Dalam studi strategi politik, istilah Wag The Dog menjelaskan bagaimana media massa digunakan untuk mengkondisikan dan bahkan merubah opini publik. Selain itu istilah tersebut mengambarkan rekayasa kesadaran dengan mengeksploitasi keluguan massa menyerap propaganda politik.
Beberapa hari ini, publik terjebak polemik kenaikkan harga Elpiji 12 kg. Setelah riuh rendah pro-kontra lalu muncul berbagai spekulasi. Sampai akhirnya Presiden dan anaknya ikut berkomentar. "Kebijakan yang membawa dampak luas ini tidak dikoordinasikan dengan baik dan persiapannya pun juga kurang. Ini harusnya tidak boleh terjadi". tweet SBY di @SBYudhoyono, Minggu ( 5/1/2014 ) dini hari. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengkritik Pertamina. Seharusnya, lanjut @SBYudhoyono, Pertamina terlebih dulu berkoordinasi dengan pemerintah sebelum memutuskan menaikkan harga.
Apakah ini hanya akal-akalan SBY dan perangkat kekuasaannya yang akan menggunakan instrumen populisme harga LPG? Untuk pekara ini, SBY dan gerombolan sudah terkenal liciknya. Pada Januari-Maret 2009, SBY 3 kali menurunkan harga BBM, setelah sebelumnya menaikkannya. Beberapa minggu lalu, SBY juga membatalkan aturan tentang tunjangan kesehatan. Bukan tidak mungkin, sebagaimana yang disinyalir oleh rival SBY, Anas Urbaningrum tentang adanya skenario yang sama dalam soal harga LPG ini.
Perihal ELPIJI
Begini latar ceritanya. PT Pertamina (Persero) per 1 Januari 2014 menaikkan harga elpiji non-subsidi tabung 12 kg sebesar 68 persen. Dengan kenaikan Rp 3.959 per kg tersebut, maka kenaikan harga per tabung elpiji 12 kg mencapai Rp 47.508. Sebelum kenaikan, harga elpiji 12 kg adalah Rp 5.850/kg atau Rp 70.200/tabung, ini harga yang berlaku sejak Oktober 2009. Dan sekarang harga elpiji 12 kg menjadi Rp 117.708/tabung. (catatan : Harga tersebut adalah harga jual di agen dan bukan harga jual eceran).
Kenaikan harga Elpiji 12 kg memang sudah diusulkan Pertamina sejak tahun 2009. Namun saat itu pemerintah hanya memberikan kenaikan di angka 5.850/kg jauh dari permintaan Pertamina. Sejak itu Pertamina dengan gigih mengusulkan kenaikan harga. Namun berkali-kali jeritan Pertamina tersebut diabaikan oleh Pemerintah. Alasannya banyak macam, misalnya konversi minyak tanah ke LPG belum selesai, harga TDL juga akan naik dan juga kenaikan BBM. Pertamina patuh dan tunduk terhadap pemerintah. Walaupun penjualan LPG 12 kg sejak 2009 telah menyumbangkan kerugian bagi Pertamina.
Tata niaga LPG memang sangat kacau. Pertamina (khususnya Divisi Gas DomestikI) berkali-kali mengupayakan perbaikan tata niaga namun sia-sia. Rapi di tingkat agen namun rusak di tingkat sub agen dan pengecer. Soal ini Pertamina memang selalu kedodoran, lihat saja fenomena penjual bensin eceran, apalagi soal LPG.
Tapi beruntung bagi Pertamina, ada momentum konversi Minyak Tanah ke LPG. Program nasional yang digagas Wakil Presiden Jusuf Kalla itu di mulai sejak tahun 2007. Awal program konversi minyak tanah ke LPG, produksi LPG dalam negeri sebesar 3 juta metrik Ton (MT) dan konsumsi masih 1,1 juta MT, Masih surplus 1,9 juta Ton.
Tapi di tahun 2013, konsumsi LPG meningkat. Rinciannya, untuk LPG 3 kg bersubsidi 4,41 juta MT, padahal kuota penjualan Pertamina hanya 4,39 MT sesuai yang tercantum dalam APBN 2013. Sedangkan konsumsi LPG 12 kg sebesar 977.000 MT. Tapi nilai penjualan LPG 12 kg tersebut mengandung kerugian. Karena pada LPG 12 kg Pertamina masih jual rugi.
Bagaimana tidak, saat harga LPG 12 kg dinaikkan dari Rp. 5.850/kg (harga Oktober 2009) menjadi 9.809/kg (harga per 1 Januari 2014) sebenarnya Pertamina masih merugi. harga pokok perolehan LPG telah mencapai Rp 10.785/kg atau masih jual rugi Rp. 976/kg. Jika konsumsi LPG 12 kg diasumsikan tetap 977.000 MT/tahun, maka potensi kerugian Pertamina untuk penjualan tahun 2014 berkisar di Rp. 953 Milyar/tahun.
Memang benar, dalam kurun 2009-2013 Pertamina menanggung kerugian dari penjualan LPG 12 kg (LPG non-PSO) tersebut sebesar Rp. 6 trilyun/tahun atau menurut klaim Pertamina, kerugian total senilai Rp. 22 Trilyun. Klaim kerugiaan yang bisa dipegang dapat kita ambil dari audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) atas bisnis LPG non Subsidi (LPG 12 kg) selama tahun 2011 s.d Oktober 2012. nilainya melebihi bailout Century atau sebesar Rp 7,73 triliun. Lebih lanjut, BPK mengkategorikan kerugian ini sebagai "Menyebabkan kerugian negara". Maklum saja, BPK berpegang pada Undang Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN, pasal 2 ayat 1 yang menegaskan "Salah satu tujuan pendirian BUMN adalah Untuk mengejar keuntungan."
Sekali lagi, Dilema Dualisme Harga
Pengelompokkan LPG menjadi LPG Public Service Obligation (PSO) bersubsidi tabung 3 kg dan LPG non-PSO tabung 12 kg bukan tanpa dasar. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Liquefied Petroleum Gas (Permen ESDM No. 26/2009). Pasal 25 Peraturan Menteri ESDM No 26/2009 menyebutkan "harga jual LPG untuk pengguna LPG Umum ditetapkan oleh badan usaha dengan berpedoman pada harga patokan LPG, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian".
Permen ESDM tersebut juga membedakan dua jenis pengguna LPG, yakni pengguna LPG tertentu dan pengguna LPG umum. Pengguna LPG tertentu merupakan konsumen rumah tangga dan usaha mikro yang menggunakan LPG kemasan tabung LPG 3 Kg. Harganya diatur dan ditetapkan oleh Menteri. Sedangkan pengguna LPG umum merupakan konsumen yang menggunakan LPG dalam kemasan tabung 12 Kg, tabung 50 Kg dan/atau dalam bentuk kemasan lainnya atau dalam bentuk curah (bulk), serta konsumen LPG sebagai bahan pendingin.
Struktur harga Elpiji ini memang agak unik karena ada dua unsur produk, yaitu LPG non-PSO 12 kg dan LPG PSO 3 kg. Sejak tahun 2010, Dirjen Migas Kementerian ESDM bersama-sama dengan Pertamina membuat sistem pendistribusian tertutup LPG 3 kg. Alasannya, karena LPG 3 kg adalah barang bersubsidi sehingga berada dalam domain barang dalam pengawasan. Namun ternyata proyek ESDM yang dilaksanakan sejak 2010 (dengan pertama kali uji coba di Kota Malang pada tahun 2010) seperti jalan ditempat. Tak tanggung-tanggung, sistem pengawasannya menggunakan EDC dan Smart Card. Tak terhitung berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk membangun sistem tersebut.
Di saat sistem distribusi tertutup tidak tentu rimbanya. Pertamina menaikkan harga LPG 12 kg. Bisa ditebak akibatnya, terjadi peralihan konsumsim LPG 12 kg ke LPG 3 kg. Dan tinggal menunggu waktu volume LPG 3 kg akan membengkak dan akibatnya besaran subsidi akan membengkak juga. Jadi, program konversi minyak tanah ke LPG hanya akan jadi pepesan kosong. Karena sebentar lagi LPG 3 kg akan diburu oleh konsumen yang menyiasati kenaikan harga LPG 12 kg. Kelas menengah Indonesia yang tanpa malu melahap hak masyarakat menengah bawah. Pada tahun 2010, marak sekali kasus pengoplosan LPG 3 kg ke tabung 12 kg. Hal tersebut karena disparitas harga. LPG 3 kg dengan Harga Eceran Tertinggi Rp 17.500/tabung dioplos ke tabung LPG 12 kg. Untuk satu tabung 12 kg perlu 4 tabung LPG 3 kg. Jadi selisih harganya lumayan juga, tak kurang 47.708/tabung. Harga selisih ini biasanya dinikmati oleh pengoplos. Bukan tidak mungkin praktek pengoplosan LPG tersebut kembali marak.
Apa yang mungkin terjadi?
Pertamina punya dasar menaikkan harga LPG 12 kg tanpa perlu persetujuan pemerintah dan DPR? Tak tanggung-tanggung, kewenangan Pertamina tersebut ternyata ada dalam Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram. Perpes ini tidak mengatur LPG 12 kg. Namun, bagi sebagian kalangan berdalih pemerintah punya kewenangan. Dalih tersebut tidak salah, namun sangat naif. Tidak salah karena memang berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi NomorĀ 002/PUU-I/2003 tanggal 15 Desember 2004 yang mengeleminasi Pasal 28 ayat 2 dan 3 dari UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Sebagai informasi, UU Migas No. 22/2001 ini punya sejarah unik. Awalnya, draft usulan RUU Migas merupakan hasil komitmen dengan dasar Letter of Intent (LoI) dengan Internasional Monetary Fund (IMF) yang ditandatangani Presiden Soeharto dan Managing Director IMF, Michael Camdessus pada 15 Januari 1998 di kediaman Soeharto. Draft RUU tersebut diajukan pemerintah BJ. Habibie kepada DPR pada 1999 oleh Kuntoro Mangkusubroto, Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) saat itu. Namun, RUU itu ditolak DPR. Setekah Habibie gagal terpilih di Sidang Umum MPR 1999 dan diganti Abdurrahman Wahid (Gus Dur). RUU Migas yang sudah masuk kotak tersebut bangkit kembali. RUU tersebut kembali diajukan ke DPR. Saat itu Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai Mentamben. Namun, belum sempat dibahas DPR, Gus Dur mengganti SBY dengan Purnomo Yusgiantoro sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Menteri ESDM). Setelah melewati pembahasan alot di DPR, khususnya di Komisi Energi yang diketuai Irwan Prayitno (kini Gubernur Sumatera Barat), akhirnya Purnomo berhasil meloloskan RUU Migas Jilid II dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR AM Fatwa pada era Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2001. (Perhatikan nama-nama yang saya tulis).