Selain itu, nepotisme dalam politik dapat menghambat perkembangan dan inovasi. Ketika posisi penting diisi oleh individu yang tidak kompeten hanya karena hubungan keluarga atau persahabatan, kualitas pemerintahan akan mengalami penurunan. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpuasan publik, protes, dan bahkan ketidakstabilan politik. Untuk menjaga integritas dan efektivitas sistem politik, sangat penting untuk menegakkan aturan yang ketat terhadap nepotisme dan memastikan bahwa setiap individu dipilih berdasarkan kemampuan dan prestasi mereka, bukan sebatas hubungan pribadi.
Dalam beberapa kasus, praktik nepotisme di dunia politik sering kali dibandingkan dengan sistem meritokrasi yang ideal dimana pada sistem meritokrasi, individu dipilih berdasarkan kemampuan, prestasi, dan kualifikasi yang relevan, terlepas dari latar belakang keluarga atau hubungan pribadi. Hal ini jelas berbeda dengan nepotisme yang justru menitikberatkan pada ikatan personal dan mengabaikan prinsip kesetaraan peluang. Di negara-negara dengan meritokrasi yang kuat seperti Singapura, posisi strategis diduduki oleh individu-individu yang memiliki kompetensi tinggi dimana pada gilirannya dapat membantu menciptakan sistem pemerintahan yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel. Perbandingan ini menunjukkan bahwa sistem yang mengutamakan meritokrasi lebih mampu membangun kepercayaan publik dan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat luas, sementara nepotisme hanya memberikan keuntungan bagi sebagian kecil orang.
Sebagai ilustrasi, sebuah penelitian di Amerika Latin menunjukkan bagaimana nepotisme dalam pemerintahan dapat memicu ketidakpuasan sosial. Di beberapa negara, anggota keluarga pejabat politik sering kali mendapatkan jabatan penting dalam pemerintahan atau perusahaan milik negara, meskipun tidak memiliki pengalaman atau kualifikasi yang sesuai. Hal ini berakibat pada kebijakan yang dihasilkan cenderung menguntungkan lingkaran dalam, mengabaikan kebutuhan rakyat, dan berujung pada protes serta aksi massa. Ketika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, publik akan kehilangan kepercayaan pada pemimpin mereka sendiri yang dapat menyebabkan ketidakstabilan sosial. Contoh ini mempertegas bahwa nepotisme bukan sekadar masalah kecil dalam demokrasi, melainkan ancaman nyata terhadap stabilitas dan keadilan dalam masyarakat.
Di Indonesia, fenomena nepotisme dalam politik bukanlah sebuah hal yang asing. Pada beberapa kasus, posisi penting dalam pemerintahan diberikan kepada anggota keluarga atau teman dekat pejabat tanpa mempertimbangkan kemampuan atau kualifikasi mereka. Misalnya, di beberapa daerah, jabatan seperti kepala dinas atau direktur BUMN diisi oleh kerabat dekat pejabat tinggi, meskipun ada kandidat lain yang lebih berpengalaman. Hal ini menyebabkan kebijakan yang dihasilkan cenderung berpihak kepada segelintir kelompok, sementara kebutuhan dan aspirasi masyarakat luas seringkali diabaikan. Contoh-contoh seperti ini mencerminkan betapa praktik nepotisme dapat menjadi penghambat bagi kemajuan bangsa dan menciptakan ketidakadilan yang nyata bagi mereka yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan dalam sistem politik.
Nepotisme dalam politik harus dilihat sebagai ancaman serius yang bisa menggrogoti pondasi sejati dari demokrasi. Praktik ini bukan hanya melukai kepercayaan publik, tetapi juga menyalahi hak asasi setiap warga negara untuk mendapatkan kesempatan yang setara. Demokrasi seharusnya menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesetaraan, namun nepotisme secara terang-terangan melanggarnya. Hal ini bukan sekadar masalah internal sebuah organisasi pemerintahan, namun lebih daripada itu adalah persoalan yang berdampak luas serta dapat menghambat potensi generasi muda dan meminggirkan orang-orang berkualitas yang berhak mendapat posisi strategis berdasarkan kemampuan. Jika dibiarkan terus terjadi, negara akan kehilangan kualitas kepemimpinan yang seharusnya dibangun dari kompetensi dan kinerja.
Nepotisme dalam politik dapat diibaratkan seperti penyakit yang menyerang tubuh demokrasi secara perlahan namun mematikan. Layaknya virus yang menyebar, ketika satu posisi strategis diisi oleh kerabat tanpa kualifikasi, hal ini akan memicu penurunan standar di jabatan lain, menyebar hingga ke berbagai tingkat pemerintahan. Bayangkan sebuah perusahaan yang hanya mempekerjakan kerabat pemilik tanpa memedulikan kompetensi, tentu produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan akan sangat menurun. Begitu pula dalam pemerintahan, ketika kursi-kursi penting diisi oleh individu yang kurang berkompeten, maka kebijakan yang dihasilkan pun menjadi tidak efektif dan cenderung merugikan masyarakat luas.
Nepotisme dalam politik dapat terlihat dari struktur kekuasaan yang berlapis dan didominasi oleh keluarga atau lingkaran dalam pejabat publik. Di beberapa pemerintahan daerah, misalnya terdapat pola perekrutan dan promosi yang selalu memprioritaskan orang-orang dekat sehingga lingkungan kerja menjadi eksklusif dan cenderung tertutup. Rapat-rapat kebijakan dihadiri oleh mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan para pemimpin, sementara orang-orang berpotensi dari luar lingkaran ini sulit menembusnya. Dalam suasana seperti ini, aspirasi publik cenderung akan tenggelam karena kebijakan hanya diwarnai oleh perspektif golongan tertentu yang mengacu pada kepentingan pribadi. Nepotisme merusak harapan masyarakat akan adanya perubahan yang progresif dan merata, menciptakan birokrasi yang lamban, serta menurunkan kualitas pelayanan publik.