Dengan tekhnologi internet ini juga kita tak perlu bersusah-payah duduk di perpustakaan mencari referensi, namun tinggal pergi ke warnet. Dengan bantuan “mbah” Google setiap orang dapat dengan mudah mengakses (browsing) referensi yang dibutuhkan.
Namun, persis pada titik inilah persoalan akan muncul. Di mana dengan kemudahan yang ditawarkan oleh “mbah” Google tadi membuat banyak orang menjadi plagiat (penjiplak). Orang pun akan malas lagi pergi ke perpustakaan mencari referensi atau membaca. Dampak selanjutnya adalah minat membaca buku menjadi berkurang bahkan menghilang. Bagi masyarakat Indonesia yang minat membacanya rendah, menjadi berjingkrak dengan kemudahan yang ditawarkan oleh “mbah” Google ini.
Sehingga tak heran kalau tindak plagiarisme (penjiplakan) menjadi menggurita di negeri ini, dengan para pelaku yang beragam. Mulai dari mahasiswa, guru, penulis, dosen, hingga guru besar. Pada tahun 2010 silam (sekadar contoh), masyarakat Indonesia di gegerkan oleh tindak pemalsuan yang dilakukan secara kolosal oleh para pendidik (guru) di provinsi Riau.
Seperti yang diungkap oleh Ahmad Baedhowi dalam artikelnya di Media Indonesia (8/2/2010)), “dimana sekitar 1.700 guru di Riau melakukan tindak pemalsuan pembuatan karya ilmiah sebagai syarat sertifikasi guru. Untuk membuat karya ilmiah, para guru tersebut menggunakan jasa calo, dan kebanyakan bahan diambil dari Google.” Perilaku tercela ini tak menutup kemungkinan terjadi juga di Aceh umumnya dan tanoh Gayo khususnya dengan modus operandi yang bisa jadi lebih kreatif.
Hal diatas boleh jadi disebabkan oleh paradigma pendidikan selama ini yang cendrung mengabaikan aspek pembelajaran, namun lebih terfokus pada aspek pengajaran. Andrias Harefa (Menjadi Manusia Pembelajar, 2000), mengemukakan bahwa pendidikan bukan hanya sekadar proses pengajaran (belajar mengetahui) dengan bermacam teori dan hafalan, tapi juga proses pembelajaran (belajar menjadi) yang meniscayakan spirit membebaskan.
Namun ironisnya, aspek pembelajaran dalam aktualisasinya selama ini ada kecendrungan diabaikan. Padahal dengan pembelajaran inilah akan timbul kesadaran kemanusiaan bagi anak didik. Kesadaran untuk mengembangkan potensi kemanusiaanya; baik itu potensi ruhaniyah (spiritual), aqliyah (pikiran), nafsiyah (jiwa), dan jasmaniyah (tubuh).
Sementara proses pengajaran yang berangkat dengan titik tekan pada teori dan hafalan hanya membuat anak didik menjadi ”celengan kosong” dan “robot” yang sama sekali tidak memiliki kemerdekaan dan kesadaran diri dalam mengartikulasikan potensi kemanusiaanya.
Ali Syariati, pemikir Islam liberatif dalam bukunya Man and Islam (1982) sebagaimana yang dikutip A. Malik Fajar dalam jurnal Salam Vol. 3 No.1/2000, memasukan kesadaran diri dan kemerdekaan (kehendak bebas) sebagai atribut yang membedakan manusia dengan binatang. Menurut Syariati, ada tiga atribut yang membedakan manusia dengan makhluk biologis seperti binatang. Ketiga atribut yang dimaksud adalah kesadaran diri, kemauan bebas, dan kreatifitas.
Karena adanya tiga ciri fundamental inilah, manusia disebut dengan insan yang kemudian dipertentangkan dengan basyar, yakni konsep manusia dalam wujudnya yang bersifat fisiologis. Jika dalam wujudnya sebagai basyar manusia berpotensi terkungkung atau terpenjara dengan struktur fisiologisnya dan realitas yang mengitarinya, maka sebagai insan—dengan kesadaran diri, kemauan bebas dan kreatifitas—manusia dapat melakukan “pengembaraan” dalam rangka membangun kebudayaan dan peradaban.
Jika konsep Syariati diatas diletakan dalam konteks pengajaran dan pembelajaran, maka bisa disimpulkan kalau pengajaran akan bermuara pada eksistensi manusia sebagai basyar. Di mana dengan doktrinasi teori dan “pembeoan” lewat hafalan membuat anak didik terkungkung atau terpenjara dengan struktur fisiologisnya bahkan dengan realitas yang mengitarinya. Maka perilaku plagiat yang kian menemukan habitusnya di negeri ini bisa dikelompokan sebagai salah satu bentuk implikasi dari proses pendidikan yang hanya bertitik-fokus pada aspek pengajaran.
Sementara pendidikan yang mengapresiasi aspek pembelajaran akan melahirkan anak didik yang memiliki kemerdekaan, kesadaran diri dan kreatifitas. Sehingga mereka akan selalu peka dengan realitas yang mengitarinya untuk selanjutnya di teliti, di kaji dan di analisa dalam rangka membangun kebudayaan dan peradaban.
Untuk itu, menjadi tanggung-jawab mendesak dari para pendidik dan semua stakeholder terkait untuk mensinergikan aspek pengajaran dan pembelajaran dalam dunia pendidikan. Dan ini harus dimulai dari guru/dosen agar dengan kesadaran yang tinggi dan kemauan yang baik memosisikan anak didik sebagai insan yang merdeka dengan segala potensi kemanusiaanya.
Tulisan ini pernah di muat di Media Online Lintas Gayo