[caption id="attachment_112904" align="alignleft" width="298" caption="Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menutup Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV PDI-P di Hotel The Sunan, Solo, Jawa Tengah, Rabu (28/1) malam. Sumber: KOMPAS"][/caption] Pidato Ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), saat membuka kongres partainya di Denpasar, Bali (6/4), memang pantas untuk mendapat apresiasi dan pujian. Sejumlah tokoh politik dan akademisi telah memberikan apresiasi, namun sebagian besar memandang sangat positif. Di harian Media Indonesia, edisi hari ini, Rabu, 7 April 2010, transkrip pidato Megawati menempati dua halaman penuh. Saya sendiri menganggap, pidato Megawati ini sangat bermakna di tengah kekosongan pidato berisi muatan ideologis dalam demokrasi liberal saat ini. Bagi mereka yang menganggap bahwa Mega hanya "jual kecap", pidato tersebut hanya pemanis yang dibuat-buat untuk memulihkan citra politik PDIP. Sebagian lagi menganggap, Pidato putri Bung Karno ini tak lebih dari sebuah melodrama politik. Namun apapun tudingan itu, bagi saya, segala sesuatu itu harus diletakkan pada konteksnya dan ditimbang sesuai ukurannya. Megawati sendiri, sepanjang pengetahuan saya, bukan seorang tipe orator yang baik seperti ayahnya, Bung Karno. Nada dan tempo suaranya pun seringkali terlontar apa adanya, tidak dibuat-buat seperti kebanyakan tokoh politik berkaliber professor. Pilihan kata-katanya juga kadang kurang bagus. Akan tetapi, pidato ini menjadi bermakna karena beberapa hal.
Pertama, dari segi isi, pidato ini menyiratkan banyak sekali argumentasi-argumentasi ideologis, seperti kritikan pedas terhadap model demokrasi liberal dan kritikan terhadap sistim kapitalisme itu sendiri. Dalam pidato Mega dikatakan, jalan kapitalisme dari Negara-negara adidaya akan membawa pada krisis yang mendalam. "Kapitalisme mengandung kontradiksi-kontradiksi di dalam dirinya sendiri. Ia pasti akan memakan anaknya sendiri," kata Megawati mengutip Bung Karno.
Kedua, dari segi momentum, pidato yang sangat menyengat di telinga penguasa ini disampaikan bersamaan dengan munculnya "pinangan" partai berkuasa untuk bergabung dan keinginan sejumlah kadernya untuk masuk dalam bagian kekuasaan. Megawati telah menegaskan, bahwa cita-cita partai ini, yakni tetap konsisten sebagai partai ideologi yang mengabdi kepada kepentingan rakyat, jauh lebih besar dari urusan kursi di Parlemen atau sejumlah menteri atau sampai jauh melangkah ke Istana Merdeka.
Ketiga, karena ini disampaikan dihadapan ribuan kadernya sendiri, di tengah pembukaan kongres partai, maka pidato ini harus dianggap pertama sekali sebagai self-kritik. Ini harus diposisikan sebagai bentuk evaluasi internal, karena PDIP sendiri bukan partai yang bersih dari korupsi dan berbagai kejahatan politik lainnya Dalam demokrasi liberal, Politik yang ditampilkan adalah politik yang terlepas dari perdebatan-perdebatan soal konsep dan gagasan ideal masyarakat, kemudian digantikan dengan transaksi-transaksi politik
ala pasar. Sudah menjadi lazim dalam situasi sekarang, kompetisi pemilu hanya mempersaingkan figur personal kandidatnya, sementara pertarungan gagasan telah dikesampingkan. Dalam pidatonya, Megawati telah mempersalahkan demokrasi liberal sebagai biang kerok dari hancurnya sistim politik dan fondasi demokrasi kita. Ini semua terjadi, menurut penjelasan dia, karena demokrasi liberal telah menyuburkan karakter berpolitik yang buruk seperti kemerosotan militansi, munculnya pertimbangan untung rugi, dan menguatnya spirit pragmatisme, transaksional untuk kepentingan individual berjangka pendek. Ada banyak yang menyatakan, perdebatan soal ideologi telah berakhir dan tema-tema mengenai nasionalisme sudah usang. Ini seringkali ditiupkan oleh tekhnokrat dan pemikir-pemikir liberal, kendati jarang sekali berkesesuaian dengan fakta. Meski dianggap sumbang, namun nyanyian Megawati soal pentingnya ideologi bagi sebuah partai dan menegaskan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai rumusan ideologi partai, menegaskan bahwa ideologi dan gagasan masyarakat masa depan masih merupakan obat sehat bagi rakyat kita. Soal kritiknya terhadap kapitalisme, meskipun ini masih dikesankan sangat verbal dan dangkal, tetapi ini "menggetarkan" bangunan politik Indonesia yang dikenal sangat tabu dengan kritik terhadap sistim kapitalisme, apalagi ini disampaikan di kongres partai terbesar ketiga di Indonesia, PDI-Perjuangan. Namun, ada pihak yang langsung menimpali, "itukan disampaikan oleh Mega setelah lengser dari kekuasaan. Saat menjabat sebagai presiden, dia juga menjadi pengikut sistim neoliberalisme," begitu katanya. Iya, saya tidak menyangkal fakta itu dan tak bermaksud mengaburkannya, namun sekali lagi harus dilihat secara objektif, harus dilihat korelasi kekuatannya. Megawati naik kekuasaan dengan memamfaatkan sebuah aliansi luas dengan berbagai kekuatan politik tradisional dan sisa-sisa orde baru di parlemen, sehingga berpengaruh dalam imbangan kekuatan saat mengambil kebijakan. Tambah lagi, pidato yang disampaikan saat ini, adalah pidato yang disampaikan di saat PDIP sudah dua periode berada di luar kekuasaan. Meskipun kita perlu mengeritik bentuk oposisi PDIP yang kurang konsisten, namun keputusan untuk memilih di luar rumah kekuasaan adalah pilihan sulit dalam tradisi umum partai-partai di Indonesia yang identik dengan pencari atau pengejar kekuasaan. Terhadap kekalahan PDIP dalam pertarungan pemilu, Mega telah berusaha membesarkan hati kader partainya dengan kata yang tepat; "
Menang secara terhormat, kalah secara bermartabat." Ada banyak pengamat politik yang terkesan sangat hebat, memberikan penilaian bahwa kebutuhan partai ini adalah regenerasi. Pengamat itu seperti komentator bola, seolah-olah lebih hebat dari pemain dan kesebelasan itu sendiri, namun belum tentu si komentator bisa bermain bola dengan baik. Kritik-kritik terhadap partai ini, bahwa ini didirikan seolah-olah berdasarkan trah Bung Karno, lebih mirip dengan sebuah partai keluarga. Secara pribadi, saya tidak sependapat sepenuhnya dengan kritik para pengamat politik itu, karena mereka telah melepaskan objek kritik dari factor histories partai ini.
Pertama, Harus diingat dan diakui bahwa partai ini merupakan hasil fusi yang dipaksakan oleh Orba---PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik, bukan fusi atau merger karena kesamaan ideologi atau kepentingan. Karena factor itu, proses awal partai ini adalah perjuangan menciptakan keseimbangan
. Kedua, partai ini didirikan dalam proses de-soekarnoisasi yang sangat massif dilakukan orde baru, sedangkan kekuatan inti dari partai ini berasal dari PNI yang mengagumkan pesona politik Bung Karno.
Ketiga, karena kedua hal itu, maka partai seperti ini membutuhkan tokoh sentral atau tokoh pemersatu, dalam hal ini Megawati dianggap mewakili peran itu karena berasal dari keluarga Bung Karno. Sedangkan Soekarnoisme telah menjadi konsepsi psikologis untuk mengikat massa dan keseimbangan di dalam partai. Kalau mengabaikan hal-hal tersebut, kita akan sulit membayangkan PDIP seperti sekarang ini. Ini juga menjelaskan kenapa partai-partai sempalan PDIP, seperti PNBK dan PDP, tidak bisa berkembang pesat dan gagal merebut massa tradisional PDIP. Lagipula, demokrasi tidak selalu identik dengan periodeisasi jabatan, sedangkan regenerasi tidak selalu bermakna penggantian ketua umum. Apa pula gunanya sebuah partai yang begitu sering berganti-ganti ketua umum, namun keputusan dewan Pembina seperti keputusan absolut para dewa yang tak bisa ditantang. Tipikal partai semacam ini bukan hanya di Indonesia, tetapi menjadi hal umum di negeri-negeri dunia ketiga yang tradisi berpolitiknya sangat dipengaruhi oleh nilai kharismatik dan ikatan-ikatan tradisional-komunalistik. Kita bisa melihat keberadaan partai perionis dalam bingkai politik Argentina, dan pengaruh peronisme terhadap rakyat Argentina. Terlepas dari berbagai kekurangan dan retorikanya, tetapi kenyatannya bahwa pemerintahan Peronis telah menjadi sekutu penting pemerintahan kiri di Amerika Latin. Terkait peranan figur kharismatik, Marta Harnecker mengatakan, kemenangan politik pemerintahan progressif akhir-akhir ini bukan karena partai politik, tetapi karena, salah satunya, faktor tokoh-tokoh kharismatik yang mencerminkan sentimen popular yang mulai menolak sistim, selain faktor dukungan gerakan sosial. Di Indonesi sendiri, faktor kefiguran SBY juga berkontribusi sangat besar untuk kemenangan dan pembesaran partainya, Demokrat. Akan tetapi, bagaimanapun, faktor kharismatik hanya berguna di proses awal, tetapi proses lebih lanjut harus menempatkan rakyat sebagai protagonis dari proses emansipasi dan perubahan sosial. Tanpa demokrasi dan partisipasi rakyat, semua itu akan menjadi gelembung gas yang menguap. Untuk itu, sebagai catatan kritis kita, bahwa pidato Megawati ini akan kehilangan makna dan arti ideologisnya ketika dia berakhir menjadi naskah atau transkrip belaka, tidak menjadi "pijakan" yang hidup bagi gerak dan aktivitas PDIP ke depan. Kita sangat berharap, sebagai konsekuensi dari pidato Megawati tersebut, bahwa PDIP di masa depan akan menjadi sekutu penting gerakan anti-neoliberalisme, baik di medan parlemen maupun gerakan ekstra-parlemen. Dalam memberantas korupsi, misalnya, PDIP di masa depan tidak lagi menyediakan ruang bernaung bagi koruptor di dalam partai.
Kita akan menunggu PDIP di medan perjuangan anti-neoliberalisme dan anti-neokolonialisme!
KEMBALI KE ARTIKEL