Malam itu selesai makan malam, Subur menghidangkan pisang-goreng dan kopi. Saya sangat terkesan dengan pelayanan Subur, Sar dan Rean. Dengan segala keterbatasan sarana, mereka tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik. Selesai makan malam, saya langsung menyiapkan segala sesuatunya untuk pendakian ke puncak besok pagi dan permisi untuk pergi tidur. Besok pagi saya harus bangun sebelum jam dua.
Saya tidur lumayan nyenyak. Beberapa kali terbangun tapi selalu dapat tidur kembali. Saat terbangunpada jam 01:00 dini hari, saya tidak berusaha untuk kembali tidur. Saya mencoba untuk mendengarkan suara angin di luar, tidak terdengar ada suara ribut atau berisik yang menunjukkan tiupan angin yang kuat. Itu pertanda bagus, pagi ini mestinya akan aman untuk naik ke puncak. Jam 01:30 saya mulai mendengar ada aktifitas di luar. Itu pasti Subur, Sar dan Rean sudah bangun untuk mulai menyiapkan sarapan.
Saya mulai bersiap-siap dan segera keluar tenda untuk melakukan sedikit peregangan. Aktifitas para porter di tenda-tenda yang lain juga sudah terlihat. Satu hal yang sangat menggembirakan adalah pagi ini tidak ada angin sama sekali. Sebentar lagi dini hari yang gelap ini pasti akan dipenuhi oleh sorot lampu dari head-lamp para pendaki.
Beberapa saat kemudian Cemplung juga keluar dari tenda. Pagi itu kami sarapan cereal dan kopi. Selesai sarapan kami memeriksa kembali perlengkapan dan logistik yang semalam sudah dipersiapkan. Kami hanya akan membawa satu rucksack kecil berisi coklat, jelly, apel, tiga botol air mineral ukuran 600 ml dan tas P3K. Kamera SLR masuk ke dalam rucksack, dua kamera kecil masuk kantung celana. Saya memutuskan untuk tidak membawa tripod karena terlalu merepotkan. Hanya saya berdua dengan Cemplung saja yang akan naik ke puncak. Cemplung yang akan membawa rucksack, saya hanya membawa tas pinggang kecil yang biasanya selalu saya lingkarkan ke punggung.
Segara Anak di senja hari, di-photo dari Plawangan Sembalun ke arah barat. Di sebelah kiri bawah tampak sebagian dari kaki Gunung Barujari.
Saat saya sedang mengganti battery GPS, teman expat dari tenda sebelah datang menghampiri. Dia membuka percakapan dengan berbasa-basi sebentar. Saya belum tahu apa yang dia inginkan tapi dia pasti memerlukan sesuatu dari saya. Seandainya dia hanya bermaksud ingin mengobrol untuk berkawan, pasti sudah dia lakukan tadi malam saat kita punya banyak waktu santai. Pagi ini semua orang tergesa-gesa untuk segera berangkat ke puncak.
Ternyata dia memerlukan battery ukuran 3A untuk head-lamp nya. Saya selalu membawa battery cadangan ukuran 2A dan 3A dalam jumlah lebih dari cukup. Saya angsurkan empat battery 3A sesuai jumlah yang dia minta. Dia memaksa untuk membayar, saya menolak. Dia mengatakan kalau saya tidak mau menerima uangnya, dia tidak bisa menerima battery-nya. Saya ganti mengatakan kalau dia memaksa memberi uang, saya tidak bisa memberi battery.Teman expat yang aksen bahasa Inggrisnya aneh ini akhirnya mengalah. Dia menerima empat battery saya sambil mengatakan “I will never forget this, thank you”, saya tersenyum tapi tidak tersanjung, saya tahu itu hanya basa-basi.
“OK Cemplung, kita berangkat sekarang, saya sudah siap” saat saya mulai beranjak pergi, saya lihat dari kegelapan seseorang datang menghampiri. Ternyata guide dari teman expat di tenda sebelah. Dia menanyakan barangkali saya punya obat sakit maag. Saya beri dua butir pain-killer sambil saya katakan kalau itu hanya penghilang sakit karena saya tidak punya obat maag. Tampaknya teman-teman di tenda sebelah sudah menganggap tenda kami seperti warung.
Saya dan Cemplung akhirnya berangkat jam 02:45, 15 menit lebih lambat dari rencana. Kedua teman expat di tenda sebelah tampak masih bersiap-siap saat saya lewat di depan tenda mereka. Kami berjalan beriringan dengan Cemplung di depan ke arah selatan, ke arah pematang Rinjani. Tenda-tenda yang kami lewati di sepanjang jalan umumnya sepi. Penghuninya pasti sudah berangkat ke puncak dan porter-porter mereka kembali tidur.
Jalan setapak yang kami lewati pada beberapa menit awal relatif datar karena masih berada di rim Plawangan Sembalun. Setelah belok ke kiri menuju igir yang menghubungkan Plawangan Sembalun dengan pematang Rinjani, jalur mulai menanjak dan sangat berdebu. Setiap kali melangkah, debu-debu beterbangan. Saya menutup hidung dan mulut dengan bandana, tapi ternyata malah membuat saya tidak leluasa bernafas.
“Mas, itu banyak yang sudah sampai di punggungan” kata Cemplung sambil menunjuk ke arah pematang. Saya lihat memang banyak kerlap-kerlip lampu dari head-lamp pendaki yang berada di atas permatang. Melihat banyaknya pendaki yang naik membuat saya semakin bersemangat. Saya bisa melihat lampu mereka beriringan di atas pematang seperti kunang-kunang. Ke arah belakang, saya juga melihat beberapa lampu berjalan beriringan.
Sekitar tiga-puluh menit kemudian, kami sampai di igir yang menghubungkan rim Plawangan Sembalun dengan pematang Rinjani, berupa jalur tanjakan sempit di atas pematang yang di sebelahkanannya jurang. Tanjakan ini selain sempit, juga sangat terjal dan licin. Untuk memudahkan, di sebelah kanan dipasang pagar besi sebagai pegangan sekaligus pengaman, namun di beberapa tempat fondasi pagarnya sudah goyah. Saya justru tidak berani berpegangan pada pagar besi karena takut roboh. Untuk menjaga keseimbangan saya mengandalkan trek-pole saya.
Lewat dari hadangan tanjakan yang lumayan sulit, saya sampai di pematang Rinjani. Dari pengamatan saya sore sebelumnya, jalur di pematang ini menanjak sangat panjang, relatif lurus tetapi tidak terlalu terjal. Di beberapa tempat jalurnya agak terbuka sehingga saya harus berhati-hati.
Saat kami sedang mendaki di pematang, dari arah berlawanan saya lihat ada sinar lampu yang sorotnya ke arah kami dan pelan-pelan makin mendekat. Saat berpapasan, orang tersebut ternyata orang Indonesia, terlihat terengah-engah dan jalannya agak sempoyongan. Dia mengatakan sudah tidak kuat untuk terus mendaki dan memutuskan untuk kembali.
Turun ke Plawangan sendirian saat hari masih gelap dengan kondisi seperti itu sungguh bukan merupakan ide yang bagus. Saya agak mengkhawatirkan bagaimana teman ini nanti akan mengatasi turunan curam dan licin di igir yang berpagar itu. Tapi saya yakin dia akan baik-baik saja hingga tiba di tenda-nya di Plawangan.
Beberapa menit kemudian, saat lewat di jalur yang terlindung, saya minta Cemplung untuk berhenti istirahat sebentar. Kami harus jongkok duduk mepet ke dinding tebing supaya rombongan pendaki yang berada di belakang kami dapat lewat dengan mudah. Jalur di pematang ini sangat sempit. Debu beterbangan saat rombongan pendaki lewat di depan kami. Diantara beberapa pendaki expat yang lewat menyusul, saya lihat dua orang tetangga tenda kami dengan guide-nya. Yang tadi pagi minta battery terlihat masih cukup segar dan bersemangat, tapi temannya terlihat agak kerepotan.
Kami kembali mendaki, Cemplung berjalan di depan saya di belakang. Setiap kali melewati jalur yang agak terbuka, saya merasakan tiupan angin dari sisi sebelah kiri. Bukan tiupan angin yang kuat, tapi saya dapat merasakan. Kemungkinan angin memang sudah bertiup seperti itu sejak tadi, hanya saja baru sekarang saya memperhatikan. Lagipula saya pikir itu hal biasa, di pematang ini tidak ada pepohonan yang dapat meredam angin.
Saya juga perhatikan saat berjalan di jalur-jalur tertentu, kedua tangan Cemplung menunjuk ke arah bawah. Tangan kanan menunjuk ke arah bawah kanan, tangan kiri menunjuk ke arah bawah kiri. Semula saya mengira Cemplung bermaksud memberi tahu bahwa di kanan-kiri jalan adalah jurang. Saya pikir itu tidak perlu, tokh sejak melewati igir berpagar, di kanan-kiri kita memang selalu jurang. Belakangan saat hari mulai agak terang, saya baru paham. Ternyata Cemplung memberi tahu bahwa di kanan-kiri jalan bukan sekedar jurang, tetapi tebing hampir vertikal yang menganga.
“Mas, itu ada beberapa orang yang kembali. Mungkin di atas anginnya mulai kencang....” kata Cemplung tiba-tiba sambil memperlambat langkah. Saya melihat ke depan. Jauh di depan memang terlihat beberapa sinar lampu yang menyorot ke arah yang salah. Saya mulai gelisah, tapi mungkin saja mereka kembali karena tidak kuat naik. Tadi juga ada pendaki yang kembali turun karena tidak kuat.
“Kita jalan terus dulu saja Mas, nanti di atas kita lihat bagaimana perkembangannya. Kita jalan pelan-pelan saja” kata Cemplung kemudian.