Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Perbankan Syariah Kebal di Tengah Krisis

21 Juni 2010   08:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:23 2830 0
PENGANTAR

Bangsa Indonesia tentu masih ingat krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998. Krisis yang menjadi awal lahirnya krisis di bidang lain, termasuk ekonomi dan politik, dan menjadi stimulasi delegitimasi pemerintah Orde Baru.

Krisis yang memporandakan keuangan dan perbankan Indonesia juga terjadi di belahan negara lain. Namun hal unik yang kemudian muncul adalah komentar para ahli di bidang perbankan dan ekonomi yang mengatakan bahwa ketika krisis terjadi ada dua lumbung yang secara ajaib tetap kebal (imune) terhadap krisis, yakni ekonomi rakyat dan perbankan syariah.

Para pakar sering mencontohkan bahwa ketika krisis terjadi, usaha kecil seperti Pasar Tanah Abang dan yang sejenisnya tidak terpengaruh oleh krisis. Ekonomi rakyat dengan mengagumkan dapat bertahan dan menjadi "penolong" perekonomian. Meski kecil, namun ekonomi rakyat berhasil menunjukkan kekuatannya.

Namun yang paling mengagumkan adalah daya tahan yang ditunjukkan oleh perbankan syariah. Berhubung krisis moneter sangat berkaitan erat dengan perbankan, maka daya tahan perbankan syariah menjadi sebuah bukti empirik yang tidak terbantahkan bahwa koridor syariah dalam perbankan bukan sekedar menjadi alternatif bank konvensional. Keunggulannya bahkan diprediksi dapat menyaingi bank konvensional.

Krisis moneter dan penurunan nilai tukar rupiah terjadi karena adanya krisis kualitas lembaga-lembaga keuangan yang berbasis pada penerapan suku bunga. Tingginya nilai suku bunga sebagai penyebab dari krisis moneter mengakibatkan ambruknya dunia perbankan dan sektor riil yang berpengaruh pada ketidakstabilan pertumbuhan ekonomi.

Ada beberapa hal yang terjadi pada bank konvensional dan perekonomian Indonesia ketika krisis moneter melanda: Pertama, Perbankan konvensional tidak memiliki ketersediaan dana liquid yang cukup untuk operasionalnya.  Nasabah peminjam mengalami ketidakmampuan untuk mengembalikan dana pinjaman karena tingginya nilai suku bunga. Kemacetan pengembalian dana pinjaman dari pihak nasabah ke perbankan berimplikasi pada ketidakmampuan pihak perbankan untuk mengembalikan dana pinjaman kepada Bank Indonesia.  Sehingga pada saat nilai suku bunga melonjak tinggi, kondisi ini mengakibatkan goncangan pada sistem manajemen moneter perbankan konvensional.  Kedua, bank konvensional berbasis sitem ekonomi kapitalis. Dalam sistem ekonomi yang berbasis kapitalis, prinsip dasarnya adalah interest base yang menempatkan uang sebagai komoditi yang diperdagangkan. Hal ini ternyata memberikan implikasi yang serius terhadap kerusakan hubungan ekonomi yang adil dan produktif. Ketiga, perbankan konvensional juga cenderung kurang dalam pengembangan sektor riil dan lebih bermain pada transaksi yang spekulatif berdasarkan nilai suku bunga. Ini yang dikabarkan menjadi biang terjadi krisis moneter.

Kemudian sistem manajemen Syariah disebut-sebut dan diyakini dapat menjadi solusi dalam membangun kembali sistem perekonomian di Indonesia. Sistem ini menggarisbawahi bahwa uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan bukan merupakan komoditi yang dapat diperdagangkan, apalagi mengandung unsur spekulasi yang diyakini dapat mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Selain itu, sistem Syari’ah juga menekankan bahwa peredaran uang tidak boleh terjadi hanya dibeberapa kelompok saja, karena akan terjadi konsentrasi modal yang mengakibatkan lumpuhnya perekonomian pada masyarakat ditingkat bawah. Hal-hal tersebut yang menjadi pembeda antara bank konvensional dengan bank syariah.

SEKILAS MENGENAI PERBANKAN SYARIAH

Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah atau hukum Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, seperti usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman yang  dikategorikan haram, usaha media yang tidak Islami, dan usaha-usaha lain yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.

Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.

Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.

Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.

Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah [[haji].

Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. [1].Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero), Bank Rakyat Indonesia (Persero)dan Bank swasta nasional: Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Tbk).

Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. [sunting] Prinsip perbankan syariah.

PRINSIP PERBANKAN SYARIAH

Menurut Bank Indonesia (BI), prinsip-prinsip dasar sistem ekonomi Islam menjadi dasar beroperasinya bank syariah. Diantara prinsip-prinsip itu yang paling menonjol adalah dalam bank syariah tidak mengenal konsep bunga uang (interst) dan untuk tujuan komersial Islam tidak mengenal peminjaman uang tetapi dilakukan dengan cara kemitraan atau kerjasama (mudharabah dan musyarakah) dengan prinsip bagi hasil. Sedang dalam konteks peminjaman uang hanya dimungkinkan untuk tujuan sosial tanpa adanya imbalan apapun.

Beberapa prinsip lain, sebagaimana dinyatakan oleh BI, yang melekat pada bank syariah adalah: Pertama, Prinsip Mudharabah, yaitu perjanjian antara dua pihak dimana pihak pertama sebagai pemilik dana (sahibul mal) dan pihak kedua sebagai pengelola dana (mudharib) untuk mengelola suatu kegiatan ekonomi dengan menyepakati nisbah bagi hasil atas keuntungan yang akan diperoleh. Sedangkan kerugian yang timbul adalah resiko pemilik dana sepanjang tidak terdapat bukti bahwa mudharib
melakukan kecurangan atau tindakan yang tidak amanah (misconduct). Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada mudharib maka mudharabah dibedakan menjadi mudharabah mutlaqah dimana mudharib diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menentukan pilihan investasi yang dikehendaki.
Sedangkan jenis yang lain adalah mudharabah muqayyaddah dimana arahan investasi ditentukan oleh pemilik dana, sedangkan mudharib bertindak sebagai pelaksana atau pengelola.

Kedua, Prisip Musyarakah, yaitu perjanjian antara pihak-pihak untuk menyertakan modal dalam suatu kegiatan ekonomi dengan pembagian keuntungan atau kerugian sesuai nisbah yang disepakati.
Musyarakah dapat bersifat tetap atau bersifat temporer dengan penurunan secara periodik atau sekaligus diakhir masa proyek.

Ketiga, Prinsip Wadiah adalah titipan dimana pihak pertama menitipkan dana atau benda kepada pihak kedua selaku penerima titipan dengan konsekuensi titipan tersebut sewaktu-waktu dapat diambil kembali, dimana penitip dapat dikenakan biaya penitipan. Berdasarkan kewenangan yang diberikan maka wadiah dibedakan menjadi wadiah ya dhamanah, yang berarti penerima titipan berhak mempergunakan dana atau barang titipan untuk didayagunakan tanpa ada kewajiban penerima titipan untuk memberikan imbalan kepada penitip dengan tetap pada kesepakatan dapat diambil setiap saat diperlukan, sedang disisi lain wadiah amanah tidak memberikan kewenangan kepada penerima titipan untuk mendayagunakan barang/dana yang dititipkan.

Keempat, Prinsip Jual Beli (Al Buyu'), yaitu terdiri dari: (1) Murabahah, yaitu akad jual beli antara dua belah pihak dimana pembeli dan penjual menyepakati harga jual yang terdiri dari harga beli ditambah ongkos pembelian dan keuntungan bagi penjual. Murabahah dapat dilakukan secara tunai bisa juga secara bayar tangguh atau bayar dengan angsuran; (2) Salam, yaitu pembelian barang dengan pembayaran dimuka dan barang diserahkan kemudian; (3) Ishtisna, yaitu pembelian barang melalui pesanan dan diperlukan proses untuk pembuatannya sesuai dengan pesanan pembeli dan pembayaran dilakukan dimuka sekaligus atau secara bertahap.

Kelima, Prinsip Jasa-Jasa terdiri dari: (1) Ijarah, yaitu kegiatan penyewaan suatu barang dengan imbalan pendapatan sewa, bila terdapat kesepakatan pengalihan pemilikan pada akhir masa sewa disebut Ijarah mumtahiya bi tamlik(sama dengan operating lease); (2) Wakalah, yaitu pihak pertama memberikan kuasa kepada pihak kedua (sebagai wakil) untuk urusan tertentu dimana pihak kedua mendapat imbalan berupa fee atau komisi; (3) Kafalah, yaitu pihak pertama bersedia menjadi penanggung atas kegiatan yang dilakukan oleh pihak kedua sepanjang sesuai dengan yang diperjanjikan dimana pihak pertama menerima imbalan berupa fee atau komisi (garansi); (4) Sharf, yaitu pertukaran /jual beli mata uang yang berbeda dengan penyerahan segera berdasarkan kesepakatan harga sesuai dengan harga pasar pada saat pertukaran.

Keenam, Prinsip Kebajikan, yaitu penerimaan dan penyaluran dana kebajikan dalam bentuk zakat infaq shodaqah dan lainnya serta penyaluran alqardul hasan yaitu penyaluran dan dalam bentuk pinjaman untuk tujuan menolong golongan miskin dengan penggunaan produktif tanpa diminta imbalan kecuali pengembalian pokok hutang.

Prinsip-prinsip tersebut berdiri di atas landasan prinsip ekonomi Islam bahwa bank syariah berfungsi sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi atas dana-dana yang dipercayakan oleh pemegang rekening investasi atau deposan atas dasar prinsip bagi hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank; sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki oleh pemilik dana atau sahibul mal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana (dalam hal inibank bertindak sebagai manajer investasi); sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan jasa-jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; sebagai pengelola fungsi sosial seperti pengelolaan dana zakat dan penerimaan serta penyaluran dana kebajikan (fungsi optional).

PERBANKAN SYARIAH KEBAL DI TENGAH KRISIS

Melalui prinsip-prinsip itu bank syariah bergerak dan pada perkembangannya ternyata memberikan kontribusi yang nyata bagi perekonomian negara. Kekebalannya terhadap krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997, dan juga pada krisis global tahun 2008, telah membuat kalangan akademisi dan praktisi semakin serius mengkaji perbankan syariah. Tidak kurang International Monetary Fund (IMF) juga turut melakukan berbagai kajian terhadap perbankan syariah sebagai alternatif keuangan internasional yang belakangan sering mengalami ketidakstabilan dan menyebabkan terjadinya krisis dan keterpurukan ekonomi akibat lebih dominannya sektor finansial dibanding sektor riil dalam hubungan perekonomian dunia.

Wajar jika perbankan syariah kini menjadi trend yang semakin diminati oleh para nasabah tanah air. Berkaca pada kasus Bank Century yang belum lama terjadi, perbankan syariah dapat menjadi pengganti pemenuh kebutuhan masyarakat dalam bidang keuangan. Alasannya sederhana saja: perbankan syariah berlaku adil, kebal terhadap krisis karena berdasarkan pada prinsip kemitraan, dan dikelola secara jujur berlandaskan intepretasi ajaran Islam yang berkiblat pada tujuan "rahmatan lil 'alamin."

Ini sangat berbeda dengan konsep dasar perbankan yang berbasiskan sistem kapitalisme, dimana pencarian keuntungan yang sebesar-besarnya dengan berbagai cara menjadi hal yang dibenarkan. Jika kemudian masih terdapat keraguan untuk terus mengembangkan perbankan syariah dan menganggap tujuan perbankan syariah sebagai sebuah utopia, maka itu merupakan anggapan yang tergesa-gesa.

Namun perlu juga dicermati beberapa hal yang berhubungan dengan prinsip dasar dan perkembangan trend bank syariah: Pertama, meski secara normatif prinsip perbankan syariah menolak riba, namun pada kenyataannya, menurut beberapa pakar ekonomi Islam, unsur riba masih melekat pada perbankan syariah. Meski ditegaskan unsur riba, jika ada, hanya kecil, maka ini tetap menjadi catatan penting dalam bisnis perbankan syariah. Karena jika demikian, apa bedanya dengan bank konvensional. Semakin dibenarkan keberadaan riba, yang sebetulnya bisa menjadi pembeda antara bank syariah dengan bank konvensional, maka akan semakin mirip bank syariah dengan bank konvensional, beserta daya tahannya terhadap krisis.

Kedua, trend perkembangan perbankan syariah yang menjadi bagian dari bank konvensional di satu sisi memberi justifikasi empirik bahwa sistem syariah teruji di lapangan, dan ini kabar bagus. Namun, di sisi lain trend itu menunjukan fakta bahwa bank konvensional ramai-ramai juga ikut menerbitkan syariah dalam sistem perbankannya. Hal ini ditakutkan akan mengaburkan unique selling point perbankan syariah yang sejati, dan tercampur dengan bumbu-bumbu kapitalisme. Nasabah yang menabung pada perbankan syariah umumnya karena dorongan keyakinan keagamaan dan untuk menghindari riba. Nasabah juga menabung dengan asumsi bahwa bank syariah lebih adil, aman dan menguntungkan. Jika terjadi pergeseran, misalnya riba semakin dibenarkan untuk diadopsi dalam prinsip perbankan syariah, maka ini tidak ada bedanya dengan bank konvensional. Nilai keunikan perbankan syariah akan hilang, dan segmentasi pasarnya akan memudar.

Ketiga, sistem kapitalisme diakui merupakan sistem yang sampai saat ini tahan banting, dengan segala kekurangannya. Tentu ini merupakan anggapan yang bias Barat. Namun demikian harus diakui daya tahan sistem kapitalisme cukup mampu menjawab tantangan zaman dengan berbagai eksesnya kepada manusia. Salah satu daya tahan sistem ini adalah karena bersedia mengadopsi sistem lain kemudian merubah sistem lain itu dengan corak dasar kapitalisme. Saat ini hanya sistem ekonomi Islam dan perbankan syariah yang menjadi pesaing sistem ekonomi kapitalisme dan bank konvensional. Respons untuk mengungguli pesaing tentu ada dalam diri sistem kapitalisme. Hal ini perlu dicermati betul oleh para konseptor dan praktisi perbankan syariah.

Namun memang, jika melihat fakta, dan dihubungkan dengan krisis yang pernah beberapa kali terjadi di dunia, perbankan syariah masih diakui masyarakat sebagai sistem yang kebal terhadap krisis. Pertanyaannya, sampai kapan kekebalan itu memiliki daya tahan?

Penulis adalah mahasiswa MIKOM Universitas Muhammadiyah Jakarta.

PUSTAKA

http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/E736319E-6D52-4199-ACF9-247D719BF119/3018/bempvol2no3des99.pdf

http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/uncategorized/menampilkan-wajah-sosial-bank-syari%E2%80%99ah-ditengah-potret-kemiskinan-masyarakat.html

http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/eureka/2004/0326/eur1.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun