Di tempatmu, di utara, di langit yang murung
diantara bukit-bukit yang terlihat bimbang, di awasi
gunung-gunung yang berkharisma. Aku menggagumi
perempuan berkerudung hijau toska, kabut liar yang tiba-tiba
meleleh dari barat, sajak-sajak yang menggelepar
di sudut-sudut surau adalah bagian dari kepenyairan
Mungkin aku akan berlayar untuk menyapa udara yang dingin
berseteru dengan musim kemarau dan menciumi
bau laut. Aku akan mencoba menembus kabut, mengikuti
arah angin ke barat, mencoba mengikuti sampai dimana kekuatanku
bersajak untukmu? bertapa seperti filsuf masehi? ketika para prosais
sudah tak pernah lagi mengirimi kata-kata mistisnya, ketika para
pelukis tak menebar cat airnya, ketika para filsuf sudah tak pandai
lagi menebak gerak-gerik awan. Aku merasakan bau wingit, bau embun
di tanahmu
Aku akan menyapamu di sini, memanggil nama kecilmu dan kita akan
menghayal tentang champes eyyes, bukit golgota, edensor dan
venizh dengan gondola-gondolanya. Tapi, bau padi di tempatmu
masih mempesonaku dengan kesederhanaan. Tapi aku terus merasa
kesepian di sini. Di nagreg, di bumi para penyair
"aku sudah mengutukmu menjadi seorang penyair di sini" bisikmu
Kepadaku. Tepat di saat aku pergi di purnama yang ke empat.
"tahun depan aku kembali" balasku.
2010
Kepada Penyair Asas
Kutitipkan kepadamu jalan braga, tubuh wanita
dan gerimis yang sering kau tulis dalam sajakmu
mendekatlah dan dengarkanlah penyair gelap ini
serupa malin kundang, bermain dengan kata, api
dan kegelapan, bawalah sajakku ini ke mejamu
dan adililah secara bijaksana, tiupkanlah sedikit ruh
Sapardi , berilah darah dan pakailah teori langit
agar kata-kataku sedikit terhormat
Akulah malin kundang yang sering
kali durhaka kepadamu melupakan kalimat saktimu
dan merayu nama-nama wanita yang sering kau abadikan
Keluarlah dari rumah mimpimu, tantanglah matahari
minumlah sedikit arak dan mari sama-sama kita
melupakan sorga agar setiap puisi menjadi lebih berharga
2010
Mengingat Rebana
1/
Akankah cerita yang kita riwayatkan ini
Berlanjut. Seperti hujan yang kian kasmaran
Dengan dedaunan malam ini. Bicaralah pelan padaku, Rebana
Karena aku ingin kasmaran dari pada membaca
Majalah-majalah horison, komik-komik yang lucu,
Sajak-sajak damai. Akankah kereta api itu membawaku
Dan kau menunggu dengan bunga mur di tangan kirimu.
Tiba-tiba sembayangku menjadi kabut, mengikuti sabda
Yang kau bisikkan tempo hari. Dan yang bernama kecemasan
Itu memanjang seperti memasuki stasiun-stasiun yang
Akan mengantarkanku. Atau menjelang malam nanti
Aku akan terbakar dan berlari di setiap kecemasan yang
Kubangun dari namamu
2/
Bicaralah pelan padaku, Rebana
Jangan Memakai intonasi kamus bahasa Inggris, bahasa arab
Atau retorika sosialis. Karena itu tak diperlukan di setiap
Pertemuan.Lihatlah kecemasan ini seperti ka'abah
yang di bangun dengan tumpukan-tumpukan
Batu merah, aku ingin membayangkan kecemasan ini
Bersamamu. Sambil terus mengingat lembaran-lembaran
Yang mengerikan, dan cukup memukau
3/
Adakah kau di sana cemas. Dari bulan yang sangat pucat
Dan awan yang menerbitkan mendung. Berlarilah pada selimut
tebal atau baju penghangat yang bergambar Walt Disney
untuk menghilangkan yang bernama cemas. Aku di sini, bermain catur
dengan setiap langkah bidaknya mengingatkanku kepadamu.
Akankah kereta api yang berdengung kencang itu
Akan membawaku. Dan kau menungguku dengan
Bunga mur di tangan kananmu
Kepukauan telah membuat kita berlari pada
Tepian dunia. Dan dari percikan-percikan rindu
Itu kita kian tersenyum bersama, tanpa ada sunyi
Yang melintas. Inilah kecemasan yang paling antik
Yang pernah memenjarakan dada seorang penyair
4/
Rebana: Hana's Eyes lirik Maksim dengarlah
Sebagai bahasa rindu yang terbuat dari sajak
Yang kita tak pernah tahu apa itu rindu. Pinjamilah juga
Aku bahasamu, bukan bahasa Inggris, Jerman, Perancis
Tapi bahasa yang membuat kita ngilu dan terdiam
Apabila mengucapkannya, bahasacinta
Sungguh, perkataan itu telah menjadi sebuah petaka
Dan kesunyian. Kalau kita sama-sama mengerti tentang
Cinta yang mengerikan. Membuat aku terdampar di belahan
Benua yang baru, benua yang hanya ada sileut dan
Sedikit cahaya matahari
Diam-diam, di kotaku aku mengingatmu terus
Seperti hujan yang setia membasahi bumi
2009
Jalan Muktamar
Kesepiannya mengajarkan aku untuk pandai mencintai kesederhanaan
pohon-pohon rukuk di sekelilingnya, rumput-rumput menebar bahasanya
aku mengelak dari dunia, merindui bau padi dan berlajar menjadi petani
di tempatmu segala ibadah menjadi santun. Aku sendiri, hujan telah reda
sajak-sajak mencari puaknya. Engkau dimana? Aku sedang berjalan
menujumu. Menuju rumahmu
Jalan empeyes mountaigne yang sepi atau jalan trowbridge street di mana
Oktavio Paz tinggal. Tapi aku selalu merindukan jalan muktamar
jalan yang bisa menemukannmu, jalan lenggang dengan bau khasnya
kesunyianku meledak di sini. Kegelisahan menjadi buas dan bau arak
semakin menjauh. Langit semakin merendah. Melahirkan gelap
dan bau gerimis semakin lekat di tempatmu
Aku datang membawa segelas kesunyian. Sebagai penyair
tugasku hanyalah bersajak. Menciptakan lagu embun atau
mewarnai dirimu dengan episode-episode yang mempesona
2010
Rendy Jean Satria. Lahir 4 Januari 1989, di Depok. Menulis sajak, essay dan Novel. Melulu menulis sajak. Mahasiswa Teater
di sekolah tinggi seni Indonesia (Bandung). Alumnus pondok pesantren al-Qur'an al-falah 2 Nagreg dan PP. Nurrul Ummah
Kotagede Jogjakarta. Sehari-harinya, menulis, membaca, berdiskusi dan jalan-jalan.