Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Kasus-Kasus Perilaku Organisasi dalam Buku Stephen P Robbins

22 Januari 2025   15:03 Diperbarui: 22 Januari 2025   14:11 11 0
Kasus dapat didefinisikan sebagai suatu metode penelitian yang menekankan pada pemahaman mendalam terhadap fenomena tertentu dalam konteks nyata. Dalam penelitian kualitatif, studi kasus berfungsi untuk mengungkap kompleksitas suatu situasi dengan menganalisis faktor-faktor yang terlibat dan hubungan antar elemen dalam kasus tersebut. Tujuan utama dari penggunaan kasus adalah untuk memberikan wawasan yang lebih baik tentang masalah yang dihadapi, serta membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih informasional dan berbasis data. Dalam manajemen organisasi, kasus sering digunakan untuk menganalisis konflik, tantangan, atau perubahan kebijakan yang mempengaruhi kinerja organisasi. Misalnya, sebuah perusahaan mungkin mengalami konflik antara manajemen dan karyawan akibat perubahan kebijakan gaji. Melalui analisis kasus ini, manajer dapat memahami penyebab konflik, seperti komunikasi yang buruk antara atasan dan bawahan, serta mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki situasi tersebut


- Pengertian Organisasi Menurut Stephen Robbins


Perilaku organisasi, menurut Stephen P. Robbins, adalah bidang studi yang menyelidiki dampak individu, kelompok, dan struktur terhadap perilaku dalam suatu organisasi. Fokus utama dari perilaku organisasi adalah untuk memahami bagaimana berbagai faktor ini berinteraksi dan mempengaruhi kinerja serta efektivitas organisasi secara keseluruhan. Dalam konteks ini, Robbins menekankan bahwa perilaku organisasi tidak hanya mencakup tindakan individu, tetapi juga dinamika kelompok dan bagaimana struktur organisasi dapat mempengaruhi interaksi antar anggota.


Robbins menjelaskan bahwa perilaku organisasi melibatkan berbagai elemen penting seperti sikap, nilai, motivasi, kepemimpinan, komunikasi, dan budaya organisasi. Setiap elemen ini saling berhubungan dan memiliki peran yang signifikan dalam membentuk perilaku individu dan kelompok di tempat kerja. Misalnya, sikap karyawan terhadap pekerjaan mereka dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut oleh organisasi serta gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh manajemen.


- Kasus Kasus Dalam Perilaku Organisasi


Motivasi Karyawan

pada bulan September 2016, terungkap bahwa lebih dari 5.000 karyawan bank Wells Fargo "menipu sistem" dengan membuka lebih dari 2 juta akun nasabah yang tidak sah menggunakan informasi identitas pribadi untuk memenuhi "target penjualan yang tidak pandang bulu". Pada dasarnya, seorang karyawan akan memindahkan dana dari rekening pemegang kartu ke rekening baru untuk memenuhi target penjualan mereka.

Lebih parahnya lagi, hampir 15.000 nasabah diubah bunganya, saldo berlebih, dan biaya tahunannya untuk akun yang tidak pernah mereka otorisasi untuk dibuka.

Meskipun mungkin bersifat satir atau dibesar-besarkan, video kartun awal YouTube yang menggunakan situs xtranormal.com mungkin memanfaatkan persepsi mendasar karyawan tentang ketidakadilan. Misalnya, salah satu penggambaran percakapan antara manajer dan supervisor perbankan pada tahun 2011 memberikan wawasan tentang tujuan yang tidak realistis ini: "Tolong bagikan dengan saya bagaimana Anda berencana mencapai 400 rekening giro dan 2.000 solusi bulan ini," tanya supervisor. Manajer itu menjawab, "Baiklah, saya berencana untuk bekerja 90 jam seminggu selama empat minggu ke depan."

"Itu tidak cukup baik," jawab pengawas itu. Susan Fischer, seorang manajer bank dari Phoenix, mengenang, "[Tantangan yang saya hadapi adalah tujuan astronomis yang ditetapkan...itu adalah tekanan untuk meminta pertanggungjawaban tim terhadap standar yang sangat tidak realistis. Peristiwa ini tidak hanya membuat pelanggan, klien, dan karyawan kesal, tetapi pemegang saham juga marah: Sebelum rapat pemegang saham tahunan, Sisters of St. Francis of Philadelphia, sebuah ordo biarawati yang juga merupakan pemegang saham di Wells Fargo, ingin melihat "perubahan nyata dan sistematis dalam budaya, etika, nilai, dan keberlanjutan finansial, yang selanjutnya mencirikan persepsi ketidakadilan.

Meskipun menghadapi tantangan ini, Wells Fargo mencoba memperbaiki hubungan mereka dengan pelanggan, karyawan, dan semua pihak yang terlibat. Tampaknya sistem tujuan saat ini sedang menuju kehancuran, dan organisasi tersebut telah melakukan tindakan perbaikan. Wells Fargo telah memecat sebagian besar karyawan yang terlibat dalam praktik tersebut dan juga akan membayar denda dan pengembalian uang dalam jumlah jutaan kepada pelanggan yang terdampak. Paradoksnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa, ketika organisasi berusaha keras untuk memperbaiki hubungan yang rusak setelah pelanggaran etika atau ketidakadilan, terkadang karyawan dan pelanggan dapat menjadi lebih puas daripada jika pelanggaran tersebut tidak pernah terjadi sama sekali.

Menurut Stephen P. Robbins, motivasi kerja karyawan adalah proses yang melibatkan intensitas, arah, dan ketekunan usaha individu untuk mencapai tujuan. Intensitas merujuk pada seberapa besar upaya yang diberikan, arah menunjukkan fokus usaha pada tujuan organisasi, dan ketekunan menggambarkan konsistensi dalam usaha yang dilakukan. Robbins juga menyoroti bahwa motivasi dipengaruhi oleh kebutuhan individu, tujuan yang jelas, persepsi keadilan, dan penghargaan yang diterima. Motivasi yang efektif terjadi ketika ada keseimbangan antara kebutuhan pribadi karyawan, tujuan organisasi, dan lingkungan kerja yang mendukung, sehingga dapat meningkatkan kinerja dan kepuasan kerja.


Komunikasi dalam Organisasi

Dalam buku "Organizational Behavior" karya Stephen P. Robbins, salah satu kasus yang menonjol terkait komunikasi dalam organisasi adalah tentang hambatan komunikasi antara manajemen dan karyawan yang terjadi di sebuah perusahaan multinasional. Perusahaan ini menghadapi tantangan besar setelah memutuskan untuk memperkenalkan sistem kerja baru yang melibatkan teknologi canggih. Meskipun perubahan ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, implementasinya justru memicu kebingungan dan resistensi di kalangan karyawan. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya komunikasi yang jelas dari manajemen tentang tujuan, manfaat, dan prosedur terkait sistem baru tersebut.

Masalah bermula ketika manajemen hanya memberikan pemberitahuan melalui email resmi tanpa penjelasan rinci atau pelatihan khusus kepada para karyawan. Pesan tersebut menggunakan istilah teknis yang sulit dipahami, sehingga banyak karyawan tidak memahami apa yang diharapkan dari mereka. Lebih parah lagi, karena komunikasi tersebut bersifat satu arah dan tidak memberikan kesempatan bagi karyawan untuk bertanya atau memberikan umpan balik, muncul berbagai spekulasi dan rumor yang menyebar melalui saluran komunikasi informal seperti gosip di kantor. Banyak karyawan merasa bahwa perubahan ini akan mengancam posisi mereka, sementara yang lain merasa tidak diperlengkapi untuk menghadapi tuntutan baru. Situasi ini mengakibatkan penurunan moral, meningkatnya konflik antar departemen, dan resistensi terhadap perubahan yang pada akhirnya menghambat transisi ke sistem kerja baru.

Robbins menyoroti bahwa inti dari masalah ini adalah kegagalan manajemen untuk memahami pentingnya komunikasi yang efektif, terutama dalam situasi perubahan organisasi. Hambatan komunikasi seperti penggunaan jargon teknis, kurangnya kejelasan dalam pesan, dan ketiadaan dialog dengan karyawan menjadi faktor utama yang memperburuk situasi. Manajemen juga gagal memanfaatkan saluran komunikasi yang tepat untuk menjangkau karyawan secara menyeluruh dan memastikan mereka memahami konteks perubahan.

Sebagai solusi, perusahaan akhirnya menerapkan pendekatan yang lebih strategis dan inklusif dalam komunikasi mereka. Langkah pertama adalah mengadakan sesi tatap muka, seperti pertemuan langsung dan lokakarya, di mana manajemen menjelaskan tujuan dan manfaat perubahan secara rinci. Dalam sesi ini, karyawan diberi kesempatan untuk bertanya dan mengungkapkan kekhawatiran mereka. Hal ini membantu mengurangi spekulasi dan meningkatkan kepercayaan terhadap manajemen. Selain itu, perusahaan juga menyusun materi komunikasi yang lebih sederhana dan mudah dipahami, seperti infografis dan panduan langkah demi langkah yang menjelaskan cara kerja sistem baru.

Perusahaan juga mengadopsi teknologi komunikasi yang lebih interaktif, seperti forum diskusi online, untuk memfasilitasi dialog antara manajemen dan karyawan. Setiap kekhawatiran yang diajukan karyawan ditanggapi dengan serius, sehingga mereka merasa didengar dan dihargai. Selain itu, perusahaan menyediakan pelatihan intensif untuk memastikan karyawan memiliki keterampilan yang diperlukan untuk menggunakan sistem baru. Pelatihan ini dirancang tidak hanya untuk meningkatkan kompetensi teknis tetapi juga untuk membangun kepercayaan diri karyawan dalam menghadapi perubahan.

Setelah langkah-langkah ini diterapkan, perusahaan melihat perbaikan yang signifikan. Karyawan menjadi lebih menerima perubahan, dan resistensi terhadap sistem baru berkurang secara drastis. Konflik antar departemen juga menurun karena komunikasi yang lebih baik membantu menciptakan pemahaman yang lebih jelas tentang tanggung jawab masing-masing tim. Produktivitas mulai meningkat, dan transisi ke sistem baru berhasil diselesaikan tanpa gangguan besar.

Kasus ini menyoroti pentingnya komunikasi yang terbuka, jelas, dan inklusif dalam menghadapi perubahan organisasi. Robbins menekankan bahwa komunikasi bukan hanya tentang menyampaikan pesan, tetapi juga tentang membangun dialog yang memperkuat rasa saling percaya dan keterlibatan di seluruh tingkat organisasi.


Kepemimpinan dan Gaya Manajerial

Kepemimpinan dan gaya manajerial merupakan dua konsep yang saling berkaitan dalam organisasi. Kepemimpinan didefinisikan sebagai proses memengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama, dengan pemimpin berperan sebagai penggerak, motivator, dan teladan yang mampu membangkitkan semangat tim. Sementara itu, gaya manajerial merujuk pada pendekatan seorang manajer dalam menjalankan fungsi manajemen seperti perencanaan, pengarahan, dan pengendalian.

Berbagai gaya kepemimpinan memiliki karakteristik yang berbeda, seperti gaya otokratis yang bersifat sepihak, partisipatif yang melibatkan tim dalam pengambilan keputusan, delegatif yang memberikan otonomi kepada karyawan, transformasional yang berfokus pada inspirasi dan motivasi, serta transaksional yang berorientasi pada imbalan dan hukuman.

Sebagai contoh, sebuah perusahaan distribusi barang konsumen mengalami stagnasi dan penurunan kepuasan karyawan akibat gaya kepemimpinan otokratis. Untuk mengatasi hal ini, perusahaan mengadopsi pendekatan partisipatif melalui pelatihan kepemimpinan bagi para manajer. Dengan melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan dan mendengarkan masukan mereka, karyawan merasa lebih dihargai dan termotivasi. Sistem penghargaan juga diperkenalkan untuk meningkatkan semangat kerja.

Hasilnya, perusahaan mengalami peningkatan produktivitas, kepuasan kerja karyawan meningkat, dan tingkat turnover menurun secara signifikan, menunjukkan efektivitas perubahan gaya kepemimpinan tersebut.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun