Seperti banyak kawasan perkotaan di Indonesia, Wijilan adalah contoh dari kampung yang padat penduduk tetapi miskin fasilitas sosial. Di kampung ini, ruang terbuka untuk bermain nyaris tak ada. Jika ingin mencari tempat bermain, kami harus puas dengan jalan raya sebagai "lapangan".
Dalam ingatan saya, jalan raya kampung itu menjadi saksi kegembiraan dan keberanian anak-anak di sana. Hampir setiap sore, kami bermain bola di sela-sela deru kendaraan yang melintas. Permainan berhenti sejenak setiap kali ada motor, becak atau andong yang lewat, hanya untuk dilanjutkan kembali setelah jalan cukup lengang.
Namun, seiring waktu dan pengalaman, saya mulai menyadari bahwa kenangan ini bukan hanya cerita dari Wijilan. Fenomena serupa hampir selalu saya temui di kota-kota lain di Indonesia. Anak-anak di berbagai sudut kota memanfaatkan apa pun yang tersisa dari ruang publik yang semakin tergerus. Jalan raya menjadi lapangan sepak bola darurat, tempat mereka menantang risiko demi sedikit kebahagiaan.
Kenangan ini kembali terlintas ketika saya meliput persiapan PON di Jayapura pada Maret 2020. Meskipun akhirnya ditunda karena pandemi, pengalaman itu tetap membekas. Di sekitar pusat bisnis Jayapura, tepatnya di lorong-lorong ruko dekat Swiss-Belhotel tempat saya menginap, pemandangan yang akrab tersaji: anak-anak setempat bermain bola di lorong sempit.
Tawa dan teriakan mereka terdengar hingga jauh, meski ruang bermain mereka hanya cukup untuk sekadar menggiring bola. Tidak ada lapangan hijau, tidak ada garis gawang yang jelas, hanya tembok ruko sebagai pembatas dan lantai beton yang dingin sebagai alas.