Setelah di undangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (UU No. 32/2004), bangsa ini melakukan kembali ritual demokrasi yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yakni pemilihan umum kepala daerah (Pemilu kada) secara langsung, prosesi ritual demokrasi yang seharusnya suci ini pertama kali dilaksanakan pada 1 Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kertanegara. Hal ini merupakan bukti terpenuhinya (sebagian) tuntutan rakyat untuk memilih sendiri pemimpin daerahnya.
Perombakan-perombakan yang dilakukan dalam prosesi demokrasi ini diharapkan menjadi langkah yang tepat untuk memilih orang-orang yang duduk di pemerintahan sesuai dengan keinginan hati nurani rakyat sendiri, bukan karena hasil politik transaksional (politik dagang sapi) para elit politik di daerah. Namun, ritual demokrasi yang selama ini dianggap sebagai ritual demokrasi paling revolusioner masih menyisakan banyak persoalan. Misalnya, kedangkalan pemahaman rakyat di grass roots (akar rumput) akan demokrasi yang diejawantahkan dalam pemilu kada.
Sampai saat ini masih terlalu banyak manusia-manusia yang hidup di republik ini memnganggap bahwa demokrasi berarti sebuah kemenangan, jika mereka (calon mereka) kalah itu berarti belum ada demokrasi. Seperti apa yang bisa kita lihat kekisruhan yang terjadi pada pemilu kada Kotawaringin Barat yang masih menyisakan masalah. Ini membuktikan jika substansi pemilu kada langsung tampaknya belum menjadi mekanisme terciptanya sistem politik yang benar-benar demokratis.
Meskipun prosesi pemilu kada ini hanya dilaksanakan di tingkat daerah, namum implikasinya dapat dirasakan hingga tingkat nasional. Ritual besar ini tentu akan melibatkan banyak orang dengan berbagai kepentingan yang berbeda dan cara untuk mengekspresikan jiwanya yang berbeda pula. Jika terdapat api yang menyulut kekacauan di tengah massa yang sedang tegang, maka akan segera menjadi kobaran api yang tidak terkendali. Tentunya hal ini bila dibiarkan akan menjadi permasalahan tingkat nasional, bukan lagi monopoli tanggung jawab pemerintah daerah semata.
Di dalam UU No. 32/2004, hal penyelenggara pemilu kada menjadi bagian dari kontroversi. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dipandang mudah dikemudikan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPRD). Selain itu, persyaratan partai politik mengajukan calon (partai dengan 15% kursi di DPRD) juga dipandang problematik. Judicial review yang diajukan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) diluluskan oleh Mahkamah Konstitutsi. Paska judicial review, Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) mengadakan konsolidasi dengan KPUD terutama dalam mengisi lubang-lubang yang ada di UU No. 32/2004. Salah satunya adalah jika terjadi keperluan untuk menunda karena bencana atau hal lain. Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) yang disempurnakan digunakan untuk mengisi kekosongan tersebut.
Kemandirian KPUD ini juga tidak membawa kepastian maupun jaminan akan lancarnya proses pemilu kada. beberapa permasalahan yang sering muncul diantaranya; waktu pendaftaran calon diganggu oleh masalah konflik internal partai, fanatisme pendukung partai politik yang kandidatnya tidak lulus verifikasi ataupun tidak memenangkan pemilu kada, tidak profesionalnya KPUD yang berdampak pada proses pemilu kada setelah calon-calon tersebut terpilih. Selain itu supervisi KPU tidak bisa optimal mengingat masalah internal KPU di pusat dengan beberapa terpaan isu miring terkait masalah korupsi dan masalah lain.
Tentunya tidaklah sepenuhnya salah jika kemudian muncul berbagai pendapat yang mengatakan bahwa pelaksanaan pemilu kada langsung merupakan sebuah demokrasi revolusioner yang prematur. Jika dikaji secara yuridis, pelaksanaan pemilu kada secara langsung masih menimbulkan pro-kontra. Meskipun konsepnya sama dengan pemilu, pemilu kada berbeda dengan pemilu. Pokok permasalahannya menyangkut peran KPU dan KPUD. Ada ketidaksinkronan pada “aturan mainnya”. ketidaksingkronan ini bisa dilihat pada;
"Undang-Undang No 32 Tahun 2004 menetapkan KPUD sebagai penyelenggara pemilukada dan bertanggung jawab kepada DPRD (pasal 57 ayat 1 dan 2). Di sisi lain, Undang-Undang No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dan UU No 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menegaskan bahwa KPU Provinsi/Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan dengan KPU. Jadi, semestinya KPUD bertanggung jawab kepada KPU, tidak kepada DPRD. Jika KPUD bertanggung jawab kepada DPRD, peluang terjadi konflik politik dan konflik sosial semakin besar dan bisa menyebabkan chaos."
Probematika yang sering muncul dalam pemilu kada;
Transparansi pendanaan dan logistik dalam pemilu kada. Kita tahu, saat ini hampir semua institusi pemerintah mencantumkan pemilu kada sebagai bagian kerja institusinya. Selain itu, besarnya anggaran pemilu kada, sangat riskan terhadap 'penggelapan' ke kantong pribadi. Di sini, mentalitas dan netralitas birokrasi ataupun penyelenggara diuji.
Minimnya partisipasi masyarakat, ada yang tidak mau berpartisipasi dalam pemilukada karena menganggap pemilu kada tidak bisa mengubah kondisi. Mereka seringkali mengatakan: “Siapa pun pemimpinnya, toh tukang becak ya tetap tukang becak, buruh ya tetap buruh, apa gunanya pemilukada.”
Konflik horisontal, pemilu kada secara langsung memungkinkan terjadinya dukung-mendukung terhadap calon secara fanatik. Kefanatikan berpotensi memicu konflik. Terlebih lagi, jika ada calon yang melakukan black campaigne (kampanye hitam) untuk menjelek-jelakkan dan menjatuhkan lawannya. Konflik tersebut dapat meluas menjadi konflik laten (agama, suku, golongan, kelas sosial, dan lain-lain) yang berbahaya.
Masalah paling populis adalah money politik. Money politik dalam pemilu kada secara langsung memang tidak seriskan pemilu kada melalui parlemen. Saya rasa bukan suatu hal yang mustahil jika pemilu kada penuh dengan money politik, mengingat pemilih dan yang dipilih berada dalam satu daerah (berbeda dengan pemilihan presiden/wakil presiden yang jangkauan wilayahnya adalah negara).
Kalaupun tidak ada money politik secara langsung, 'kontrak iklan' di media massa juga dapat dikatakan sebagai money politics. Mengapa? Karena media massa adalah salah satu alat pembentukan opini, dan mereka yang beriklan adalah mereka yang punya uang. Kalau uang sudah bicara, ketika terpilih pun orientasi pertamanya adalah uang. Nah lo...udah bosan belum melihat iklan-ikan pemilu kada di tipi-tipi?
Dari sederet problematika pemilu kada, saya akan sedikit share beberapa hal yang mungkin bisa menjadi sedikit solusi di tengah bara kekisruhan yang dipicu oleh ritual suci berlabel pemilu kada;
Pertama, mengantisipasi hal-hal yang belum diatur dalam UU No. 32/2004. Dimana usulan mengajukan UU pemilukada yang tersendiri sedang dibicarakan dengan lembaga legislatif. UU No. 32/2004 menjadi ‘cantelan’ dari UU pemilukada tersebut. Kedua, Menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) supaya ke depannya tidak perlu membuat perpu-perpu yang fungsinya melengkapi kekurangan UU.
Solusi berdasar rentang waktu;
Jangka pendek, perlunya menyelesaikan permasalahan hukum seputar pengangkatan kepala daerah. Jangka menengah, mengevaluasi DIM dan pelaksanaan pemilu kada di daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus seperti di Aceh dan Papua. Jangka panjang, perlu direvisi UU No. 32/2004 sambil menyiapkan dasar-dasar untuk UU pemilu kada.
Semoga dengan minimnya kecurangan dalam penyeleggaraan pemilu kada, dapat terpilih pemimpin daerah yang sesuai dengan keinginan rakyat, bukan raja kecil baru yang berorientasi untuk memperkaya diri. Dari calon-calon yang maju dalam bursa pemilu kada, sangat mungkin akan didominasi oleh petinggi-petinggi partai politik (parpol). Memang bukan masalah jika setelah terpilih mereka (petinggi-petinggi parpol) bisa memosisikan diri sebagai milik masyarakat yang mendapat amanat rakyat, tidak memosisikan diri sebagai milik partai yang mengemban amanat partai. Tetapi, akan lebih baik lagi jika ada calon independen yang maju, tentunya mereka yang memiliki reputasi dan track record yang baik.
Tamiang Layang, 9/5 2012.