Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Kepemimpinan yang Memuaskan

24 September 2011   11:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:39 240 0
[caption id="attachment_137044" align="alignleft" width="300" caption="google pictures"][/caption] Oleh Reza A.A Wattimena Anda pasti ingin bekerja di perusahaan (ataupun organisasi-organisasi dalam bentuk lainnya) atau mendirikan perusahaan yang baik. Siapa yang tidak? Dalam arti ini perusahaan yang baik adalah perusahaan yang terdiri dari orang-orang yang bekerja secara produktif, mampu memberikan kepuasan maksimal pada pelanggan, dan, pada akhirnya, menjadi nomor satu di bidang usahanya. Menarik bukan? Namun sebagaimana dicatat oleh Tony Schwartz (2011), kontributor resmi Harvard Business Review, hanya 20 persen dari seluruh pekerja di dunia yang menyatakan, bahwa mereka bekerja di perusahaan yang baik. Logikanya, 80 persen lainnya merasa, bahwa mereka bekerja di perusahaan yang tidak baik. Logikanya juga, hanya 20 persen orang yang berhasil mendirikan perusahaan yang baik. Sementara 80 persen lainnya gagal. Hmmm.. bagaimana kita harus mengartikan gejala ini? Apakah ada solusi untuk masalah ini? Padahal kalau dipikirkan lebih jauh, orang menghabiskan sebagian besar hidup mereka bekerja, entah di perusahaan orang lain, atau di perusahaan yang ia dirikan sendiri. Jika perusahaan itu tidak baik, betapa tidak bahagianya pasti hidup mereka? Pada hemat saya kuncinya adalah pada karakter kepemimpinan yang ada di dalam berbagai perusahaan. Jadi bukan semata sosok pimpinan-pekerja, seperti manajer, direktur, kepala bagian, dan sebagainya, tetapi lebih pada karakter kepemimpinan pemilik dari perusahan tersebut. Seperti dijelaskan oleh Schwartz, seorang pemilik perusahaan yang baik harus mengubah paradigmanya, dari memeras pekerja untuk mendapatkan keuntungan, menjadi lebih memperhatikan (dan berupaya memenuhi) empat kebutuhan dasar dari pekerjanya, yakni kebutuhan, fisik, emosional, mental, dan spiritual. Hanya dengan begitu pekerja bisa merasa bersemangat dan terinspirasi untuk memberikan kekuatan terbaik mereka di dalam bekerja. Analoginya juga sederhana. Jika tidak diberikan gizi yang mencukupi, maka tubuh manusia akan sakit, dan tak bisa bekerja. Sebaliknya jika gizi yang diberikan cukup, maka tubuh akan sehat, dan bisa bekerja secara maksimal. Ya kan? Dengan berpijak pada pemikiran Tony Schwartz, saya ingin menjabarkan syarat-syarat yang diperlukan, supaya kita bisa menciptakan perusahaan (dan berbagai organisasi lainnya) yang baik. Saya juga akan coba mengaitkan pemikiran tersebut untuk konteks Indonesia. Pendapatan yang Layak Sebuah perusahaan harus membayarkan gaji yang layak untuk pegawainya. Layak dalam arti seorang pekerja bisa hidup layak dengan gaji tersebut. Banyak perusahaan di Indonesia menolak untuk membayarkan gaji yang layak untuk pekerjanya. Akibatnya pekerja jadi tidak bersemangat. Yang banyak juga terjadi adalah diskriminasi. Manajer dan direktur memperoleh gaji yang jauh lebih besar, daripada pekerja biasa. Ini akan menciptakan kecemburuan sosial. Atmosfir kerja pun menjadi tidak enak. Jika atmosfir kerja tidak enak, maka orang akan malas bekerja. Produktivitas dan kepuasan pelanggan dari perusahaan tersebut pun otomatis akan menurun. Ya kan? Rasa Memiliki Orang akan bekerja lebih bersemangat, jika ia merasa memiliki perusahaan tersebut. Maka sangatlah baik jika pemilik memberikan saham kepemilikan kepada pekerjanya, dan juga bagian dari keuntungan yang diperoleh perusahaan. Alternatif lainnya adalah dengan memberikan bonus yang memadai bagi para pekerja yang berprestasi. Prinsipnya adalah semua keberhasilan harus dirasakan oleh semua pegawai, bukan hanya segelintir orang. Yang banyak terjadi di Indonesia adalah keuntungan perusahaan dilahap habis oleh pemilik. Sementara pekerja nyaris tidak mendapatkan keuntungan, ataupun merasakan keberhasilan, dari perusahaan tersebut. Pemilik terlalu pelit untuk berbagi. Para pekerja melihat itu, merasa kecewa, dan lalu tidak bersemangat di dalam bekerja. Di Indonesia banyak orang hanya sekedar bekerja, dan tak pernah merasa memiliki perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka tidak bahagia di dalam bekerja. Ketidakbahagiaan itu pun berpengaruh pada kinerja mereka. Ruang yang Nyaman Ruang kerja pun harus dibuat senyaman mungkin. Artinya ruang tersebut harus aman, nyaman, cukup luas untuk bekerja, dan bisa merangsang kreativitas. Harus ada ruang privasi bagi setiap pekerja. Namun juga ada ruang bersama tempat para pekerja berbincang-bincang santai atau rapat. Di Indonesia banyak perusahaan mengabaikan hal ini. Ruang kerja dibuat seminimalis mungkin, sehingga ongkos bisa ditekan. Ruang kerja tidak aman, tidak nyaman, tidak luas, dan membosankan. Semuanya dilakukan atas nama penghematan. Cara berpikir semacam ini akan jadi bumerang. Dengan ruang kerja yang menyesakkan dada, para pekerja akan merasa tidak puas, dan akhirnya kinerja mereka pun menurun. Kinerja yang menurun akan membuat produktivitas dan kualitas produk menurun. Akibatnya pelanggan pun tidak puas, dan, dalam jangka panjang, perusahaan terancam bubar. Ya kan? Makanan yang Layak Orang bekerja butuh makan. Iya dong? Dan bukan hanya sekedar makanan, tetapi makanan yang sehat, enak, dan murah. Pemilik perlu menyediakan tempat bagi karyawannya untuk memperoleh makanan yang sehat, enak, dan murah. Pekerja yang terpenuhi gizinya dengan harga yang terjangkau akan merasa bahagia dan bersemangat dalam kerjanya. Di Indonesia banyak pemilik perusahaan mengabaikan hal ini. Mereka tidak peduli dengan gizi karyawan, dan hanya sibuk memeras karyawan demi keuntungannya sendiri. Banyak juga pemilik bekerja sama dengan gerai makanan luar yang mahal. Semuanya dilakukan demi keuntungan kantongnya sendiri, dan tidak mempedulikan situasi gizi ataupun keuangan pekerjanya. Ini pemimpin yang menyebalkan. Tempat Beristirahat Pemilik perusahaan juga harus mendirikan tempat beristirahat bagi pekerjanya. Bahkan idealnya menurut Schwartz, pekerja harus mendapatkan kesempatan untuk tidur siang setiap harinya, supaya mereka bekerja lebih segar sore harinya. Di Indonesia para pemilik perusahaan tidak pernah memberikan waktu tidur siang bagi pekerjanya. Mereka merasa bahwa itu adalah kegiatan yang tidak produktif. Padahal kalau dipikir lebih jauh, jika memiliki waktu istirahat siang harinya, para pekerja akan merasa segar pada sore harinya. Kinerja dan produktivitas pun bisa meningkat. Ruang Olah Raga Perusahaan juga harus memiliki fasilitas olah raga bagi pekerjanya. Tidak hanya itu para pekerja pun juga didorong untuk berolah raga, supaya mereka tetap sehat dan segar setiap harinya. Di Indonesia tempat olah raga dianggap sebagai ongkos yang memberatkan. Padahal jika dipikirkan lebih jauh, itu adalah investasi yang berguna untuk perusahaan. Jika para pekerja sehat, maka absen pun akan menurun. Perusahaan pun tidak perlu membayar penggantian uang kesehatan yang terlalu besar. Tempat istirahat dan tempat olah raga adalah investasi perusahaan untuk pekerjanya. Investasi yang amat menguntungkan di kemudian harinya. Target Kerja yang Jelas Target kerja harus jelas. Definisi keberhasilan kerja pun harus jelas, terukur, dan dipahami oleh semua pekerja. Di Indonesia banyak pekerja dianggap sukses, jika ia dekat dengan atasan, lepas dari produktivitasnya bagus atau tidak. Ini namanya kolusi. Ini budaya menjilat yang bisa merusak atmosfir kerja perusahaan. Banyaknya penjilat adalah tanda gagalnya kepemimpinan di perusahaan tersebut. Berikan Kebebasan Selain target dan definisi keberhasilan kerja yang jelas, pemilik juga harus memberikan kebebasan pada para pekerjanya untuk mencapai itu semua dengan cara mereka sendiri, sejauh sejalan dengan garis kode etik dan aturan hukum. Pemilik tidak perlu mendikte pekerjanya seperti anak kecil. Kebebasan itu mencakup kapan mereka bekerja, dimana mereka bekerja, dan bagaimana mereka bekerja. Yang penting target dan keberhasilan kerja dapat tercapai. Di Indonesia perusahaan curiga pada pekerjanya. Pemilik perusahaan mendikte pekerjanya sampai pada hal-hal kecil yang tidak perlu. Pekerja diperlakukan seperti anak kecil yang tolol. Mereka tidak memperoleh kebebasan untuk dibutuhkan untuk mencapai target kerja yang dibutuhkan. Alhasil keberhasilan pun jauh dari genggaman. Timbal Balik Tidak hanya pemilik yang bisa mengevaluasi kinerja pekerjanya. Para pekerja pun harus diberi kesempatan dan didorong untuk mengevaluasi kinerja pemiliknya. Hal ini penting untuk perkembangan perusahaan. Pemilik seringkali tidak melihat apa yang dilihat oleh pekerjanya, dan sebaliknya. Maka mereka perlu saling memberi masukan. Ini akan menjamin tingkat kepuasan pekerja di dalam perusahaan. Pada akhirnya pelayanan yang diberikan oleh perusahaan akan meningkat, dan pelanggan akan merasa puas. Hormat dan Peduli Pemilik harus memperlakukan pekerjanya dengan hormat dan peduli. Rasa hormat dan sikap peduli harus menyebar menjadi budaya perusahaan yang dihayati oleh semua. Pemilik pun harus tegas. Jika ada yang melanggar budaya ini, maka ia harus mendapat teguran ataupun hukuman yang memadai. Rasa hormat terwujud di dalam penghargaan atas setiap hasil karya yang ada di perusahaan. Rasa peduli terwujud di dalam kepekaan pada kesulitan yang kiranya dialami orang lain, baik pekerja maupun pemilik. Di Indonesia pemilik seringkali bersikap sewenang-wenang. Ia memandang rendah pekerjanya, dan tak peduli pada kesulitan yang mereka hadapi. Jika ini yang terjadi, pekerja pun akan membalas. Mereka tidak akan menghormati pemimpinnya. Mereka pun tidak akan peduli pada kesulitan yang dihadapi pemimpinnya. Di depan mereka mungkin tampak hormat. Namun di belakang mereka akan berbicara jelek tentang pemimpinnya. Inilah yang banyak terjadi di Indonesia. Atmosfir kerja tak enak. Tak heran jalan kita masih jauh untuk menjadi negara maju. Proyek yang Bermakna Pemilik perusahaan harus membuat kebijakan, supaya setiap pekerja memperoleh kesempatan untuk membuat proyek jangka panjang yang bermakna, baik bagi dirinya maupun bagi perusahaan. Pekerja tidak boleh dibebani dengan tugas-tugas kecil yang menyiksa diri, dan membuat mereka kehilangan gairah hidup. Di Indonesia pemilik ingin menimbun pekerjanya dengan hal-hal kecil yang banyak sekali jumlahnya. Pemilik tidak membiarkan pekerjanya fokus untuk mengerjakan proyek yang sungguh bermakna bagi diri maupun perusahaannya. Jika ada pekerja yang sedang berpikir, pemilik langsung curiga, jangan-jangan ia sedang ngelamun pada jam kerja. Pekerja tidak dibiarkan berpikir, tetapi diperbudak dengan tugas-tugas kecil yang menyiksa jiwa. Pekerja tidak bahagia. Hidup mereka dipenuhi dengan rasa terpaksa. Perusahaan pun tak berkembang, karena tidak ada ide-ide cemerlang yang muncul. Perkembangan yang Berkelanjutan Pemilik juga harus memastikan, bahwa setiap pekerja memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri. Para pekerja bisa diberikan keterampilan praktis yang baru, atau dikembangkan soft skill-nya. Singkat kata pekerja harus disiapkan untuk menjadi pemimpin di kemudian hari. Mereka tidak hanya bekerja, tetapi juga disiapkan secara terencana untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang unggul di masa depan. Di Indonesia pemilik tidak banyak peduli dengan perkembangan pekerjanya. Segala bentuk peningkatan keterampilan pegawai dianggap lebih sebagai biaya, sehingga prosedurnya dipersulit. Tak heran banyak perusahaan mengalami krisis kepemimpinan sekarang ini. Ini terjadi karena mereka pelit dalam mengalokasikan sumber daya untuk mengembangkan kemampuan praktis maupun karakter pekerjanya. Punya Idealisme Pemilik juga tidak boleh bekerja untuk mencapai keuntungan finansial semata. Pemilik harus bekerja untuk nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi, yang bermakna pada masyarakat dan dunia. Keuntungan finansial perlu. Tetapi tidak pernah boleh menjadi tujuan utama, melainkan hanya alat untuk tujuan lain yang lebih tinggi, yakni perbaikan kualitas kehidupan di masyarakat, ataupun di dunia. Pemilik juga perlu menyatakan ini dengan tegas kepada para pekerjanya. Hanya dengan begitu para pekerja menyadari, bahwa mereka bekerja untuk sesuatu yang lebih bermakna daripada sekedar meraup uang sebanyak mungkin. Di Indonesia banyak pemilik perusahaan bekerja semata untuk memperoleh untung sebesar-besarnya. Mereka tidak punya idealisme. Perusahaannya menjadi dangkal, kering, dan tak punya nilai tambah pada masyarakat luas. Para pekerjanya pun tak merasa bangga bekerja di sana. Bahkan untuk memperbesar untung, mereka rela melakukan apapun, termasuk merugikan pekerja, bahkan pelanggan. Perusahaan semacam ini hanya hadir untuk merusak masyarakat. Secara empiris sebagaimana dicatat oleh Schwartz, belum pernah ada perusahaan yang mewujudkan semua hal di atas. Paling dekat menurutnya adalah Google, dan itu pasti memberikan sumbangan bagi keberhasilan mereka. Saya pikir apa yang dinyatakan Schwartz juga penting untuk kita di Indonesia. Kita ingin dan butuh untuk bekerja atau mendirikan perusahaan (ataupun organisasi lainnya) yang baik bagi semua. Bukan begitu? Penulis adalah Dosen Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun