Mayoritas pekerjaan masyarakat Kab. Indragiri Hilir adalah petani, khususnya petani kebun kelapa. Hal ini dikarenakan kondisi lahan yang dipengaruhi pasang surut air laut, sehingga komoditas pertanian yang cocok adalah kelapa. Walaupun ada sebagian yang bercocok tanam pohon pinang, kelapa sawit dan komoditas pangan lainnya, namun kelapa tetap menjadi yang utama.
Dengan berlimpahnya hasil kelapa, tidak heran banyak pabrik pengolah kepala (baca: kopra) disekitar muara/kuala sungai yang berdiri. Keberadaan pabrik-pabrik ini sangat penting bagi petani kelapa dalam memasarkan produknya. Namun ketergantungan petani yang tinggi terhadap pabrik-pabrik ini menyebabkan posisi tawar petani dalam menentukan harga kelapa sangat kecil, saat ini harga kelapa hanya sebesar Rp 700,- per kilo kopra (kelapa yang diasap). Sungguh sangat memberatkan petani, tidak sebanding dengan ongkos produksi yang dikeluarkan. Idealnya, menurut petani, harga yang sesuai adalah minimal Rp 1.000,- per kilo kopra, syukur-syukur di atas harga itu. Namun apa boleh dikata, harga ditentukan oleh pabrik pengolah.
Di sini lah seharusnya peran Pemerintah Daerah dalam menstabilkan harga kopra, atau solusinya pemkab setempat membangun pabrik pengolah kopra melalui perusda yang ada, sehingga pemasukan pemkab pun ada, tidak hanya sebatas menarik pajak dari pabrik swasta yang ada.
September ini adalah bulan pilkada di Kab. Indragiri Hilir dan Prov. Riau, merupakan momentum yang tepat bagi masyarakat - khususnya petani kelapa - menentukan kepala daerah, Cabup atau Cagub yang pro rakyat dengan program-program_nya tentu akan dipilih. Namun seperti yang sudah-sudah, janji program pro rakyat hanya sebatas ucapan. Saat kampanye mereka silih berganti datang ke desa-desa, namun setelah terpilih, lupa lah mereka.
Kabupaten Indragiri Hilir seperti anak tiri di sebuah keluarga kaya raya bernama Provinsi Riau. Padahal Gub. Riau - non aktif - berasal dari kabupaten ini, tapi pembangunan yang ada sangat jauh tertinggal dari kabupaten yang lain. Jalan-jalan di Tembilahan - ibukota kab. Indragiri Hilir - masih bayak yang tidak layak dilalui kendaraan. Itu jalan di ibukota kabupaten, yang di kecamatan semakin parah lagi. Sudahlah jalur sungai/laut tidak bisa dilalui jika air surut, mau lewat darat, jalannya tidak layak.
Desa Tekulai Hilir, Kecamatan Tanah Merah, salah satu desa yang belum merasakan dampak kemajuan jaman, utamanya akses jalan. Ada jalan darat menuju Tembilahan, tapi hanya bisa dilalui kendaraan roda 2, dan saat musim hujan, kubangan disana-sini. Menggunakan sarana air, lebih susah lagi urusannya. Jika air pasang 'bot' (speedboat) baru dapat digunakan itupun jika penumpang mencukupi kuota, minimal 8 orang penumpang baru bisa melayani, jika kurang maka motoris 'bot' tidak akan jalan, rugi ongkos BBM katanya.
Waktu tempuh perjalanan menggunakan 'bot' dari Desa Tekulai Hilir Ke Tembilahan kurang lebih 45 menit, jika jalan darat dengan kondisi kering dapat ditempuh selama 30 menit. Dapat dibayangkan jika ada masyarakat yang sakit dan perlu segera ke rumah sakit, maka si sakit mesti menunggu air pasang dulu baru dibawa. Lewat jalan darat jelas tak mungkin, karena hanya motor yang bisa melalui.
Namun, masyarakat di Desa Tekulai Hilir ini sudah terbiasa dengan kondisi yang ada, mereka tetap semangat menggarap kebun kelapa yang tidak seberapa, merawat dan memanen_nya. Tidak ada fasilitas umun, listrik mengguna genset desa yang dikelola masyarakat dan hanya dinyalakan dari jam 6 sore sampai jam 10 malam. Tidak ada fasilitas air bersih, mengharapkan tadahan air hujan. Hanya karena kebun kelapa mereka bertahan, agar tetap berproduksi maka diperlukan parit/kanal yang banyak. Jika tidak, maka tidak lama lagi desa ini sudah tidak berpenghuni
Tekulai Hilir, Agustus 2013