Di bawah pohon besar pinggir jalan dekat taman sana dia berhenti, mencoba untuk istirah, menjeplok di rumput kering lalu mengipaskan topi bambunya. Tak tahu apakah ada angin yang bisa dikipas mengingat terlalu banyak dan besar2 lubang di topi itu. Badan bungkuknya dia sandarkan di batang pohon, bibirnya tampak seperti selalu tersenyum...entah pada siapa; mungkin pd dunia! Rahangnya jantan seperti susunan karang yg kokoh: rahang seorang lelaki.
Ku perhatikan sekali lagi; dia ambil rokok kreteknya dan mulai disulut lalu asap putih tebal dia hembuskan. Berkali-kali dia lakukan itu sampai kedua matanya kelihatan mengantuk, lalu....sebentar saja dia tampak tertidur. Dia pasti lelah. Pasti, walau dia coba tutupi hal itu.
"Wahai bapak! Kenapa engkau sendirian mengarung dunia? Apakah engkau sebatang kara?"
Aku pun ikut menjeplok, duduk termangu di atas trotoar depan taman dan mengawang teringat sosok ayah, ayah ku! Bagaimana kabar mu ayah? Adakah kau bahagia? Adakah kau sehat2 saja? Apakah kau juga sebatang kara?
Ah! Maafkan anak mu yg tak pernah bersambang, mencium tangan kasar mu, tak juga memijit kaki mu yg mungkin sudah terlalu kaku membuat jejak panjang.
Maafkan aku, ayah...jika aku tak pernah benar2 mengenal mu. Cuma rasa kangen yg bisa ku titipkan pada langit utk mu...dan sebait doa setiap selesai sembahyang.
Pak tua tadi bergerak, membuyarkan lamunanku, menyingkirkan ayah dari khayalan ku. Perlahan dia buka kedua matanya, lalu menatap ke arah gerobak abu gosoknya. Rokok ditangannya sudah mati sejak tadi dan abunya meliuk panjang seperti ular daun yang berwarna abu2. Segera dia bangkit dan menarik gerobaknya. Roda2 gerobak bergemeletakan, bergerak pelan meninggalkan debu di belakang, juga meninggalkan aku yg di dlm hati berucap ringan, "Sampai bertemu lagi wahai lelaki ber-rahang kokoh..."