Seringkali setiap MUI mengeluarkan fatwa, masyarakat langsung terlibat pro dan kontra; polemik yg kadang bersifat konta-produktif. Saya tidak sedang menyalahkan MUI, tp mempersoalkan efek yg ditimbulkan oleh tindakan MUI.
Yang terbaru adalah fatwa haram MUI atas Lady Ga-Ga (mungkin karena bukan Lady Ya-ya). Lady Gaga itu porno, menurut MUI, krn itu diharamkan kedatangannya. Alasan lain, cuma pemanis fatwa saja.
Seruan MUI adalah seruan moral. Bagus di satu sisi. Tapi apakah efektif dalam kondisi bangsa yg saat ini serba semrawut dng berbagai tekanan moral, sosial, ekonomi dan juga politik? Tidak. Fokus masyarakat terpecah pd banyak hal. Dan fokus utama terarah pada tuntutan makan dan perolehan keadilan yg semakin sulit mereka dapatkan. Ketika urusan makan dan keadilan tak kunjung mereka dapatkan, maka seruan moral, sebaik apapun itu, cenderung tidak akan digubris.
Ada sebuah dongeng di era Orde Baru: Ketika korupsi yg dilakukan pemerintah menyedot hampir 40% dana APBN setiap tahun, maka pemerintah perlu melakukan "hipnotis" kepada masyarakat agar masyarakat tdk terlalu "ngeh" dengan korupsi yg pemerintah lakukan. Hipnotis itu sering disebut oleh sebagian orang sebagai "politik ventilasi"....yakni memberikan saluran udara pada pengapnya ruang ketidakpuasan di tengah masyarakat. Masyarakat perlu ventilasi supaya tidak memberontak, itu intinya.
Maka munculah klenik, pornografi dan judi sbg bentuk konkret politik ventilasi. Terbukti berhasil; politik ventilasi menghipnotis masyarakat menjadi lupa dan mencandu pada berbagai aktivitas yg mengarah pd krisis moral. Bahkan musik dangdut pun ditunggangi pemerintah agar semakin identik dengan porno.
Jika para "moralis" (yg berbasis pd institusi keagamaan) bergerak ke tengah masyarakat dengan cara menyerukan "Hentikan klenik, porno dan judi!" maka yg mereka lakukan adalah memangkas puncak gunung es. Sementara di bagian bawah gunung, ada dasar yg maha luas dan itu tak tersentuh. Dng kata lain, seruan pemberantasan klenik, porno dan judi tidak substansial. Itu hanya kulit.
Jika moral merupakan kekuatan bangsa dan negara ini, tentu sudah sejak lama Indonesia menjadi negara maju yg makmur. Krn bukankah di negeri ini banyak sekali bertebaran para "moralis" dari Aceh hingga Papua? Tapi kenyataannya, negeri ini tersungkur lumayan dalam. Moral, dengan demikian, tidak memberikan pengaruh signifikan dlm dunia yg serba materialitis ini.
Harusnya para moralis itu menyerukan secara radikal "Tumpas korupsi!"...ini baru substansial. Memangkas bagian dasar puncak gunung es, bahkan hingga ke akarnya. Karena memang semua persoalan krisis moral yg disebutkan di atas berasal dr korupsi.
MUI ingin bangsa ini menjadi baik secara moral, itu bagus. Hanya tindakannya perlu lebih mengakar. Percuma serukan "stop pornografi dan porno aksi" krn porno merupakan "hiburan" bagi masyarakat yg sumpek; hiburan bagi mereka utk melarikan diri dari kesulitan ekonomi, ketidakpuasan politik, keterasingan sosial dan tuntutan2 keadilan.
Kalo mau urusan moral masyarakat menjadi baik, maka jangan melulu bicara soal moral saja. Mari sama2 kita juga bicara soal penegakan hukum (maaf, mksdnya bukan hukum dlm konteks fiqh). Saat penegakan hukum yg adil berjalan, kita mulai perkuat lg bicara soal moral; intensitasnya, kualitasnya, sasarannya. Saat korupsi terkikis, dan masyarakat mulai tdk lg menganggur, kemiskinan berkurang, kelaparan tereliminir, gizi buruk diminimalisir, maka persoalan moral akan semakin diminati.
Cuma...jangan seperti dongeng di atas ya; menjadikan urusan moral sbg "politik ventilasi". Itu tidak baik efeknya. Krn Anda (sbg penyeru moral) bs saja untung, tp masyarakat ttp saja celaka.
Catatan: Konsep "politik ventilasi" di dapat dari Joko Santoso, salah satu pendiri PAN.