Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Cinta Mati Gaya Ahok

28 November 2013   02:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:36 3655 46

Tjung (Zhoung) Kim Nam sedang sibuk mencari senjata api miliknya yang terselip entah di mana. Sementara di luar, dua orang petugas keamanan PN Timah tengah mengacungkan senapan dan siap menarik pelatuk untuk merobohkan si tuan rumah. Sejatinya, sengketa ini hanya diawali oleh dua sopir Tjung Kim Nam yang babak-belur dikeroyok satpam PN Timah, karena mobil mereka mengepulkan debu dan memapar wajah para satpam itu.

Merasa harga dirinya terinjak di luar status sebagai pengusaha, Tjung Kim langsung menelepon ke pemimpin bagian keamanan PN Timah, dan meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan anak buahnya. Alih-alih bertanggungjawab, ia malah mengirim orang-orangnya lagi. Setiba di rumah Tjung Kim, pihak satpam PN Timah gantian yang dihajar hingga mereka lari sipat kuping. Tapi pertikaian belum usai. Sampai akhirnya datang lagi dua orang satpam lain, lengkap dengan senapan di tangan, dan berdiri di halaman rumah sang pengusaha sambil mencaci-maki.

Menurut Ahok, “Dulu sebelum ada Operasi Sapujagad Sudomo, orang-orang bebas memiliki senjata.” Operasi Sapujagad Sudomo adalah operasi pembersihan kepemilikan senjata api yang beredar di tangan warga sipil pada era 80-an. Tak ayal, dari kecil Ahok dan adik-adiknya sudah diajari Kim cara menembak.

Kim yang juga memiliki relasi dengan tentara dari Angkatan Udara Republik Indonesia dan memiliki pistol, tak mau kalah. Namun sayang, ketika dicari-cari rupanya pistol sedang tak di rumah, karena dipinjam oleh kawannya yang bekerja sebagai jaksa. Apa boleh buat. Demi membela pegawai dan keluarga, Kim memutuskan melenggang dengan tangan kosong.

Kim menyuruh Ahok sekeluarga masuk ke rumah. Bapak saya bilang, “Mending tertembak di depan, itu lebih laki-laki.” Sementara gerombolan PT Timah yang berada di halaman depan rumah panggung a la Melayu milik Kim, terus-terusan berteriak agar Kim segera keluar.

Tjung Kim tak gentar. Sementara sang istri, Bun Nen Caw, dan keempat anaknya Basuki, Basuri, Fifi Lety, dan Harry, merangkul kakinya demi menahan gerak langkah Tjung Kim agar tak keluar menantang bahaya. Ia tak peduli dengan rengekan mereka. Karena senjata yang dicari tak juga ketemu, ia memilih keluar dengan tangan hampa. Matanya nanar menahan amarah. Dadanya sesak menanggung derita ketidakadilan. Karena merasa berada di jalur yang benar, Tjung Kim terus melangkah. Terus mendekat. Di luar dugaan, keberaniannya berbuah. Anak buahnya yang merasa sedang dibela, ikut turun membantu dan lagi-lagi, mengeroyok dua petugas keamanan yang sedang menenteng senjata itu.

Kejadian tersebut terus membekas dalam benak keluarga Tjung Kim Nam—yang kemudian dikenal sebagai Indra Tjahaja Purnama, terutama pada anak sulungnya, Basuki Thajaja Purnama. Kini, Indonesia mengenalnya dengan sebutan Ahok. Sosok fenomenal dan pemberani yang sekarang mendampingi Jokowi memimpin Jakarta. Demi menyebarkan gagasan-gagasannya sebagai pejabat publik yang brilian, Ahok rela meninggalkan statusnya sebagai Bupati Belitung Timur yang kini dijabat oleh adiknya yang lelaki, Basuri Tjahaja Purnama.

Ahok mirip betul dengan bapaknya yang dengan gagah menghadapi senapan. Ia  pun mentas di Jakarta berbekal tangan hampa. Bahkan nyaris tanpa modal sama sekali. Kecuali satu, kenekatan akut. Tindak-tanduk sosok yang satu ini agak sulit ditelaah kapan ia begitu berani dan kapan bertindak nekat. Keduanya samar. Jauh sebelum ia memimpin Jakarta, Ahok telah menunjukkan mental anak rantaunya yang sulit untuk ditandingi. Kala itu 1998. Jakarta sedang terluka parah. Penjarahan di mana-mana. Mesin politik memanas di titik didih. Imbasnya, isu kesenjangan ekonomi yang diembuskan ke publik, menelan korban. Warga Cina diburu bak binatang liar. Termasuk keluarga Ahok yang  baru saja ia bangun setahun sebelumnya.

Ahok sekeluarga yang mukim di kompleks perumahan Muara Karang, Pluit, Jakarta Utara, tidak ciut nyalinya untuk maju membela keluarga dan harga diri. Ia masih mengingat betul ujaran bapaknya semasa masih di Belitung, “Tiongkok itu tanah leluhur kita, tapi tanah air kita adalah Indonesia.” Bagi Ahok saat itu, tak ada alasan untuk menyerah dari kebrutalan. “Jika mereka ingin membunuh keluarga saya dan semua warga Cina di Muara Karang, maka kami juga akan membunuh mereka yang berani masuk ke sini. Kalau kami takut mati, mereka juga sama!” Itu terbukti saat seorang penyerang datang menghampiri pagar penahan di gapura depan kompleks. Setelah mengindahkan peringatan warga Cina yang sedang bertahan di balik pagar, akhirnya orang malang itu pun terpaksa ditembak.

“Saat itu, kami sampai berkelakar tentang perkara mati dengan kalimat seperti ini: kalau merantau ke Eropa namanya choi sie (kerja setengah mati). Kalau ke Tiongkok itu xim sie (cari mati). Nah, di Indonesia namanya ten sie (menunggu mati),” kenang Ahok tentang masa-masa kelam Indonesia modern itu. Dua cerita yang bertautan dengan soal kematian tadi, hanya bagian kecil dari bagaimana Ahok dididik bapaknya dan ditempa begitu keras oleh keadaan. Hingga ia sama sekali tak memiliki rasa takut—termasuk pada kematian.

Ahok sadar betul, posisinya di Jakarta berada di tengah mara bahaya. Sedikit banyak, pasti ada saja oknum yang ingin menghabisi nyawanya. Tapi apa yang ia sampaikan pada kami, lagi-lagi memancing decak kagum, “Banyak orang kaya di dunia ini. Tapi waktu mereka mati, siapa yang mengingat? Banyak juga orang miskin yang mati dan sudah pasti takkan ada yang peduli, apalagi mengingatnya! Jika saya mati sekarang, setidaknya orang sudah pernah tahu apa yang saya perjuangkan. Inilah dasar yang menjadikan para manusia hebat dikenang dalam sejarah.”

Lantas bagaimana manusia macam Ahok bisa terbentuk seperti sekarang ini? Sebab tak mungkin perilakunya muncul begitu saja tanpa proses pembelajaran. Jawabannya mudah saja. Ahok ditempa begitu keras oleh kedua orangtuanya. Indra Thajaja Purnama dan Buniarti Ningsih (Bun Nen Caw), adalah sosok panutan yang terus menginspirasinya hingga kini. Suatu kali, jelang wafatnya Indra, Ahok bertanya apakah yang diinginkan ayahnya yang belum ia penuhi. Indra yang sudah terbaring lemah tiada daya hanya menjawab singkat dan sederhana, “Melihat kamu seperti sekarang, sama dengan melihat Bapak sewaktu muda dulu. Bedanya, kamu lebih pintar, lebih bijaksana.”

Lalu bagaimana dengan ibunya? Mari kita kembali ke masa lalu…

Ke masa di mana Ahok kecil masih berusia setahun.

Mengetahui kecenderungan suaminya yang tak tahan melihat orang lain menderita, Buniarti menyembunyikan dua kaleng beras yang dibeli Indra. Firasatnya terbukti benar. Suatu saat datanglah seseorang yang meminta pertolongan kepada Indra karena anaknya sudah tak makan beberapa hari. Tanpa babibu, Indra segera menuju tempat di mana berasnya ia simpan. Di luar dugaan, beras itu tak ia temukan. Maka tak ayal, Buniarti pun jadi sasaran. “Anak orang itu sudah hampir mati! Berikan satu kaleng beras kita padanya. Satu kaleng buat kita sudah teramat cukup.” Sedang di saat bersamaan, harga beras di Belitung sedang melambung tinggi karena cuaca ekonomi yang karut-marut.

Suami istri Indra-Buniarti memang terlahir untuk berbakti pada kehidupan. Lebih mengedepankan orang lain daripada diri sendiri, dan keluarganya. Dalam cerita lain, Buniarti yang berjualan donat dan terkenal enak, lebih memilih mengalah pada bibinya Ahok yang juga berjualan donat (meski kurang enak). Karena keuntungan dari jualan donat itu, akan ia gunakan untuk membiayai sekolahnya. Saking membekasnya kejadian ini, Ahok masih terus memperjuangkan perkara akses pendidikan murah hingga ke Jakarta—untuk kemudian ia luaskan cakupannya ke antero Indonesia.

Jadi bagaimana memahami keyakinan cinta mati Ahok yang alumnus Fakultas Teknologi Mineral (jurusan Geologi), Universitas Trisakti? Begini caraku menelaahnya.

Ia sudah tak lagi peduli dengan kapan kematian itu datang.

Ia pun abai dengan cara apa ia akan mati.

Ia hanya tahu bahwa kematian adalah hal yang paling pasti dalam hidupnya.

Sebagai penganut Protestan yang taat, Ahok sadar betul dengan konsekuensi mencintai kematian itu. Jika kematian saja bisa ia cintai, maka tak ada alasan untuk tidak mencintai kehidupan. Demikian … [Bersambung]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun