Oleh: Rhet Imanuel
Katanya, “tidakkah kaulihat sekarang, musim panas telah berlalu?”
Namun, betapa terkejut aku saat mendapati beberapa daun kering di musim panas. Dan kembali kaupun berusaha di musim hujan ini, tak layu dan jadikannya hijau di pekarangan rumahmu.
Ah, andaikan kau tahu! Mungkinkah sebatasnya cara, semua akan tetap berakhir dengan sia-sia belaka.
Bilakah ranting-ranting terpatah dapat kembali air beri suatu nyawa. Pandangi mentari diselimut awan pekat, pikirmu.
Padahal, di dalamnya musim dingin; baik ranting maupun daun-daun yang melayu, telah masuk di dalam perenungan. Tetapi kita! Telah lupa cara, dan bagaimana kita menuaikan benih-benih yang ada. Jika berharap suatu kematian yang datang di waktu lalu, masih turut dalam perjalanan-- sementara masih kugenggam tangan--, namun tatap binar matamu menengok dan tak berharap menyeberangi suatu jembatan, yang akan menghantar kita pada padang dan sekumpulan ilalang.
Dimana kita? Sebatas iringan senja hadir di pelupuk mata. Napas hidup dalam separuh takkanlah tersentuh, walau seribu daun hinggap dan gugur dipangkuan.
Aku, kau, dan kenangan itu telah menjadi satu. Dalam bagian kisah kini. Dipejamnya mata, pun takkan menata suaka. Dan imaji telah membentuk suatu alam, dengan berbagai rupa kembang-kembang kamboja. Memusarakan jiwa hanyut dalam dinginnya telaga.
Semarang, 24/11/15