Setiap bertemu dengannya, aku selalu berusaha memberi sekedar uang padanya. Entah mengapa, selalu ada rasa tak tega setiap kali aku memandangnya. Sebenarnya baju-baju yang dipakainya selalu tampak bersih, meski tak lagi baru. Kulitnya pun bersih dan tak legam meski selalu terpanggang panas matahari. Hanya karena rambutnya yang selalu awut-awutan sehingga mengesankan dia 'dekil'.
Suatu kali, sewaktu aku belanja di sebuah toko yang tak jauh dari tempatnya 'mangkal' sebagai peminta-minta, aku dapat informasi yang mengejutkan. Sewaktu pemilik toko melihatku sedang mengawasi sang peminta-minta itu, dia bercerita padaku. Kata pemilik toko, sang peminta-minta itu setiap hari selalu datang ke tokonya untuk menukarkan uang receh yang didapatnya. Kata pemilik toko itu lagi, sang peminta-minta itu bisa menukarkan uang sebanyak Rp. 200.000 sampai Rp. 300.000 setiap harinya. Aku tercengang juga mendengarnya. Ternyata pendapatan peminta-minta itu besar juga.
Kemudian, suatu hari aku melihat lagi sang peminta-minta itu. Kali ini aku melihatnya sedang naik becak menuju tempatnya 'mangkal' sebagai peminta-minta. Aku takjub juga, karena ternyata dia mampu membayar becak yang (relatif) lebih mahal daripada naik angkutan kota. Aku pun hanya bisa geleng-geleng kepala.
Yang terbaru adalah kejadian pada hari Minggu yang lalu. Saat aku sedang belanja di Hypermart, aku melihatnya sedang belanja di sana juga. Dia tetap tampil dengan busana yang sama, setelan kaos dan celana pendek. Aku hanya bisa bengong menyaksikannya melenggang dengan santainya sambil membawa tas belanjaannya. Suamiku yang melihatku 'shock' malah mentertawakan aku.
Aku benar-benar dihadapkan pada ironi dari sang peminta-minta. Orang yang kuanggap hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan, ternyata hidup dalam kecukupan. Lantas.., masih perlukah kita memberinya sedekah..?