Pada umumnya, alasan utama manusia melakukan budidaya satwa liar adalah karena alasan ekonomis yang berasal dari bermacam-macam produk, misalnya ; daging, minyak, gading/tanduk/taring, kulit sampai pada pemanfaatan bulu dan nilai keindahan dari kekhasannya. Salah satu cara budi daya dan pengembangan satwa liar menjadi komoditi domesti adalah domestikasi atau penangkaran. Ada beberapa pola yang dikembangkan, yaitu game ranching dan game farming. Game ranching adalah penangkaran yang dilakukan dengan sistem pengelolaan yang ekstensif. Ada dua arti yang berbeda (Robinson dan Bolen, 1984), pertama, suatu kegiatan penangkaran yang menghasilkan satwa liar untuk kepentingan olah raga berburu, umumnya jenis binatang eksotik, kedua, adalah kegiatan penangkaran satwa liar untuk menghasilkan daging, kulit, maupun binatang kesayangan, seperti misalnya burung, ayam hutan dan sebagainya. Pola penangkaran ini telah berkembang di Afrika, Amerika Serikat dan Australia. Di Indonesia sendiri pola ini telah di coba dikembangkan untuk jenis-jenis ayam hutan, burung, reptil (buaya, ular, penyu) dan ungulata (rusa, banteng).
Pola yang kedua adalah game farming, yaitu kegiatan penangkaran satwa liar dengan tujuan untuk menghasilkan produk-produk seperti misalnya kulit, bulu, minyak dan taring/gading/tanduk. Dalam pola ini dikembangkan juga penjinakan untuk keperluan tenaga kerja, misalnya gajah.
Prinsip penangkaran adalah pemeliharaan dan perkembangbiakaan sejumlah satwa liar yang sampai pada batas-batas tertentu dapat diambil dari alam, tetapi selanjutnya pengembangannya hanya diperkenankan diambil dari keturunan-keturunan yang berhasil dari penangkaran tersebut.