Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Tidak Semua Dalil Agama Dapat Dirasionalkan

12 April 2020   23:26 Diperbarui: 13 April 2020   22:53 428 1
Tidak semua dalil agama dapat dirasionalkan.


Hidup di dunia ini tentunya bukan selalu harus merasionalkan semua fenomena ataupun peristiwa yang sudah terjadi melainkan juga cukup hanya dengan mengimaninya. Teruntuk tentang ajaran keagamaan. Khususnya bagi agama mayoritas.

Dalam memahami fenomena yang terjadi di alam semesta ini, terkhususnya di dunia. Tak akan pernah lepas dengan harus adanya pembuktian dari ilmu pengetahuan. Sehingga manusia mendapatkan rasionalitas dari dalil naqli yang sudah pasti tidak ada keraguan lagi bagi penganutnya. Banyak sudah hasil pembuktian para ilmuan tentang kebenaran hal tersebut, seperti contoh, kebenaran dalam surat Ar-rahman ayat 19-20 tentang air laut yang tidak menyatu (bercampur) yang ada di selat Gibraltal, pemisah antara benua Afrika dengan Eropa, tepatnya antara negara Maroko dan Spanyol¹. Kebenaran akan utuhnya jasad firaun pada masa kenabian Musa as, sebagaimana sudah terlukiskan didalam Surah Yunus ayat 92, yang menggemparkan dunia. Setelah dilakukannya penelitian oleh Prof. Dr. Maurice Bucaille kemudian menjadi pemimpin ahli bedah sekaligus penanggung jawab utama dalam penelitian mumi tersebut². Serta banyak lagi kebenaran-kebenaran dari dalil naqli tersebut.

Dalil tersebut hanya terdiri dari beberapa kalimat dan bahkan paragraf, akan tetapi kebenarannya jika akan dibuktikan bisa menjadi sebuah buku seperti yang sudah dilakukan oleh Prof. Dr. Maurice Bucaille dengan judul buku yaitu The Bible, the Qur'an, and Science : The Holy Scriptures Examined in the Light of Modern Knowledge. Tentunya sekali lagi, tidak ada keraguan lagi bagi penganutnya, terkecuali terhadap beberapa peristiwa seperti, isra'mikrat nabi Muhammad saw, nabi Musa as membelah lautan, nabi Sulaiman as dapat berbicara dengan hewan dan lain sebagainya. Jika hal tersebut dirasionalkan, maka tidak akan pernah menemukannya melainkan hal tersebut sudah masuk dalam ranah iman atau cukup untuk kita yakini bahwa hal tersebut benar-benar terjadi tanpa membutuhkan rasionalitas lagi. Dikarenakan demikian, bahwa hal tersebut merupakan sebuah mukjizat atau keistimewaan bagi setiap nabi atau Rosul yang dikhendaki oleh-Nya.

Pada esensinya, akal pikiran yang dimiliki oleh manusia bersifat terbatas, dikarenakan ketidak mampuannya untuk merasionalkan semua fenomena ataupun kejadian yang sudah terjadi di alam dunia ini. Bahkan hanya untuk membuktikan bentuk bumi yang sedang ditempatinya saja, apakah bulat atau datar masih menimbulkan pro dan kontra, apalagi untuk merasionalkan dengan detail semua fenomena atau peristiwa yang sudah terlukiskan di dalam dalil naqli tersebut.

Bukan hanya fenomena ataupun kejadian yang dirasionalkan, tapi juga Sang Penciptanya. Sering sekali terdengar ditelinga kita tentang perspektif Tuhan (Allah Swt) sebagai manifestasi makhluk. Padahal sudah dijelaskan bahwa Dia berbeda dengan makhluknya, seperti makhluk itu bisa menciptakan tapi Tuhan itu Maha Menciptakan. Makhluk itu sebenarnya hanya memanfaatkan fasiltas yang sudah disediakan oleh alam untuk membuat suatu karya. Sedangkan Tuhan, tidak perlu membutuhkan hal tersebut, melainkan Dia langsung memiliki kekuasaan yang tidak dimiliki oleh makhluknya. Semua fasilitas yang dimanfaatkan oleh makhluknya berasal dari-Nya. Sehingga, makhluk ini hanyalah penikmat bukan pembuat.

Dilain sisi, Tuhan merupakan objek kajian terlaris di dunia. Dikarenakan banyaknya manifestasi Tuhan terhadap suatu hal, seperti makhluk ataupun benda. Sehingga menjadi alasan agar Tuhan bisa dirasionalkan.

Pertama, Tuhan merupakan manifestasi makhluk. Sering timbul sebuah pertanyaan, apakah Tuhan itu bisa menikah, bisa pacaran, bisa tidur, bisa makan dan minum, bisa dan bisa melakukan apa yang kita lakukan? apakah ini pantas untuk dijawab atau tidak? tentunya pertanyaan itu sepatutnya diperuntukkan untuk sesamanya bukan Tuhannya. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun