Tradisi Uang di Golkar
Gonjang-ganjing Golkar saat ini sebenarnya karena beberapa pihak ada yang enggak legowo ngikutin tradisi Golkar. Agung Laksono (yang kalah di Munas Bali) gak mau mundur dan Abu Rizal Bakrie (yang menang) ogah ngebayar sejumlah uang kepada Agung Laksono. Berbeda dengan yang terjadi pada tahun 2010. Pasangan JK-Win kalah di Pilpres, ketika Munas JK harus mundur karena kalah. ARB maju menggantikan JK dengan sejumlah 'pesangon'.
Seperti juga terjadi di Kadin dan organisasi lainnya yang bernaung di bawah Pohon Beringin. It's all about money they can earn... Mirip tender proyek, selalu ada jatah untuk pihak yang kalah, dikalahkan, atau disetting untuk kalah.
Golkar dibuat pada zaman Orde Baru untuk menjadi alat kekuasaan Soeharto. Kekuasaan selalu berkutat soal siapa mendapatkan uang dan bagaimana cara mendapatkannya. So simple! Dari mana Golkar mendapat uang? Dari Orba hingga kini sumber uang Golkar hanya APBN (dan APBD).
Jaman Orde Baru, permainan ada di Dirjen Anggaran (DIPA, DAK dll). Semua alokasi berikut trik-triknya ada di sana. Setelah Orde Reformasi, ketika DPR memiliki hak konstitusional budgeting, maka seperti pepatah “Ada gula, ada semut”, semut-semut itupun ngikut pindah. Walaupun APBN pos belanja berada sekitar 20-an % dari nilai pasar barang dan jasa di Indonesia, tapi cukup manis sehingga mengundang para semut untuk berkerumun.
Jejak-jejak Uang dalam Suksesi Para Ketum Golkar
Tidak pernah Golkar berada pada pihak yang beroposisi itu karena masalah ini. Siapapun yang jadi presidennya, maka Golkar akan merapat. Tahun 2004 ketika Golkar mengajukan Akbar Tanjung sebagai capres/cawapresnya, dan kalah (catatan: lewat ronde pertama aja enggak bisa), maka Akbar Tanjung legowo untuk mundur. Akbar Tanjung harus menerima kenyataan bahwa JK siap ngasih duit. Emang Akbar mau mau make duit siapa? Akhirnya JK yang jadi ketum Golkar. JK akhirnya menjadi Wapres SBY dan leluasa memainkan berbagai proyek APBN melalui Aksa Mahmud dan sanak kerabatnya.
Ketika tahun 2009 JK kalah dalam Pilpres, maka JK-pun legowo mundur dari Golkar. JK tak lagi punya akses ke APBN. JK digantikan oleh ARB yang pernah masuk 10 orang orang terkaya di Indonesia (Forbes 2007 & Globe 2008). Sebagai eksekutor finansialnya adalah adiknya, Nirwan Bakrie. Begitu usahanya menurun secara finansial (sekitar 2012), aktifitasnya disupport dari tambang, bola dan politik.
Setya Novanto dan Pertemuan di Rumah Aksa Mahmud
Khusus finansial dari politik ARB selama ini disupport dengan manuver lincahnya “Sang Kepala Suku”, SETYA NOVANTO alias SN (sering disebut the Untouchable = yang tak tersentuh) yang pada saat itu menjabat sebagai ketua Fraksi Golkar di DPR RI sekaligus Bendahara DPP Golkar.
SN juga bermain dengan sangat licin di Badan Anggaran (Banggar DPR RI). Setya Novanto sama sekali tak tersentuh ketika satu persatu anggota Banggar dibidik dan diciduk KPK, antara lain Waode Nurhayati, M Nazaruddin, I Wayan Koster, Angelina Sondakh, Zulkarnaen Djabar, Mirwan Amir, Tamsil Linrung, Olly Dondokambey dan Markus Mekeng.
Setya Novanto hanya beberapa kali dikerjain KPK sebagai formalitas. Berikutnya aman-aman saja. Setya Novanto bahkan akhirnya melenggang terpilih sebagai Ketua DPR RI (2014-2019).
Dalam kondisi seperti saat ini, wajar Golkar versi Munas Ancol (Agung Laksono cs) dimenangkan oleh Menkumham. Perbedaannya, saat ini JK tidak boleh menjadi pengurus, tetapi meminta sebagai penasihat DPP Golkar Mengapa hal tersebut begitu penting bagi JK?
Tidak lain karena pertemuan tanggal 15 Pebruari 2015 di rumah Aksa Mahmud di Menteng. Pada pertemuan tersebut berkumpul Megawati, Puan, Surya Paloh dan tuan rumah Aksa Mahmud. Setelah tercapai kesepakatan, baru JK bergabung dalam pertemuan tersebut.
Isi kesepakatan tersebut masih misteri sampai saat ini. Ada yang mengatakan bahwa pertemuan itu mencari kebuntuan atas KPK-Polri (keputusan praperadilan BG tanggal 16 Peb diumumkannya). Ada yang mengatakan pertemuan tersebut intinya memuluskan suksesi berikutnya (JK-Puan). Ada yang mengatakan pertemuan tersebut intinya strategi memecah-belah KMP (PPP, PAN, Golkar, PKS dll)
Golkar dengan kelihaian berpolitiknya selama puluhan tahun memang teruji namun tidak pernah akan meninggalkan strategi bagaimana memanfaatkan pundi-pundinya. Tidak ada yang mau menguras kantong sendiri untuk aktifitas politiknya. Itu selalu dipegang teguh
Itu pula alasannya mengapa Setya Novanto tetap akan dipakai ketika Golkar versi Munas Ancol (baca: Golkarnya JK) disahkan oleh pemerintah. Bukan karena sukar prosedur penggantian, tetapi lebih karena hanya SN lah yang menguasai permainan di sana.
Tahun 2013 pernah terjadi pergantian pimpinan DPR. Tidak ada gonjang ganjing. Sebagai kepala suku di DPR, SN menghandle seluruh “kebijakan” anggaran. Kebijakan berapa persen untuk pimpinan DPR... berapa persen untuk Banggar... berapa persen untuk pimpinan komisi-komisi.
SN bisa “berkomunikasi” dengan Agus Gumiwang ataupun dengan Ade Komaruddin, terutama terkait “kebijakan” tersebut.
Intinya, siapapun boleh jadi real Ketum Golkar: Boleh ARB maupun JK. Tapi sumber pundi- pundinya harus diamankan. Orang yang tepat untuk urusan ini tidak lain adalah SN.
Jika JK berkehendak menyambut ajakan Megawati-Puan-Surya Paloh, mau tidak mau dia perlu SN. Tidak mungkin JK berani menggulirkan rencana aksi tersebut, jika tidak ada eksekutor finansialnya. Untuk itu SN tidak digantikan jika Munas versi Ancol itu yang dimenangkan pemerintah dan pengadilan. Sekali lagi tidak ada yang mau menguras kantong sendiri untuk aktifitas politiknya.
Inilah Bancakan Uang yang Sebenarnya
Mari kita hitung berapa funds yang bisa dirising. Anggaran belanja pada APBN sekitar RP 1600-an triliun. Dengan asumsi sekitar 10%-nya dibeli secara blok oleh pemain-pemain APBN, berarti itu sekitar RP 160 triliun. Yang disetor oleh pemain-pemain APBN sekitar 5% di depan, sebelum disahkan sebagai UU APBN. 82% dari pagu anggaran yang dikawal tersebut adalah milik pimpinan (ketua atau wakil ketua) yang mengawal proyek tersebut. Dengan jumlah pimpinan DPR sebanyak 5 orang, maka perorang dapat jatah sebesar Rp 1 T (Ketua DPR dapat lebih). Tentunya dengan asumsi jika semua pimpinan DPR ikut main.
Dana sebesar itu cukup untuk membiayai perubahan pimpinan nasional Indonesia. Sebagai perbandinga, pasangan Jokowi-JK memerlukan dana setidaknya RP 2T untuk mengguyur KPU, Bawaslu, DKPP dan MK ketika Pilpres 2014 yang lalu (diantaranya 45% untuk MK). Informasi ini perlu diketahui agar para relawan Jokowi (terutama kalian eks-PKI) tidak kaget kalau mereka tidak kebagian apapun.
It's everything about MONEY. Politik itu 3F: Figur, Fans, Funds. Politik itu tidak lagi berdasarkan platform, tidak berdasarkan ide besar kenegaraan, tidak berdasarkan ideologi.