Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Mat Bogel dan Dul Cungkring : Pilpres ala Negeri Dongeng

30 Juni 2014   23:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:05 101 1
Mat Bogel sudah menganggap hidup matinya adalah untuk jadi Kepala Desa. Betapa tidak, tahun ini untuk ketiga kalinya dia mencoba mendapatkan jabatan itu.

Memang kemajuannya terlihat di setiap Pilkades. Pada tahun 2004, Mat Bogel sudah tersingkir dalam perebutan tiket partai. Tahun 2009 dia bisa maju dalam kompetisi meskipun hanya menjadi calon wakil kepala desa. Kali ini hasrat itu sudah hampir kesampaian, yaitu menjadi calon Kepala Desa. Dan mengingat usia yang sudah tidak muda lagi, mungkin ini kesempatan terakhirnya.

Masuk akal jika kemudian segala cara dilakukan Mat Bogel dan timnya untuk mendapatkan jabatan itu. Termasuk dengan mengorbankan kemajemukan di desanya. Mengaduk-aduk toleransi dan persatuan warga desa dengan memberikan stempel negatif bahwa etnis dan agama tertentu tidak layak untuk memimpin desanya.

Lawannya, Dul Cungkring, dituduh menyembunyikan identitas sebagai keturunan etnis Tionghoa. Dihembuskan pula isu bahwa Dul Cungkring beserta keluarganya, sejatinya tidak beragama Islam. Ini bukan sekadar rumor yang dikirim melalui pesan berantai, tetapi juga melalui siraman rohani di  berbagai tempat ibadah.

Pokoknya, karena berdasarkan informasi “terpercaya” dari tim Mat Bogel, Dul Cungkring yang Non-Islam dan keturunan Tionghoa itu tidak layak untuk jadi Kepala Desa. Tidak lupa pula, salah satu orang penting dalam tim suksesnya, Pak Sarimin Reformis, menantang Dul Cungkring membuktikan Ke-Islaman melalui adu ngaji.

Padahal, kalau mau jujur soal Ke-Islaman, justru Mat Bogel yang paling perlu dipertanyakan. Ibunya Kristen dan Ayah yang tidak terlalu jelas menjalankan ibadah agama apa. Kakaknya menganut Katolik, dan adiknya menganut Kristen. Mat Bogel sendirian yang menganut Islam. Kira-kira, Mat Bogel ini belajar ngaji dan Sholat di mana? Kemungkinan besar dia menganut Islam karena menjadi menantu dari penguasa Orde Saru, Mbah Senyum.

Tapi beruntung Dul Cungkring tidak terlalu berminat melayani isu SARA, sehingga serangan balik terhadap Mat Bogel nyaris tidak ada. Sebab bagi Dul Cungkring, persatuan, toleransi, dan kedamaian desa tidak boleh dirusak hanya untuk memenuhi hasrat menjadi kepala desa.

Tapi Mat Bogel memang sempat ngomel-ngomel terhadap Sarimin Reformis soal tantangan adu ngaji. Kalau betul-betul dilakukan, Mat Bogel bisa jadi tidak sempat kampanye keliling pelosok desanya, sebab harus segera kursus ngaji intensif guna membuktikan ke-Islamannya. Sarimin Reformis pun ternyata kaget dan baru tahu bahwa capresnya tidak bisa mengaji. Barulah dia tiarap dan tidak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal ke-Islaman dan adu ngaji.

Fitnah dari tim Mat Bogel bukan cuma itu. Mereka hembuskan juga isu di masyarakat bahwa Dul Cungkring hanyalah seorang boneka, boneka dari ketua umum PKK desa. Memangnya mau dipimpin oleh Kepala Desa boneka?

Entah kenapa, mungkin Mat Bogel dan timnya memang sudah dijangkiti penyakit pelupa. Dua tahun lalu, justru Dul Cungkring dituduh sebagai boneka dari Mat Bogel. Pasalnya, Dul Cungkring tiba-tiba muncul menjadi calon Ketua RW dengan dukungan Mat Bogel. Bahkan sebuah majalah paling berkelas di desanya, Majalah TEMPE, pernah memuat cover dengan wajah setengah-setengah. Sebagian wajah Dul Cungkring, dan sisanya wajah Mat Bogel. Maksudnya jelas, majalah ini mau bilang bahwa Dul Cungkring hanyalah boneka. Entah bagaimana perasaan majalah itu ketika dua tahun kemudian mereka menemukan kenyataan justru Mat Bogel dan Dul Cungkring bersaing menjadi calon kepala desa.

Oh iya, Mat Bogel ini memang terlihat tegas dan kemampuan orasi yang menggetarkan. Tapi harus diakui media di desanya memang masih sangat sederhana menilai seseorang. Karakter bengis, pemarah, temperamental dan darah tinggi mereka pukul rata dalam satu nafas, satu kata, “TEGAS”.

Sebagai informasi tambahan, Mat Bogel ini punya ratusan karyawan perusahaan yang pernah tidak menerima gaji berbulan-bulan. Sementara itu, di istananya di puncak bukit, Mat Bogel memelihara puluhan kuda dari mongol yang amat mahal harganya. Biaya makan dan pemeliharaan seekor kuda hampir mungkin setara dengan biaya hidup 5-10 karyawan perusahaannya setiap bulan. Mungkin itu sebabnya, dia harus berbagi konsentrasi dalam menetapkan prioritas.

Di samping kesibukannya untuk memfitnah lawannya kiri-kanan, Mat Bogel dihadapkan pada sebuah pertanyaan, kalau sumberdayanya sedang terbatas, dan yang kelaparan adalah manusia beserta kuda-kudanya, siapa yang duluan akan dia kasih makan?

Demikian kisah pertarungan Mat Bogel dan Dul CUngkring, bagi yang tidak senang silahkan cari kesenangan sendiri. Karena kami tidak ada kewajiban menyenangkan ada.

*Cerita ini hanyalah fiktif belaka, apabila terdapat kemiripan karakter dan cerita, terus masalah buat lu??

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun