Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Krisis Politik Negara Neoliberal

22 Februari 2010   04:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:48 611 0
[caption id="attachment_79164" align="alignleft" width="298" caption="Ilustrasi "hail Indonesia" (Sumber: http://www.erepublik.com/en/article/hail-indonesia-799840/1/20)"][/caption]

Diskusi mengenai krisis politik sedang mengemuka, bukan hanya di kalangan aktivis tetapi juga di kalangan intelektual. Berbagai kejadian politik akhir-akhir ini, mulai dari kasus KPK hingga skandal Bank Century, benar-benar membawa pemerintahan dalam krisis politik berkepanjangan.

Saya akan memperbincangkan hal ini lebih jauh, yaitu soal krisis Negara neoliberal. Dengan berusaha menganalisa korelasi kekuatan di dalam negeri, saya ingin mendiskusikan peluang bagi lahirnya “kemungkinan” bagi transformasi sosial secara radikal di negeri ini.

Korelasi Kekuatan

Pada saat partai koalisi diambang keretakan, sebagian pihak menganggap bahwa pemerintahan SBY-Budiono akan mengarah pada krisis politik. Alasannya, antara lain, karena ancaman perpecahan akan menggeser perimbangan kekuatan ke oposisi, apalagi citra SBY-Budiono semakin merosot karena tudingan isu korupsi.

Mungkin, pendapat itu ada benarnya, tetapi itu hanya bentuk permukaan saja. Menurut saya, krisis akan terjadi kalau ada masalah dalam korelasi kekuatan Negara. Ini menyangkut struktur kekuatan dari klas berkuasa dalam kapasitas mengambil keputusan dan menjalankannya (norma, prosedur, administrasi/jabatan), dan kemampuan mereka mengorganisir ide-ide dominan untuk menghegemonidan menundukkan kehidupan politik massa rakyat.

Dalam bagian pertama, kita mengidentifikasi bagaimana struktur kekuatan Negara tidak lagi efektif mengambil keputusan dan menjalankannya, serta tidak lagi sanggup memenangkan consensus dengan sektor luas masyarakat. Kalau anda memperhatikan kasus kriminalisasi terhadap KPK, kita menyaksikan bagaimana antara apparatus Negara (polisi versus KPK) saling serang.

Dalam menjalankan fungsi administraturnya, sebuah apparatus harus mendapatkan legitimasi luas; baik dipaksakan maupun sukarela. Dalam administrasi rejim SBY-Budiono, apparatus negara semakin kehilangan wibawa politik, dan akhirnya mendapat hujan “cacian” dari publik

Ada beberapa kasus untuk membuktikannya. Rencana Menkominfo Tifatul Sembiring untuk menerapkan RPM konten multimedia, misalnya, mendapatkan protes luas dari publik. Twitter pribadi sang Menkominfo dihujani “caci maki” dari publik, bahkan presiden SBY angkat bicara dan mempersalahkan Menkominfo.

Begitu juga dengan rencana kenaikan gaji pejabat dan mobil mewah menteri, public segera bereaksi dan mengeluarkan penilaian, salah satunya; “menteri-menteri tidak becus bekerja telah merengek kenaikan gaji dan mobil mewah,”—demikian seorang sopir taksi mengatakannya. Dan, karena itu, wibawa menteri dan pejabat telah begitu merosot di hadapan publik.

Di kalangan organisasi rejim, terutama partai koalisi, telah terjadi persilangan kepentingan dan sangat mungkin untuk mengarah pada keretakan. Golkar, melalui seorang pimpinannya, Priyo Budi Santoso, telah melontarkan pernyataan bahwa Golkar siap berdiri di luar pemerintahan kalau ada reshuffle. Artinya, keinginan presiden SBY untuk menertibkan barisannya sendiri telah mendapat pembangkangan dari dari dalam barisannya sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun