[caption id="attachment_137714" align="alignleft" width="300" caption="Francis Bacon"][/caption]
Oleh Reza A.A Wattimena Pola berpikir induksi berkembang pesat dalam konteks revolusi saintifik pada abad 16 dan 17.
[1] Pada masa itu pula lahirlah apa yang sekarang ini kita kenal sebagai ilmu pengetahuan modern.
[2]Disebut revolusi karena pada masa itu, segala pandangan-pandangan lama di dalam masyarakat dengan sangat cepat dibuang, dan segera digantikan dengan pandangan-pandangan baru yang didasarkan pada metode penelitian ilmiah. Perubahan besar ini dimulai dengan karya-karya Galileo Galilei (1564-1642), dan mencapai puncaknya dalam karya Isaac Newton (1642-1727) tentang fisika. Bahkan dapat dikatakan bahwa perkembangan di dalam fisika adalah tanda majunya seluruh ilmu pengetahuan pada masa itu. Fisika adalah garda depan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
[3]Hal ini terjadi karena ilmu fisika mampu memberikan penjelasan, dan bahkan prediksi, yang kuat atas terjadinya berbagai fenomena alam. Juga di dalam fisika terjadi perkembangan teknologi yang amat pesat, seperti lahirnya teleskop, mikroskop, dan berbagai peralatan lainnya. Untuk memahami revolusi saintifik yang terjadi pada abad 16 dan 17, kita juga perlu mencermati fenomena yang disebut sebagai revolusi Kopernikan.
[4] Intinya begini bahwa pusat dari alam semesta bukanlah bumi (geosentris), melainkan matahari (heliosentris). Apa arti penting dari perubahan pandangan ini? Arti pentingnya terletak pada pokok argumen berikut, bahwa pemikiran Aristoteles (388-322 SM), yang sudah mendominasi dunia selama kurang lebih 500 tahun, runtuh. Dunia –terutama Eropa- mengalami perubahan paradigma yang begitu mengagetkan.
[5] Para pemikir baru lahir dengan gagasan dan metode pendekatan yang amat berbeda dengan pola berpikir Aristotelian. Gagasan dan metode tersebut pun terbukti mampu memberikan pengetahuan-pengetahuan baru yang sebelumnya tak ada. Di dalam filsafat ilmu pengetahuan, pengetahuan seringkali diartikan sebagai kepercayaan yang telah terbukti benar. Ilmu pengetahuan modern menyediakan sarana untuk pembuktian, apakah suatu pengetahuan itu layak disebut pengetahuan, atau tidak. Sarana itulah yang disebut sebagai metode, yakni seperangkat prosedur yang bisa digunakan untuk membedakan antara pengetahuan dan bukan pengetahuan.
[6]Permasalahannya adalah metode yang berupa seperangkat prosedur itu seringkali tidak cukup memadai untuk digunakan sebagai alat pembeda antara pengetahuan dan bukan pengetahuan. Sampai sekarang para ahli masih memperdebatkan metode macam apakah yang tepat untuk digunakan di dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Di dalam revolusi saintifik, kritik tajam ditujukan pada paradigma Aristotelian. Namun apa saja inti dari paradigma ini, yang berhasil mendominasi Eropa dan Timur Tengah selama kurang lebih 500 tahun? Aristotelian adalah sebuah aliran berpikir yang memang berpijak pada pemikiran Aristoteles, namun juga mengalami percampuran dengan tradisi-tradisi berpikir lainnya. Pada era abad pertengahan, pemikiran Aristoteles mengalami percampuran dengan ajaran Kristiani. Hasilnya adalah kosmologi (pandangan tentang alam) skolastik yang menjelaskan gerak planet-planet, sampai mengapa benda jatuh ke bawah, ketika dilepaskan. Pandangan ini begitu kuat tertanam di dalam pikiran para intelektual Kristiani abad pertengahan. Isinya kira-kira begini: bumi dan langit adalah dua entitas yang berbeda. Di dalam bumi segala sesuatu berubah, dan akan berakhir pada kehancuran. Di dalam bumi tidak ada yang sempurna. Segala sesuatu yang ada di dalam bumi merupakan campuran dari tanah, udara, api, dan air. Sementara langit adalah entitas yang sempurna dan abadi. Segala sesuatu yang ada di langit, termasuk bintang-bintang, bulan, dan matahari, bersifat permanen; tidak berubah.
[7] Perlu juga diingat bahwa tidak semua pemikir Eropa sepakat dengan pandangan Aristotelian, sebagaimana dibahas di atas. Namun pandangan Aristotelian tersebut rupanya digunakan oleh otoritas Gereja Katolik Roma Eropa pada masa itu, sehingga bisa tetap menjadi paradigma yang dominan. Proses perubahan paradigma terjadi secara perlahan, namun pasti. Memang ada beberapa peristiwa yang kontroversial, seperti konflik Gereja Katolik Roma dengan Galileo Galilei.
[8] Pada akhir abad ke-17, pemikiran non-Aristotelian, sebagaimana diperkenalkan oleh Galileo dan Newton, sudah diterima secara umum oleh masyarakat. Salah satu peristiwa yang amat penting, yang amat perlu untuk menjadi catatan bagi kita, adalah terbitnya buku yang berisi teori tentang gerak-gerak planet yang ditulis oleh Nicolaus Copernicus (1473-1543) pada 1543.
[9]Di dalam kosmologi Aristotelian, bumi adalah pusat dari alam semesta. Semua benda langit bergerak mengelilingi bumi dalam bentuk lingkaran. Pandangan ini kemudian diperkuat dengan penelitian matematis yang dilakukan oleh Ptolemy dari Alexandria yang hidup sekitar 150 tahun sebelum Masehi. Kopernikus (Copernicus) melakukan penelitian dengan kesimpulan yang berbeda. Baginya benda-benda langit tidak mengelilingi bumi, melainkan matahari. Matahari adalah pusat dari sistem planet-planet. Benda-benda langit mengelilingi matahari dengan pola berputar. Bumi berputar pada sumbunya sendiri, dan sekaligus mengelilingi matahari. Menurut Ladyman penelitian ini jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan secara matematis.
[10]Penelitian Kopernikus dikembangkan kemudian oleh Johannes Kepler (1571-1630). Bahkan ia melengkapinya dengan menyatakan, bahwa gerak bumi dan benda-benda langit lainnya di dalam mengelilingi matahari tidaklah melingkar murni, melainkan elips. Pandangan ini bersama dengan teori grativitasi Newton merupakan simbol terjadinya revolusi saintifik di Eropa. Bahkan sampai sekarang pandangan ini masih menjadi acuan di kalangan komunitas ilmiah. Ladyman memberikan catatan yang penting tentang pokok gagasan Kopernikus ini, dan relevansinya bagi penelitian ilmiah.
[11] Sistem Kopernikus yang nantinya dilengkapi oleh Kepler dan Newton, walaupun amat masuk akal, ternyata seolah bertentangan dengan pengalaman sehari-hari orang kebanyakan. Di dalam realitas sehari-hari, orang tidak merasakan, bahwa bumi berputar. Yang mereka rasakan adalah matahari, bulan, serta bintang mengelilingi bumi, karena memang begitulah tampaknya, ketika kita melihat ke langit. Anda dan saya pun merasakan hal yang sama. Inilah contoh yang amat penting, bahwa teori-teori ilmiah seringkali menjelaskan alam secara berbeda dari apa yang dialami sehari-hari oleh manusia. Di dalam filsafat cabang yang secara khusus merefleksikan hal ini adalah metafisika.
[12] Di dalamnya dibedakan dengan tegas antara kebenaran dari sesuatu, dan penampakan sesuatu itu ke mata kita. Apa yang tampaknya terlihat belum tentu adalah yang sebenarnya.
[13] Tak heran banyak orang yang tak percaya dengan teori Kopernikus tersebut, walaupun sudah ada pembuktian ilmiah dan pengembangan lebih jauh oleh Galileo, Newton, dan Kepler. Bahkan seperti dicatat oleh Ladyman, teori Kopernikus sempat hanya dianggap sebagai teori ilmiah, dan bukan kebenaran realitas itu sendiri. Di dalam filsafat ilmu pengetahuan inilah yang disebut sebagai instrumentalisme, yakni paham yang berpendapat, bahwa teori-teori di dalam ilmu pengetahuan tidak perlu dianggap sebagai kebenaran, melainkan hanya sebagai fiksi-fiksi yang menyenangkan hati.
[14] Di dalam sejarah tercatat dengan detil bagaimana penelitian Kopernikus, yang kemudian dilanjutkan oleh Galileo, Kepler, dan Newton, menciptakan kontroversi dengan Gereja Katolik Roma. Pada 1616 seluruh buku tulisan Kopernikus dilarang untuk dibaca dan disebarkan atas otoritas Gereja Katolik Roma. Pertanyaan kecil yang bisa diajukan adalah, mengapa Gereja Katolik Roma amat sensitif soal ini? Jawabannya cukup lugas karena pemikiran Kopernikus, dan pengikutnya, tidak hanya memberikan pengaruh pada pandangan Gereja soal alam semesta, tetapi juga pada ajaran-ajaran dasar Gereja Katolik Roma, seperti yang tertulis di dalam Kitab Kejadian, jatuhnya Adam dan Hawa ke dunia, relasi antara manusia dan setan, serta berbagai ajaran dasar Gereja lainnya. Banyak orang ragu pada kebenaran dari ajaran-ajaran Gereja yang sebelumnya sudah dianut selama ratusan tahun di Eropa.
[15] Dengan penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan modern, Gereja Katolik perlu untuk merumuskan ulang ajaran-ajaran dasarnya. Dukungan dari pihak luar terhadap pemikiran Kopernikus pun berdatangan. Salah satu dukungan kuat datang dari pemikiran seorang filsuf yang bernama Francis Bacon.
[16] Ia menolak pandangan-pandangan Aristotelian tentang alam semesta, dan mengambil posisi untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan modern yang menggunakan pendekatan ilmiah yang baru. Di dalam bukunya yang amat terkenal,
Novum Organum (1620), ia menjelaskan sebuah metode yang bisa digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan modern dengan amat detil. Sampai hari ini banyak ahli berpendapat, bahwa Baconlah yang meletakkan dasar bagi metode penelitian ilmu-ilmu modern, sebagaimana dipahami sekarang ini. Pada masa Bacon hidup, banyak ahli percaya, bahwa para ilmuwan kuno sudah menemukan semua bentuk pengetahuan yang ada. Yang kemudian perlu dilakukan adalah mempelajari ulang semua pemikiran para filsuf kuno. Bacon tidak setuju dengan pandangan ini. Yang diperlukan bukan hanya mempelajari pemikiran-pemikiran kuno, tetapi berusaha untuk menemukan informasi-informasi baru yang berguna untuk memperbaiki kualitas kehidupan manusia. Di dalam proses perkembangan pemikirannya, Bacon terkenal dengan ungkapannya,
knowledge is power.
[17] Cara apa yang digunakan oleh Bacon untuk memperoleh informasi-informasi baru yang ada di alam? Sebagaimana dicatat oleh Ladyman, model berpikir Bacon bersifat egaliter dan kolektif.
[18] Artinya setiap orang bisa bekerja sama untuk memperoleh pengetahuan yang baru. Ilmu pengetahuan adalah milik semua orang, dan bukan sekumpulan orang jenius saja. Proses penelitian ilmiah dipandang sebagai sebuah proses sosial yang melibatkan banyak pihak. Dengan pola pikir ini, banyak pengetahuan baru tentang cara kerja alam bisa didapatkan. Jika anda mencoba membaca jurnal ilmiah kimia sekarang ini, anda akan melihat, bahwa banyak sekali pengarang untuk satu artikel. Dari sini dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa, seperti dikatakan oleh Bacon, ilmu pengetahuan adalah “usaha sistematik dan kolaboratif dengan satu tujuan untuk menghasilkan pengetahuan.”
[19] Pengetahuan itu memiliki dampak praktis, seperti membantu manusia untuk memahami dan kemudian mengendalikan alam untuk memenuhi kepentingannya. Buku tulisan Bacon yang paling terkenal adalah
Novum Organum, yang, jika diterjemahkan, berarti
alat yang baru. Maksud ditulisnya buku ini adalah untuk menggantikan pola berpikir lama, yakni Aristotelian, yang sebelumnya telah lama dianut, terutama dalam soal logika. Apa itu logika sebagaimana dipahami oleh Aristoteles? Logika adalah ilmu bernalar lurus, yang diwujudkan secara konkret di dalam ilmu tentang argumen.
[20] Dalam arti ini bernalar berarti menarik kesimpulan dengan berpijak pada dua pernyataan yang dianggap tepat, walaupun dua pernyataan tersebut memiliki isi yang berbeda. Seperti dicontohkan oleh Ladyman, pola berpikir logika akan mengambil bentuk seperti ini;
[21] - Setiap manusia pasti mati
- Andre adalah manusia
- Dengan demikian Andre pasti mati.
KEMBALI KE ARTIKEL