Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Komunitas Unik di "Kota Santri" Pesantren Al-Zaytun, Indramayu

11 Mei 2013   23:11 Diperbarui: 4 April 2017   18:04 27836 1

Udara semakin gerah ketika memasukiKecamatan Gantar di Kabupaten Indramayu. Lokasi perkampungan berjarak sekitar 3 jam berkendaraan darikota Bandung itu, mulai terlihat berlobang-lobang dan berdebu. Namun jalan tersebut tetap tampak dilalui secara rutin oleh beberapa mobil plat Jakarta, karena di sini bermukim sebuah komunitas pesantren bernama Al-Zaytun. Pesantren megah yang diresmikan tahun 1999 oleh Presiden BJ Habibie itu,  dipimpin oleh Syekh Panji Gumilang, alumnus pondok pesantren Gontor, Yogya. Panji semasa muda pernah dikenal aktif dalam gerakan NII (Negara Islam Indonesia). “Sekarang saya sudah tua, aktivitas keseharian  hanya mengurus pendidikan di sini saja. Sudah tidak tertarik berpolitik!” katanya dalam suatu wawancara dengan salah satu media.

***

Pesantren ini sebenarnya memiliki potensi besar, namun mengalami “pasang surut” karena riuhnya pemberitaan mengenai sosok pimpinan tertinggi pesantren Al-Zaytun ini . Syekh Panji selalu dikait-kaitkan dengan kiprah masa lalunya, baik oleh rekan-rekannya sendiri maupun menjadi sasaran empuk media masa. Namun demikian,  sebagian besar masyarakat pesantren seperti tidak peduli dengan hingar-bingar tersebut. Kegiatan belajar-mengajar para santri yang tersebar di berbagai gedung megah, mulai dari level pendidikan Ibtidaiyah (setingkat SD), Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) dan Madrasah Alawiyah (setingkat SMA), tetap berjalan seperti biasa. “Itu hanya 'black campaign' orang-orang yang cemburu dan tidak suka melihat keberhasilan Al Zaytun,” kata seorang Guru santri saat ditemui di Bandung ketika sedang kuliah S2 di ITB. Nyatanya, kami masih menerima permintaan pendaftaran siswa baru sampai ribuan orang setiap tahun, lanjutnya. “Memang, akibat kisruh isu politik NII , sempat juga menurunkan citra dan minat masyarakat  untuk menyekolahkan anak-anaknya ke sini,” kata alumnus IPB Bogor tersebut lebih lanjut.

“Di Agic, kami menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan luar negeri seperti Inggris dan Amerika untuk membangun pusat pengkajian dan pengajaran Teknologi Informasi pada level praktis,” kata Wiena Safitri, lulusan S2 Teknologi Informasi dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta, yang sudah mengabdi di sini sejak delapan tahun lalu. Dengan adanya lembaga seperti AGIC, para santri diharapkan juga memiliki ketrampilan dan sertifikat Teknologi Informasi agar mereka dapat bersaing mendapatkan pekerjaan di berbagai perusahaan di kota besar.

Universitas kok berada di tengah pesantren?, banyak pengunjung bertanya.

Tampaknya ini menjadi kecenderungan beberapa pesantren bermodal besar akhir-akhir ini untuk memadukan ilmu akhirat dengan ilmu duniawi. Dan sebagaimana halnya sebuah universitas  maka kampus ini juga dikelola oleh Dekan, Ketua Jurusan dan dosen-dosen tetap dengan gelar S2 dan S3 (Doktor) dari ITB, UI dan berbagai alumni perguruan tinggi ternama lainnya di Indonesia. Mereka juga dibantu oleh puluhan dosen tidak tetap (dosen luar biasa) dari kampus lain dari Bandung, Bogor dan Jakarta yang mengajar secara paruh-waktu (part-time). “Inilah politik! Dampak isu NII terhadap kami ternyata begitu keras dan akhirnya mempengaruhi perkembangan cikal bakal kampus UAZ yang gedung kuliahnya saja mungkin termegah di Indramayu. Akhirnya kemudian tidak mendapat izin operasional setelah lima tahun menunggu, malah kemudian dibubarkan oleh Mendikbud pada tahun 2010,” kata salah seorang Dekan UAZ. Padahal semua persyaratan sebagai sebuah universitas sudah disiapkan. “Bahkan dalam beberapa hal, persyaratan kami melebihi yang dibutuhkan untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi yang  berkualitas,” lanjutnya.

Warna warni komunitas Al Zaytun juga terlihat dari perilaku dan gaya para santri berjumlah lebih dari 5.000 orang tersebut. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia (bahkan  dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Brunei dan Afrika). Orang-orang dari berbagai penjuru tertarik datang karena konsep pembelajaran pesantren ini mengkombinasikan proses pembelajaran konvensional, pendidikan sekolah  umum dan ketrampilan vokasional serta pembinaan watak melalui berbagai kegiatan olahraga/seni secara intensif. Hal yang membuatpara santri  di sini terlihat berbeda. Mereka penuh dengan berbagai aktivitas padat, disiplin, meskipun kesehariannya menjalankan pola hidup sederhana. Uniknya, di antara keseharian menjalankan  komunitas anak-anak muda ini, ternyata menyimpan juga hal-hal kecil yang kontroversial!

Pengelola pesantren melarang keras bagi para santri menonton TV , karena dianggap lebih banyak mudaratnya dengan berbagai tontonan yang dianggap tidak sopan. Akan tetapi, uniknya, disediakan warung internet yang bisa disewa oleh santri kapan saja. Telepon selulerdan laptop juga  menjadi sarana belajar dan komunikasi sehari-hari  santri kebanyakan berasal dari golongan masyarakat ekonomi kelas menengah di daerahnya. “Sekali-kali boleh dong menonton TV dari Internet di Laptop. Tapi ini cuma di kamar asrama, kok!” kata seorang guru santri yang juga mahasiswi jurusan Teknologi Informasi di kampus UAZ. Ibu Guru cantik ini  berasal dari Sumatera Barat dan sudah mondok di sini sejak delapan tahun.

Beberapa mahasiswa muda yang juga bekerja sebagai guru pesantren tersebut, tampak menikmati  dan menyukai lagu-lagu MP3 dari laptop setiap ada kesempatan, termasuk lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Lady Gaga. “Saya suka musik Lady Gaga, karena riang dan ritmenya memberi semangat. Tapi saya tidak suka gaya busana dan lirik-lirik lagunya yang cenderung erotis”, katanya memberi alasan.

***

Wah, indah kalimat itu ya! ” kata salah seorang orangtua santri yang sore itu baru datang dari Jakarta untuk menjenguk anaknya. Namun berbagai konstras juga muncul disini! Cukup mengagetkan juga, bahwa pintu masuk utama pesantren dengan kalimat moto yang indah tersebut ternyata dijaga ketat oleh satpam yang bertampang kaku, berambut cepak dengan gaya  militer sambil mengenakkan seragam hitam. Siapapun yang keluar dan masuk ke pesantren wajib melapor dan meninggalkan identitas, kemudian dicatat menggunakan komputer. Terkesan kok tidak seperti pesantren, kata beberapa orang tamu yang baru perama  kali datang ke pesantren ini.

Di panggung, kemudian sebagian anak-anak santri  berbakat  unjuk kebolehan bernyanyi solo atau kelompok sambil bermain musik. Uniknya, meskipun dalam komunitas pesantren tapi lagu-lagu yang  dibawakan justru bukan lagu Kasidah sebagaimana halnya stereotype bentuk kesenian komunitas  santri pada umumnya.Di sini, sebagian besar justru menyanyikan dan memainkan lagu pop Indonesia dan Barat, bahkan sekali-kali diselingi dengan lagu Rock dinyanyikan sambil berjingkrak-jingrak.Sungguh unik, dan sekilas kita tidak menduga bahwa mereka sebenarnya santri atau guru dari sebuah komunitas pesantren.Beberapa di antara santri rijal (putra) ini  tampak tampil dengan rambut yang dimekarkan ke atas dan mengenakkan busana  gaul dengan pernik-pernik khas pria muda jaman sekarang. Mahasiswa Universitas Al-Zaytun yang baru saja menyanyikan lagu Rock tersebut, tidak lain guru pesantren yang di siang hari ditugaskan mengajar bahasa Arab.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun