Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Bencana Tohoku: Diguncang Gempa 9.0 SR, Terseret Tsunami dan Selamat

5 April 2011   07:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:06 290 0
Seumur-umur diguncang gempa dahsyat 9.0 SR, terseret tsunami 10 meter dan selamat? Namun itulah yang dialami Aji, Juru Masak sebuah kapal ikan Jepang Kinemaru yang sedang berlabuh di Kesennuma-shi, Prefektur Miyagi. Saat itu, 11 Maret 2011 jelang pukul 15.00. "Baru saja, kami selesai makan siang," papar Aji asal Tegal membuka cerita. Di saat membereskan peralatan makan, wisma tempat 33 ABK (Anak Buah Kapal) bersandar diguncang gempa dahsyat yang kemudian diketahui 9.0 Skala Richter. Sepuluh menit setelah itu, sirene peringatan tsunami meraung di sepanjang pantai.

"Pemilik kapal segera mengajak kami menaiki kapal. Dan saya diminta secepatnya membereskan peralatan dapur," tambah Aji. Menurut perkiraan, dengan ke  tengah laut maka gelombang tsunami tidak akan membahayakan. Namun belum lagi ABK menaiki kapal, sirene tsunami meraung kembali. Pemilik kapal segera memerintahkan lari menjauh.

Aji yang saat itu sudah siap beranjak ke kapal, kembali membereskan peralatan dapur yang terjatuh berantakan karena gempa susulan kedua. "Pikir saya, kalau tsunami setengah meter atau tiga meter kita sudah biasa." Namun perkiraannya kurang tepat. Di tengah menaikan panci, telinganya mendengar suara gemuruh lalu air mulai membasahi mata kakinya. Lalu naik lebih atas lagi. Tidak menunda waktu, Aji langsung menaiki tangga menuju lantai dua. Sempat dilongoknya jendela, dan sungguh terperanjat. Air sangat tinggi. "Saya langsung naik ke atas genting, di lantai tiga!"

Dengan hitungan detik, bangunan wisma terhempas gelombang tsunami. Terapung mengikuti arus. Dengan Aji di atasnya. Namun malang tak dapat ditolak untung tak bisa diraih, bangunan wisma terhenti tak berapa lama, terhalang oleh bangunan hotel yang masih berdiri tegak tak jauh dari bangunan wisma berdiri. Di situ, Aji berjam-jam di bawah hujan salju tanpa mantel  tanpa sepatu. Kedinginan. Terkurung air.  Udara menunjukan di bawah 4 derajat.

Sementara itu, 32 teman ABK lainnya sudah berada di teras hotel yang terletak di atas bukit. "Pukul lima sore, kami sudah ingin turun mencari Aji," tutur Tomo, salah satu ABK. "Namun pemilik kapal melarang karena dirasa belum aman."  Baru kira-kira pukul delapan tengah malam itu, Tomo dan kawan-kawan menyusuri jalan mencari lokasi wisma berada. Sementara Aji tengah melangkah di antara genting dan reruntuhan.

"Akhirnya kami bertemu," tutur Tomo. "Saya bawakan sandal yang saya temukan di jalan. Namun Aji menolak karena bukan miliknya." Tanpa alas kaki mereka bersama-sama menapaki genting. Di antara reruntuhan terdengar suara meminta tolong. Mereka melongok ke bawah dan melihat ibu tua di atas kursi roda selamat di dalam rumahnya. Bendera merah yang diikatnya di sebatang kayu dikibarkannya di antara genting-genting yang runtuh. "Luar biasa sekali ibu tua itu," desah Tomo dengan mata berkilat.

Di saat bersamaan tak jauh dari lokasi 33 ABK itu berada, sejumlah pekerja wanita Indonesia di sebuah perusahaan ikan juga tengah berjuang menjauh dari  tsunami. Saat tsunami hendak menelan seluruh kapal dan bangunan di sepanjang pantai Kesennuma, mereka tengah membersihkan telur ikan dan mengemas daging ikan. Sirene yang meraung menyusul gempa kedua kalinya itu hanya berbeda beberapa menit saja dengan gulungan ombak. Seluruh pekerja wanita dan pemilik  perusahaan itu berhasil lari ke atas bangunan yang sengaja dibangun pemda setempat untuk mengantisipasi gempa dan tsunami. Di gedung terbuka itu, mereka menyaksikan gelombang tsunami yang dahsyat menggulung apa saja. Rumah, pepohonan, mobil bahkan tiga kapal besar puluhan ton yang terseret ke arah mereka.

Mereka panik luar biasa. "Kami spontan menyeru Allahu Akbar! Allahu Akbar!" cerita Mei asal Jawa Tengah. "Kita betul-betul takut, Bu seandainya tiga kapal itu menabrak bangunan tempat kita berdiri."

"Semua orang Jepang bingung melihat kami." "Namun Allah Maha Mendengar sesaat sebelum benar-benar dekat dengan kami,  dua buah kapal besar itu membelok ke kanan dan satu kapal lainnya ke kiri," tambahnya dengan mata berbinar.

Tsunami belum lagi surut. Api berkobar di mana-mana. "Kami terkurung air dan api, Bu," papar Mei dan Rena. Suasana betul-betul menegangkan. Maka ketika air perlahan menyurut mereka beranjak meninggalkan tempat itu beramai-ramai. Hujan salju, udara yang dingin dan perut yang kosong tidak menjadi penghalang untuk mencari tempat penampungan, sebuah sekolahan.

"Sepanjang jalan, kami memunguti makanan kaleng yang terbawa tsunami," tutur Mei kembali. Dan beberapa hari di tempat penampungan itu, air minum dan makanan sangat terbatas. "Onigiri kami bagi dua. Biskuit satu keping kami bagi ramai-ramai."

Tak putusnya mereka berdoa agar ada wartawan datang. "Dan hari kedua ada orang Jepang dari kampung terdekat sudah mulai menjenguk kami. Kami senang sekali. Di hari ketiga dari KBRI sudah menjemput kami," tutur Rena dan kawan-kawan dengan raut bahagia. Perpisahan bersama pemilik perusahaan dan teman-teman di penampungan sementara itu sangat mengharukan, "Kami bertangisan, berpelukan dengan teman-teman di sana. Kami berat sekali berpisah dengan pemilik perusahaan. Rasanya seperti dengan orangtua sendiri. Mereka selalu mengingatkan kami, agar tidak bolos sekolah usai bekerja. Kami juga selalu diingatkan untuk pulang ke Indonesia membawa uang dan ilmu," tutur Rena berkaca-kaca.

Dan berjarak 300 km dari tempat Aji dan Rena berjuang dari kejaran tsunami, saya pun berjuang dari kekalutan didera gempa besar dua kali berturut-turut. Di sebuah daerah yang belum saya kenal, Kamata 45 menit dengan kereta dari tempat saya tinggal, Shinagawa.

Saat gempa datang, saya tengah asyik memilih buku hobby. Rak buku bergetar keras seolah-olah mau rubuh. Lampu gantung bergoyang-goyang. Bunyi gemerincing. Tanpa banyak kata, buku segera saya letakan di meja dan beranjak cepat mencari anak tangga. Ada seorang ibu tua berdiri di depan lift. Sempat saya ingatkan untuk tidak menggunakannya. "Earthquake. Lifito dame," ujar saya cepat. Namun ibu itu  tak memahami maksud saya yang menggunakan bahasa Inggris dan Nihon dicampuraduk. Alhasil ibu itu memandangi saya dan saya hanya mampu menunjuk-nunjuk anak tangga, "going down, please," tambah saya. Ibu ini masih memandangi saya dengan mimik tidak mengerti. Sementara itu saya terhuyung-huyung menuruni anak  tangga. Dan berada di luar gedung seorang diri!

(Ooo...ternyata aturan main di Jepang bila ada gempa adalah tetap berada di dalam gedung. Lindungi diri kepala Anda. Keluar tertib saat gempa sudah berhenti.)

Namun  kemudian beberapa pejalan kaki dan pengendara sepeda mulai berhenti di sekitar saya. Gedung-gedung tinggi yang mengelilingi  saya meliuk ke kiri dan ke kanan. Jalanan aspal seperti berombak. Belum lagi bunyi berderak-derak entah dari mana asalnya. Spontan saya bertasbih.

Iphone berkali-kali tidak bisa menghubungi nomor suami. Akhirnya saya segera melangkah ke arah stasiun. Namun justru orang berduyun-duyun meninggalkan stasiun. Rupanya kereta dihentikan sementara. Segera saya berbaris di antrian taksi. Yang dalam sekejap sudah mengular. Di tengah antrian itu kami semua tiba-tiba serempak mengucapkan "oooh..." rupanya gempa yang keras kembali datang. Air mata saya menetes satu-satu. Segera saya hapus, tidak bisa dan tidak boleh cengeng.

Telephone tidak berfungsi. Taksi tak kunjung datang. Maps iphone juga tidak bisa beroperasi. Semua orang Jepang di kiri kanan saya, tidak mengerti bahasa Inggris saya. Oh!

Saya keluar dari antrian  taksi. Beralih ke antrian telpon umum. Ketika akhirnya giliran saya datang, handphone suami dan kantor pun tak berhasil tersambung. Saya coba tekan facebook. Saya ketik status. Berhasil! Thanks Frank! Saya spontan ketik kesulitan saya, ketakutan saya. Teman-teman di Indonesia mengirimkan supportnya. Hujan gerimis mulai turun. Gempa tak henti-hentinya, terus menerus.

Payung terjual habis. Saya berkeliling mencari jas hujan. Dapat. Dan air minum. 100 Yen Shop, arigatou. Keluar dari toko seratus yen, mata saya tertumbuk kerumunan orang. Toko elektronik dibanjiri pengunjung yang berjejal melihat warta berita. Saya menyelip ke tengah. Namun, percuma saja karena bahasanya tidak dipahami. Hanya wajah dan suara presenter yang cemas. Lalu gambar Pulau Honshu (Pulau di mana Tokyo berada) di sisi timurnya berwarna merah. Pertanda warning!

Saya segera keluar dari kerumunan dan berjalan mencari shelter bus. Syukurlah terbaca Shinagawa St! Saya segera mengantri di urutan terakhir, lima meter dari urutan pertama kira-kira. Namun, tak lama seorang Koban (polisi) menyeret sepedanya dan mengatakan sesuatu. Saya segera bertanya ke sebelah kiri? "What's the police said?" Mbak di sebelah saya menjawab dengan bahasa Jepang. "No bus?" tanya saya cemas sambil melirik antrian yang bubar teratur. "Haik!" Masya Allah. Saya harus segera menemukan jalan sebelum gelap datang.

Sambil menyusun apa yang harus saya perbuat, saya membuka FB. Ternyata teman-teman tidak berhasil menghubungi suami. Oh. Iphone saya tutup dengan hati yang hilang setengahnya.

Saya ikuti gelombang pejalan kaki. Ketika tiba di perempatan, masing-masing mengambil arahnya. Saya tegak sendirian di tengah-tengah.

Ekor mata saya menangkap seorang ibu cantik sedang berpisah dengan temannya. Langsung saja saya mendekat dengan bahasa terpatah-patah namun kami sepakat berjalan bersama mencari police station.

Namanya Mikako San. Perawakannya tinggi semampai, pakaiannya chic sekali, bersepatu tertutup dengan hak 7 cm. Langkahnya cepat sekali sementara saya terseok di sampingnya. Gerimis makin sering. Saya berniat membeli payung untuk kami berdua. Oh, payung masih dengan harga normalnya Y 500.

Sambil mengimbanginya berjalan dan menahan dingin, saya perhatikan aparat bertindak cepat. Polisi mulai tampak di mana-mana dan menjawab berbagai pertanyaan para pejalan kaki. Jalan lintasan kereta yang berhubungan dengan jalan kendaraan segera ditutup palang kereta. Aliran listrik terganggu mungkin ada kekhawatiran kereta melintas tiba-tiba. Mobil-mobil pribadi berputar arah.  Tidak terdengar sumpah serapah kejengkelan.

Melihat banyaknya mobil berputar, saya utarakan niat saya ingin cepat sampai di rumah dan ikut mobil yang lewat itu dengan membayar berapa saja, namun Mikako San tidak sependapat. "Bahaya,'' katanya dengan senyum manis.

Setelah hampir satu jam berjalan kaki, di sebuah perempatan Mikako San menanyakan sesuatu kepada polisi. Polisi itu melihat ke arah saya. Dengan menangkap beberapa katanya,  polisi ini mengatakan bila jalan kaki bisa 5 jam sampai rumah. Air mata saya menitik deras. Sore semakin gelap rasanya. Namun ada bus ke jurusan Gotanda masih setengah jam dari sini, imbuh polisi tadi. Saya terkesiap, "Haik. Dae jyou bu desu. Watashi no uchi not far from there." (Ya. Tidak apa-apa. Rumah saya tidak jauh dari sana)

Ah. Gotanda. Gotanda. Berarti  hanya sepuluh menit berjalan kaki ke rumah atau ke kedutaan. Rumah dan kedutaan Indonesia letaknya berhadapan. Saya berjalan penuh semangat. Dingin semakin menggigit dan butiran gemuk gerimis sudah tidak masalah.

Kami menjadi lebih sering mengobrol dengan tiga bahasa, bahasa Inggris, Jepang dan isyarat. Oh, indahnya. Kami berdua saling menemani. Saling mengantar.  Setelah hampir satu setengah jam kami berjalan, Mikako San berhenti dan menunjuk papan penunjuk bus. Alhamdullilah. Tertulis Gotanda St.

Rumah saya tidak jauh lagi, cuma sepuluh menit dari sini, katanya. Saya mengangguk-angguk dan membungkuk berterimakasih. Saya katakan, silakan perjalanannya diteruskan karena gerimis semakin deras. Mikako San menggeleng bertahan ingin menemani saya.

Secercah harapan tadi menjadi semakin besar. Di depan saya sudah jalan raya. Betul-betul jalan raya. Mobil hilir mudik, namun tidak terlihat taksi atau bus.

Ah! Duapuluh meter di sebelah kanan saya tiba-tiba datang bus dan betul-betul berhenti di depan mata menurunkan penumpang. Penuh sesak. Namun saya masih bisa antri ke dalam. Air mata saya mengiringi ucapan  terimakasih tak terhingga untuk Mikako San yang cantik dan lembut hati itu.

Supir bus meminta maaf berkali-kali setiap akan berhenti dan mengambil penumpang. Penumpang yang padat luar biasa seperti bus kota Jakarta tetap tenang. Seperti biasa, senyap tidak ada suara hanya sesekali suara sepatu bergeser. Dan sayup-sayup suara penyiar televisi menyiarkan berita melalui handphone seorang bapak. Mesin karcis tidak berfungsi, namun penumpang tertib membayar saat turun. Air mata saya mengering. Hati saya tersentuh dan nyaman.

Arah berlawanan mulai padat merayap. Lampu merah di beberapa tempat tidak berfungsi. Sementara bus yang saya tumpangi berjalan lancar, bisa jadi karena melaju ke pusat kota. Jam tangan menunjukkan pukul 18.30. Pejalan kaki memenuhi trotoar. Jalan tol tampak ditutup. Tidak ada kerusuhan. Toko-toko dan restoran tampak tetap buka.

Akhirnya Stasiun Gotanda. Lembaran uang seribu yen yang saya siapkan untuk membayar karcis ditampik supir bus. Sudah cukup, katanya mengangguk-angguk. Oh, Jepang.

Antrian bus di depan stasiun betul-betul panjang entah berapa kilometer. Pejalan kaki pun tumpah di sepanjang jalan. Hati saya mulai bernyanyi. Jari kaki saya tiba-tiba terasa berubah menjadi jempol semua! Rumah sudah di depan mata. Berharap membersihkan badan dan tidur terlentang.

Namun saya memutuskan untuk ke kedutaan menemui suami. Rindu luar biasa. Dan syukurlah suami dan teman-teman menyambut dengan penuh cinta. Mimik mereka tak kan terlupa. Suami setengah berteriak, "Dari mana Bunda?" Dan saya yakin nada suara itu penuh rasa syukur. Terimakasih Tuhan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun