Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Deklarasi Bandung 1955 dan Dunia Multipolar

16 Januari 2010   11:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:26 1159 0
[caption id="attachment_55116" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi "Parade Militer China pada perayaan hari nasional ke-60" (Photo source: http://eng.mod.gov.cn/SpecialReports/node_40422.htm)"][/caption] Pada 18 April 1955, presiden Soekarno telah membuka konferensi Asia-Afrika di Bandung, dihadiri oleh 29 negara dari Asia dan Afrika, dan merupakan konferensi dunia pertama yang tak dihadiri oleh negeri Eropa dan Amerika. PM China saat itu, Zhou Enlai, menjadi bintang dalam pertemuan ini karena kepiawainnya memimpin para negara peserta untuk menemukan persamaan; anti imperialisme. Pada pidato pembukaan itu, Soekarno telah mengatakan: “ Kita dipersatukan…oleh kebencian bersama kepada kolonialisme dalam segala penjelmaannya. Kita dipersatukan oleh rasa kebencian bersama kepada rasisme. Dan akhirnya, kita dipersatukan oleh tekad kita bersama untuk mempertahankan dan memperkuat perdamaian di seluruh dunia”. Itu disampaikan oleh Bung Karno ketika sebagian besar bangsa-bangsa di dunia masih berada dibawah kungkungan kolonialisme dan imperialisme (unipolar), sementara Samir Amin menyebutnya sebagai dunia bipolar di bidang militer: AS dan Uni-sovyet. Dunia Multipolar Kini, 54 tahun setelah pertemuan bersejarah itu, “Dunia sedang mengalami perubahan penting yang belum pernah terjadi sebelumnya,” demikian kata Hu Jintao, pemimpin China dan sekaligus sekjend Partai Komunis China. Menurut Hu Jintao, Serangkaian peristiwa kompleks---politik, ekonomi, sosial, dan budaya- telah menggiring dunia untuk berevolusi menuju tatanan baru—multipolarisme. Bukan hanya Hu Jintao yang berkata demikian, presiden Hugo Chavez pun berusaha menegaskan hal yang serupa, bahwa situasi baru sedang menjelaskan transisi menuju multi-polarisme dan kehancuran dunia unipolar dan bipolar. Hanya saja, menurut Chaves, perjuangan intensif menuju dunia multi-polar harus disertai usaha untuk membongkar kekaisaran tunggal global saat ini---sistim kapitalisme. Terkait kriteria presiden Chavez di atas, Samir Amin telah menandai konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung, 1955, sebagai bentuk pergerakan multipolar yang pertama dan paling konsisten bersifat menentang neo-kolonialisme dan imperialisme. Deklarasi Bandung telah menyemangati gerakan pembebasan nasional baik di negara yang baru saja merdeka, maupun di negeri-negeri yang belum merdeka, khususnya Aljazair, Kuba, dan sebagainya. Jeny Clegg, penulis buku “China Global Strategy; Toward a Multipolars World” mengatakan, konferensi Asia Afrika telah menjadi ajang internasional bagi China dan Indonesia dalam memimpin perjuangan melawan ketidakadilan ekonomi, sosial, dan politik di tingkat dunia. Clegg kemudian mengutip penegasan PM Zhou Enlai, bahwa KAA di Bandung merupakan bentuk penerapan teori “strategi politik kontra-hegemoni” di tingkat global. Hanya saja memang, saat ini, Indonesia yang pernah menjadi pemimpin terkemuka dari gerakan pembebasan nasional dunia ketiga, justru menjadi pendukung paling setia dari kekuasaan “unipolar” AS dan sekutunya. Ini terjadi semenjak “teknokrat-teknokrat” pro-barat (neoliberal) ditampung oleh penguasa-penguasa paska pemerintahan Soekarno dan, karena itu, politiknya bergeser menjadi “penjilat” kepentingan politik AS. Kelanjutan Semangat Bandung dan Dunia Multipolar? Di akhir pemerintahan Bush, posisi hegemonik AS sedikit mengalami penurunan karena beberapa faktor, diantaranya krisis ekonomi dunia, kegagalan penaklukan Irak dan Afghanistan, dan merosotnya produktifitas ekonomi AS. Sebaliknya, di beberapa belahan dunia sedang muncul kutub-kutub baru (multi-kutub), seperti kelompok BRIC (Brazil, Rusia, India, dan China), kemudian Amerika Latin. Meski begitu, AS masih menampakkan kekuasaan hegemoniknya, khususnya kekuasaan unipolar AS dalam bidang kemiliteran dan unipolarisme dollar sebagai nilai mata uang cadangan dunia. Melalui pembangunan kekuatan militer, pangkalan militer AS terbangun di 700 hingga 800 basis militer di 63 negara di dunia, serta menempatkan 325 ribu pasukannya di berbagai negara . Bank sentral AS, The Fed, mengontrol seluruh bank sentral negara-negara lain di seluruh dunia. Salah satu kekuatan baru dunia saat ini, China, terlepas dari berbagai tuduhan buruk terhadapnya, negara ini terlihat lebih sukses dibanding negara manapun di dunia dalam melewati krisis dan resesi ekonomi global. Dengan kepemilikan negara terhadap sektor ekonomi, baik industri maupun perbankan, China berhasil menggunakan investasi besar-besaran untuk sektor produktif, khususnya program stimulus yang diarahkan ke pedesaan. Namun demikian, seperti yang ditandai oleh Samir Amin, bahwa bisa saja pertumbuhan ekonomi China dan sejumlah negara selatan, terutama akibat relokasi produksi barang dari barat ke timur, khususnya produksi barang, terutama ke China, India, Asia timur, dsb. sengaja dilakukan AS untuk tetap mempertahankan kontrolnya terhadap institusi finansial dan menyelamatkan kapitalisme global dari krisis over-produksi. Dalam konteks ini, deklarasi Bandung bukan hanya menjadi pelajaran histories bagi bangsa-bangsa selatan atau dunia ketiga, tetapi menjadi acuan paling penting bagi mereka ketika hendak memunculkan kutub baru saat ini. Apa yang paling penting sebetulnya adalah melanjutkan semangat deklarasi Bandung 1955, yaitu perjuangan konsisten menghapus ketidakadilan ekonomi, sosial, dan politik antara utara dan selatan. Jika ini dijadikan patokan, maka baru Chaves dan ALBA-nya yang konsisten mengarah ke tujuan-tujuan mulia itu. China sendiri, seperti penilaian Jeny Clegg, tidak hanya menjadi negara berpenduduk paling padat di dunia, dengan 1,3 miliar orang, tetapi juga sebuah negara berkembang paling berkomitmen untuk sosialisme. Argumentasi Clegg ini dipungut dari pendapat bahwa perjuangan di tingkat global bukan hanya soal pertempuran sosialisme melawan kapitalisme, tetapi yang terpenting adalah anti-imperialisme melawan imperialisme—dimana China dimasukkan di dalam blok anti-imperialis oleh Clegg. Kita bisa saja berpendapat berbeda dengan Clegg, namun kita tidak bisa menapikan, bahwa China memiliki arti penting dalam kerjasama global saat ini dalam merangkul negeri-negeri selatan: Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Investasi dan fasilitas China kini terbangun di negeri-negeri tersebut, termasuk Kuba dan Venezuela ikut menikmatinya. Sementara Rusia, dalam beberapa tahun terakhir, telah melakukan perang terselubung dengan AS dalam mengusai sumber daya hidro-karbon, khususnya gas alam, sumber energi penting untuk abad 21 ini. Dan beberapa bulan lalu, Chavez telah mengundang kapal perang Rusia berlabuh di kawasan Karibia. Sementara Afrika, dalam pertemuan iklim di Copenhagen bulan lalu, telah memperlihatkan perlawanan keras terhadap proposal irasional negeri-negeri imperialis. Negeri-negeri Afrika membangun Pan-African Climate Justice Alliance, dan membangun barisan yang sama dengan negeri-negeri progressif dari ALBA- Venezuela, Bolivia, dan Cuba. Kita harus menyadari bahwa penggabungan antara China, India, Asia tenggara, dan Afrika saja sudah mencakup lebih dari separuh penduduk dunia. Artinya, kalau negeri-negeri ini konsisten melanjutkan “semangat Bandung”, maka lebih dari separuh penduduk dunia akan berada di luar kontrol Unipolar AS. Dan, menurut saya, semangat utama dari deklarasi Bandung, salah satunya, adalah semangat berdikari. Konsep berdikari menganut prinsip kemandirian dalam pengelolaan ekonomi dan kerjasama ekonomi antara bangsa berdasarkan solidaritas dan kesetaraan. Prinsip ini jelas berlawanan dengan dotrin kekaisaran dunia—neoliberalisme. Dan, kalau negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin serentak mengikuti prinsip ini, maka segala bentuk imperialisme di dunia ini, mengutip Bung Karno, “akan rontok satu per satu”. *) Rudi Hartono adalah peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pemimpin redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah Kiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun