Hari Selasa malam hingga Sabtu pagi minggu yang lalu aku"terpaksa" berada di ibu kota untuk mengikuti sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi profesiku. Saat menerima undangan kegiatan tersebut pada awal bulan lalu, sudah terbayang perjalanan yang jauh dari membahagiakan. Aku akan mengunjungi kota yang sarat dengan pemandangan yang paling kubenci. Apalagi jika bukan kesenjangan. Begitu aku tiba di Jakarta, seolah sugesti, satu demi satu peristiwa yang membuat
mood down pun muncul di hadapan. Diawali dengan pemandangan malam hari di seputaran Equity Tower, SCBD, ke arah Sudirman. Di tepian jalan sekitar kawasan tersebut aku melihat banyak pemuda pesepeda asongan sedang
ngetem menunggu pembeli. Mereka menggunakan sepeda kayuh sebagai gerainya. Beberapa termos air panas dan termos es ditata rapi di sadel boncengan yang telah dimodifikasi, sementara itu juntaian kemasan
sachet minuman, mie instan
cup, gelas plastik, juga makanan kecil menghias stang dan keranjang depan sepeda kayuh mereka. Dengan sabar para pemuda yang berpenampilan sederhana itu menanti satu dua pembeli menghampiri. Ada beberapa yang mangkal di dekat taman kota, ada yang berjajar rapi di sepanjang jalan, dan ada pula yang mangkal berkelompok di tikungan jalan, bersimbiosis mutualisma dengan penjual makanan seperti bakwan kawi, membentuk sebuah tempat nongkrong. Meski banyak eksekutif muda berpakaian perlente lalu lalang, namun selama aku melintasi kawasan tersebut, hanya kulihat satu pembeli yang memesan minuman atau makanan pesepeda asongan yang mangkal di seputar taman dan di sepanjang jalan. Dan meski lampu taman di belakang sepeda-sepeda mereka tampak cantik di malam hari, toh hatiku tetap saja sesak melihatnya. Sungguh sebuah pemandangan yang demikian kontras dengan latar belakang gedung-gedung bertingkat baik perkantoran, hotel, kafe, restoran,
mall, dan ribuan mobil bagus yang lalu lalang di hadapan mereka setiap harinya.
KEMBALI KE ARTIKEL