Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Cerpen Belum Ada Judul

21 November 2011   19:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:22 142 0
Gemuruh di langit kelam membuatku terhenyak. Malam yang awalnya tenang perlahan diusik oleh rintihan gerimis. Kau akan terkejut jika mengetahui kalau itu bukan gerimis, melainkan pasir yang berasal dari amukan gunung Merapi. Entah berapa kubik material lagi yang dimuntahkannya kali ini.

Aku membesarkan volume televisi agar tak dikalahkan oleh bunyi rintik rintik pasir yang menghantam bumi dan raungan sirine yang terdengar sayup sayup, berharap bisa dengan fokus menonton siaran berita seputar meletusnya gunung Merapi yang disiarkan secara langsung. Hanya itu satu satunya informasi tercepat yang bisa kudapatkan saat ini.

Semenjak zona bahaya merapi diperlebar, aku terpaksa mengungsi di kediaman pacarku karena kosanku berada di zona bahaya. Sebenarnya aku bisa saja mengungsi bersama penduduk lainnya, tapi tentu saja Raka dan keluarganya menyuruhku untuk tinggal di rumahnya.

Rumah yang cukup besar ini sepi karena semua keluarga Raka memilih tinggal di Solo. Biasanya Nuel yang menemaninya di sini, tapi kali ini hanya ada aku karena mereka berdua sedang bertugas sebagai Tim SAR. Tugas yang sangat beresiko, tentu saja.

Aku mendengar bel berbunyi. Hatiku mencelos, tamu apa yang bertandang ke rumah orang tengah malam begini? Tidak mungkin pembantu harian karena dia selalu datang pagi hari.

Bunyi pagar yang terbuka membuatku lega. Itu Raka, karena selain aku hanya dia yang memiliki kunci pagar.

Aku bergegas membuka pintu depan.

“Raka, kamu…” Belum sempat aku bertanya tubuhnya yang kuat sudah memelukku.

“Aku gak mau ninggalin kamu sendirian, Ra.” bisiknya.

Aku heran sekaligus tersipu karena tidak biasanya dia bersikap seperti ini.

Bagiku ini berlebihan. Harusnya dia sedang berada di atas sana sekarang, membantu para pengungsi di sekitar merapi. Tapi mau tidak mau aku lega juga karena tak perlu mencemaskan dirinya. Mungkin bisa dikatakan, senang. Aku tahu jika pikiran dan perasaan seperti ini benar benar egois tapi aku tidak bisa memaksanya untuk kembali ke sana, bukan? Dan sejujurnya aku menginginkannya tetap berada di sampingku.

“sebaiknya kita masuk sebelum dadaku sesak dan paru paru kita dipenuhi oleh debu debu ini” ujarku sambil melepaskan pelukannya secara perlahan.

Dia hanya tersenyum namun tetap mengikutiku, memegang pundakku dari belakang. Sentuhannya membuat tubuhku terasa hangat, padahal suhu pendingin di ruangan ini cukup dingin.

“Kamu mandi dulu deh biar bersih. Aku mau bikin kopi biar kita enak ngobrolnya”

Dia mengangguk, “Pokoknya aku ga mau ninggalin kamu sendirian.” bisiknya lagi.

Aku tertawa. Hatiku merasa tergelitik sekaligus senang. “aku juga. Ya sudah kamu mandi dulu sana. Aku ga mau ditemenin kamu kalau kamu masih kotor,” candaku.

Dia tertawa kecil memamerkan sederet gigi putihnya lalu berjalan memasuki kamar.

***

Aku sedang menata dua cangkir kopi di meja depan TV saat bel pintu berbunyi. Itu pasti Nuel, dia tidak akan tenang jika Raka tak bersamanya di lokasi. Apalagi kalau keadaannya sedang gawat seperti ini. Aku maklum.

Tebakanku tepat. Aku membukakan pintu dan Nuel menghambur masuk, terengah engah.

“Kara, kita harus ke Rumah Sakit sekarang,” tegasnya.

“Ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Temen loe sama Raka?”

“Pokoknya kita harus ke Rumah Sakit, sekarang!” tegasnya lagi, mengacuhkan pertanyaanku.

“okay, gue panggilin Rakanya dulu.” jawabku. Belum sempat aku berpaling, Nuel memegang tanganku. Dia mengernyit, tatapannya menyelidik.

“Ada apa?” tanyaku heran.

“Raka di Rumah Sakit, Ra!” ujarnya.

Lelucon apa ini? Aku tak mengerti. Jelas jelas Raka ada di sini. Aku memutar bola mata, “Raka barusan pulang, Wel. Dia lagi mandi sekarang.” tawaku.

“Ra, Raka luka bakar serius kena awan panas”

“Udah deh Wel, Raka ada di sini! Loe ga usah bercanda!” aku cemberut. Sesungguhnya aku memang benar benar tidak ingin bercanda di saat saat seperti ini.

Nuel masih menatapku tapi kali ini dengan tatapan yang tak bisa ku terjemahkan.

“Ra, tenang. Gue mohon lu jangan panik. Raka ada di Rumah Sakit, gue sendiri yang nganter dia.”

Aku menarik nafasku dan menghembuskannya perlahan. Aku tak ingin terpancing emosi. Apa maksudnya ini? Apa maksudnya mengatakan jika Raka ada di Rumah Sakit padahal jelas jelas Raka ada di rumah ini bersamaku. Aku menarik Nuel memasuki ruang tengah lalu menunjuk dua cangkir kopi yang masih hangat dan penuh.

“Loe lihat?! Itu kopi gue dan Raka!”

Nuel menatapku prihatin. Aku benci tatapan itu. Aku benci diajak bercanda seperti ini. Ini tidak lucu, benar benar tidak lucu. Apa sih yang dia inginkan? Atau jangan jangan dia dan Raka bersekongkol mengerjaiku? Ah, ya… Aku baru sadar sekarang.

Belum sempat Ia menjawab, aku sudah menghambur ke dalam kamar Raka. Nuel mengikutiku. Bagus, akan kutunjukkan kepada mereka berdua kalau lelucon konyol mereka itu benar benar tidak cerdas.

“Raka… Kamu keluar deh, ga usah bercanda lagi. Aku tahu kalau kalian berdua ngerjain aku!” aku menggedor pintu kamar mandi di kamar Raka. Tak ada jawaban. Aku membuka pintu kamar mandi, namun tak ada siapa siapa. Aku menatap Nuel.

“Sekarang gue serius. Lelucon apa yang sedang kalian mainin?!” tanyaku ketus.

Nuel balas menatapku masih dengan tatapan prihatin. Dia memegang kedua pundakku. “Ra, Raka sudah meninggal.”

Sudah meninggal? Apa maksudnya sudah meninggal? Aku muak. Kutepis tangan Nuel dari pundakku dengan sentakan kuat. Ingin rasanya aku usir dia saat ini juga.

Aku berlari keluar kamar, menghambur memasuki seluruh ruangan rumah sambil memanggil manggil Raka. Tak ada sahutan dari Raka. Kemana dia?

Aku kembali ke ruang Tengah, dibuntuti oleh Nuel yang kini juga berdiri terpaku menyaksikan siaran berita langsung.

Di layar televisi, ku lihat Raka dan beberapa orang sedang berlari lari menggendong seorang pria kemudian menaruhnya di ranjang rumah sakit. Beberapa perawat dan tim SAR menyusulnya.

Aku tercekat dan tertegun, tidak tahu harus berbuat apa. Susah sekali bagiku untuk mencerna apa yang telah terjadi. Mataku menuju ke arah Nuel yang menatapku dengan tatapan yang kuyakin sama bingungnya denganku.

Sebelum Dia sempat membuka suara, aku menoleh cepat dan menatap kembali ke layar kaca. Pembaca berita tampak membelakangi kamera, lalu berbalik. Rambutnya acak acakan dan mukanya penuh dengan debu vulkanik.

“Pemirsa, Imanuel Yusuf yang merupakan salah seorang Tim SAR yang membantu efakuasi warga akhirnya meninggal dunia karena luka bakar serius yang disebabkan oleh awan panas… “

Otakku membeku. Aku menahan nafas dan menoleh ke arah Nuel berdiri. Tak ada siapa siapa.

====
ini cerpen pertama gue, dan gue ga tahu mau dikasi judul apaan, hahahaha

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun