewan atau tumbuhan, yang sebenarnya adalah termasuk hewan dan tumbuhan yang dilindungi dan bahkan telah hampir punah, atau hewan dan tumbuhan yang tidak di-khususkan untuk diproduksi sebagai bahan kegunaan. Meskipun dengan alasan dan cara apa-pun benda-benda tersebut diperoleh, tetapi yang menarik adalah ketertarikan untuk memiliki dan menggunakannya, hal inilah yang mendorong terus-menerus eksploitasi ke-arah tersebut dan dukungan seperti itu sangat berpengaruh. Pada kenyataannya, manusia adalah tokoh vandalism tunggal yang cukup besar peranan-nya dalam up and down keseimbangan lingkungan hidup.
Kemudian sebagai seseorang yang mengaku pencinta alam dan peduli terhadap lingkungan, apakah benar mencintai alam dan lingkungan-nya atau hanya menggunakan alam sebagai simbol peng-akuan diri? Berteriak lantang, berdiskusi dan menulis tentang pengrusakan lingkungan. Tetapi masih mengalungkan berbagai bandul gigi, tanduk, kulit, kuku yang melekat pada diri atau menoreh mandau dan pisau pada batang pohon sebagai tanda agar tidak kembali dengan tersesat ketika melakukan suatu perjalanan. Atau juga membiarkan sampah plastik yang proses penguraian-nya seribu tahun oleh tanah berserakan, dan banyak hal-hal yang di-anggap sepele lainnya. Hal kecil yang mencerminkan pribadi sesungguhnya, hal kecil yang berlaku pada siapa saja. Hal kecil yang justru menjadi cikal-bakal environmental vandal.
By’ -Hangi- 6 Sept 11