Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Yang Unik-Menarik Dalam Perjalanan Ke Liwa – Lampung (Bag-1)

22 Februari 2013   09:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:53 11350 2

Awal September 2012 lalu, DR Umar Mai (atasan) meminta saya membantu melakukan kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Bantuan TIK (Teknologi Informasi dan Komputer) ke berbagai SMP di Kabupaten Lampung Barat. Suara beratnya terdengar di ujung telpon sana, “Pak Rendra, siap berangkat besok ke kota Liwa …?”

Ya, tentu saja saya siap! Bagi saya selalu menyenangkan bila ditugaskan ke daerah-daerah dan tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi. Karena disini kemudian menyatu antara pekerjaan (tugas) dengan “jiwa petualang” saya. Meskipun pada mulanya kata Liwa (yang berasal dari kata “mit meli Iwa” itu/bahasa Lampung) agak asing ditelinga saya. Pertanyaan saya kemudian adalah “Dimana persisnya ibukota Kabupaten Lampung Barat ini..?”. Apakah ini adalah kota Liwa yang sering diberitakan oleh koran/TV yang  pada tahun 1994 lalu, di-luluh lantakkan oleh gempa bumi hebat ? “Wah, jangan-jangan ketika saya disana, akan terjadi gempa lagi nih...”, kata saya dalam hati.

Namun akhirnya saya putuskan berangkat. Setelah mencari berbagai informasi lebih detail tentang kota Liwa dan kabupaten Lampung Barat melalui Internet. Termasuk lokasi beberapa SMP yang harus didatangi nanti yang dijadikan sampel dari sekitar 55 buah SMP yang ada disana. Ternyata, dari hasil searching di google tersebut memberikan surprise..! Kota LIWA merupakan salah satu kota kabupaten yang menarik di Lampung. Lokasinya sebagian terletak di daerah pegunungan bagian selatan dari “Taman Nasional Bukit Barisan” dengan pemandangan alam pegunungan yang indah. Dan yang lebih menarik lagi, kabupaten ini juga memiliki pantai-pantai yang indah karena sebagian wilayahnya mencakup daerah pesisir di tepi Samudera Indonesia. Bahkan salah satu danau besar di Pulau Sumatra yaitu Danau Ranau berada disini.

Kemudian saya jadi teringat ketika baru tiba di Bandara Raden Inten II di Bandar Lampung. Saya melihat serombongan turis asing yang demikian  semangat dan antusias datang ke Lampung (dan meneruskan perjalannya ke Krui di Lambar) dengan membawa berbagai peralatan berselancar. Hal yang sebenarnya jarang terjadi di Lampung sebelumnya. Apakah ini artinya pantai-pantai di Propinsi Lampung Barat tersebut, khususnya yang berada di kawasan Kecamatan Krui ini, sudah mulai “go public” dan dikenal oleh masyarakat internasional melalui promosi Internet?

Kali ini saya berangkat ke Lampung menggunakan pesawat sesuai dengan prosedur kantor. Sehari sebelum berangkat,saya menghubungi perusahaan travel di kota Bandung (tempat tinggal saya) untuk memesan tiket secara online. Tapi saya baru sadar! Bahwa jadwal penerbangan dari kota Bandung ke kota Bandar Lampung tersebut tidak tersedia setiap hari. “Kalau bapak mau menunggu, hari Sabtu nanti baru ada penerbangan langsung..”, kata suara di ujung telpon sana. Wah, gawat nih..! Berhubungan waktu yang sudah mepet, maka akhirnya besok pagi saya ke Jakarta terlebih dahulu (ke Bandara Cengkareng). Dari bandara terbesar di Indonesia ini, tentu saja hampir setiap hari ada pesawat yang berangkat ke berbagai daerah di Indonesia. Tapi uniknya, waktu yang saya butuhkan untuk persiapan ke Jakarta ini ternyata jauh lebih lama dari pada waktu yang dibutuhkan oleh pesawat terbang itu sendiri berangkat dari Jakarta menuju ke Bandar Lampung. Pesawat hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit saja untuk sampai ke Lampung. Sementara waktu yang saya butuhkan dari Bandung ke Jakarta dan ditambah dengan dua kali mengalami penundaan keberangkatan itu memakan waktu 7 jam.

Di dalam pesawat,  baru beberapa saat merebahkan badan, kepala pramugari penerbangan Sriwijaya Air tersebut mengumumkan, bahwa para penumpang agar bersiap-siap karena pesawat akan segera mendarat di Bandara Raden Inten II. Saya tiba di Lampung di sore hari yang cukup cerah….

Bandara ini sederhana dan tampak disana-sini berantakkan karena sedang ada pekerjaan pembangunan dan perluasan. Setelah masuk ke dalam ruang terminal dan antri mengambil koper.Tiba-tiba saya mulai bingung..! Bagaimana nih langkah selanjutnya menuju ke kota Liwa yang berjarak sekitar 246 kilometer  dari bandara ini. Dan harus ditempuh selama kurang lebih 6 jam perjalanan darat. Karena hari sudah semakin sore, maka sudah bisa dipastikan bahwa saya akan melakukan perjalanan ini di malam hari, menuju ke suatu tempat yang sama sekali asing bagi saya. Seorang diri dan tidak satupun orang disana yang saya kenal ……!

Iseng-iseng saya menelpon mas Seno, Contact Person dari Dinas Pendidikan Kabupaten Lampung Barat (Lambar). Alhamdulilah..! Ternyata dia sudah mengantisipasi dengan baik kesulitan pada umumnya tamu dari Jakarta jika ke Liwa. Maka dia sudah mengirimkan mobilmenjemput ke Bandara. “Wah, baik juga nih orang..”, dalam hati saya. Karena kalau tidak dijemput, maka mau tidak mau saya harus menggunakan “Taksi Bandara” yang terkenal lebih mahal dari harga normal taksi. Saya sempat melirik ke papan resmi terpampang di pintu keluar Bandara yang berisi daftar ongkos taksi menuju ke berbagai tujuan di Propinsi Lampung. Disana tertulis bahwa ongkos taksi ke kota Liwa sebesar Rp 650.000. Wow, luar biasa mahal …! Dan yang paling mahal adalah ongkos taksi dari bandara ini menuju ke Kecamatan Krui tempat banyak orang asing beselancar tersebut, yaitu sekitar Rp 895.000. “Wah, masak sih?”, tanya saya dalam hati. Biaya transportasi darat masih dalam satu Propinsi bisa lebih mahal dari harga tiket pesawat udara dari Jakarta ke Bandar Lampung , yang hanya Rp 750.000 itu ?. Tapi inilah tekanan komersialisasi habis-habisan dari urusan transportasi di bandara pada umumnya di Indonesia. Transportasi bandara selalu memanfaatkan orang-orangyang sedang kepepet… (Hm, ternyata ekonomi biaya tinggi itu terjadi juga dimana-mana ya…)

Dalam perjalanan panjang menuju ke kota Liwa ini, kami kemudian mampir ke sebuah warung makan masakan khas Lampung yang terletak di pinggir jalan lintas Sumatera. Yang direkomendasikan supir travel yang menjemput saya. “Disini ikan patin khas yang ada di warung ini enak, pak..”, katanya. Dan membuat saya penasaran. Akan tetapi, ketika saya masuk warung tersebut, yang justru membuat menarik perhatian adalah pengumuman yang dibuat oleh pemilik warung dalam bentuk poster besar dipajang disamping pintu. Inti isi tulisan tersebut adalah, permohonan maaf dari pemilik warung kepada pengunjung bahwa mereka terpaksa menaikkan harga Ikan Patin yang dijual sejak beberapa waktu yang lalu. Disebabkan oleh harga Ikan yang mereka peroleh juga mengalami kenaikkan lebih dari 20%. Dan memohon dengan sangat agar pembeli bisa mengerti dan memahaminya. “Wah, sopan banget nih warung ya..”. Dan menjadi “agak aneh”, kok menaikkan harga jualan saja harus meminta maaf dengan sangat kepada konsumen?

Hal ini menarik, karena saya belum pernah melihat warung yang demikian “sopan” terhadap konsumennya. Biasanya konsumenlah yang harus menyesuaikan diri akibat kenaikkan harga yang dibuat, danmemutuskan apakah mau terus makan disini atau pindah saja ke warung lain yang lebih murah. Karena dalam hukum dan sistem mekanisme pasar akan berfungsi “The invisible hands” yang akan menggiring masyarakat kearah produk/jasa yang lebih murah dan berkualitas memadai.

Perjalanan jauh inipun kemudian berubah menjadi malam. Kota-kota yang kami lewati di jalur utara Propinsi Lampung itu, seperti Kemuning, Kota Bumi, Bandar Jaya dan seterusnya, hanya terlihat kelap-kelip lampu dalam gelap. Akhirnya jam 23:00 menjelang tengah malam, kami sampai di penginapan yaitu Hotel “Permata”, yang merupakan salah satu dari dua hotel yang terdapat di kota Liwa ibukota Kabupaten Lambar. Hotel ini sebenarnya lebih tepat disebut losmen. Namun terlihat bersih dan tidak terlalu ramai, sehingga cukup nyaman buat beristirahat. Tarif kamar juga tidak terlalu mahal, yaitu Rp 250.000 per malam untuk kamar dengan 3 kamar tidur yang dilengkapi dengan AC. Sebenarnya alat pendingin tidak begitu diperlukan disini mengingat udara pegunungan kota Liwa yang sudah sejuk. Mungkin untuk membuat kamar-kamar hotel lebih kelihatan mewah dan menarik konsumen? Walaupun sebenarnya cuaca kota Liwa di bulan September ini juga tidak dingin-dingin amat. Disiang hari, bisa menjadi hangat juga.

Setelah beristirahat sejenak di kamar. Tidak beberapa lama kemudian seorang staf dari Dinas Pendidikan Kabupaten Lampung Barat datang memperkenalkan diri.Kepala seksi yang terlihat awet muda di usia 40-an itu, tampak sangat gaul dengan mobil Toyota Hardtop warna merah yang dipenuhi berbagai modifikasi. “Wah, orang Liwa trendy juga nih…!”, dalam hati saya. Kami berdiskusi membuat perencanaan kunjungan besok dan memilih lima buah SMP yang representatif dari daftar yang tersedia. Saya meminta kepadanya untuk dipilihkan sebuah SMP yang paling bagus di Kabupaten Lampung Barat, dan satu SMP yang paling jelek. Lalu tiga buah SMP sisanya yang berkualitas sedang dan tersebar di luar kota LIWA tapi masih di Kabupaten Lampung Barat.

***

Esok hari, Jumat pagi kami mulai bekerja. Dalam perjalanan ke salah satu SMP di luar kota Liwa, yaitu SMP Negeri 1 di Kecamatan Belalau. Saya melihat tugu berdesain unik di simpang tiga pusat kota Liwa. Kami berhenti sejenak di simpang tiga tersebut dan membuat beberapa photo. Tugu yang bernama “Kayu Hagha” ini menggambarkan sejarah keberadaan Kota Liwa yang dulunya merupakan penghasil ikan dan kayu hutan berkualitas tinggi, yang disebut Kayu Hagha. Dan hingga saat ini kayu masih menjadi bahan bangunan utama rumah asli suku Lampung di Kabupaten Lampung Barat.

Lalu saya mengamati sejenak kesibukan pusat kota Liwa ini. Kota kecil ini sederhana dengan jumlah penduduk sekitar 200.000 jiwa (populasi keseluruhan Kabupaten Lamung Barat sekitar 400.000 jiwa). Kota kabupaten ini menunjukkan ciri khas sebagai ibukota kabupaten di luar Jawa. Dengan areal wilayah yang luas namun jumlah penduduknya tidak terlalu banyak. Irama kehidupan masyarakat disini juga berjalan dengan tempo sedang (tidak terlihat ada orang yang terburu-buru mengejar sesuatu dalam suasana keramaian suatu kota). Kota ini terkesan aman dan damai, walaupun berbagai suku dan etnik bermukim disini. Bahkan sejak jaman Belanda Liwa sudah dijadikan tempat beristirahat mener-mener pengelola perkebunan kopi di Lampung. Hal ini bisa dibuktikan oleh berbagai photo gedung-gedung tua peninggalan Belanda yang masih ada,  yang sekarang gedung-gedung bersejarah tersebut sudah hancur oleh gempa.

Perjalanan pagi hari itu kemudian dilanjutkan dengan mampir ke tempat loper koran yang hanya ada satu-satunya di kota Liwa, yaitu di jalan Sudirman (pasar liwa), yang kebetulan kami lewati. Mencari koran daerah merupakan kebiasaan saya kalau berpergian. Karena dari berita di koran setempat itu, kita juga bisa melihat, mengamati dan menangkap “denyut-denyut” nafas masyarakat yang secara fisik tidak terlihat atau tidak sempat kita amati karena keterbatasan waktu.Ternyata, mencari koran di kota ini tidak mudah. Pihak hotel tidak menyediakannya. Demikian pula di jalan besar di depan hotel juga tidak tampak penjual koran dipinggir jalan sebagaimana halnya kota-kota di pulau Jawa. Apakah ini artinya minat membaca masyarakat Liwa tidak terlalu tinggi? Target pasar koran di kabupaten ini mungkin hanya untuk para ibu/bapak Guru dan pegawai Pemda ?

Tampak beberapa koran nasional dari ibukota seperti Kompas dan beberapa yang lain dijual di tempat loper koran ini. Dan tentu saja, korannya orang Lampung yang paling laris yaitu “Lampung Post”, “Radar Lampung” dan lain-lain, yang diedarkan ke seluruh Propinsi. Yang menarik, sebagaimana akhir-akhir ini, berkembangnya fenomena di hampir semua ibukota kabupaten untuk memiliki koran lokalnya masing-masing. Barangkali karena koran-koran nasional tidak memberikan ruang yang cukup untuk memuat informasi/berita lokal secara detail. Kabupaten Lampung Barat memiliki koran lokalnya sendiri, diantaranya adalah koran “Radar Lambar”. Kelebihan koran ini (meskipun tata layout dan printingnya tidak begitu bagus) adalah berisi informai sangat detail mengenai aktivitas masyarakat di Kabupaten Lampung Barat. Koran-koran ini kemudian saya borong untuk bahan bacaan nanti malam di kamar hotel dan juga untuk dikoleksi.

***

Kami tiba di SMP Negeri Belalau saat matahari belum begitu terik. Sekolah ini mirip dengan SMP lain di Lampung Barat (dan bahkan mungkin stereotype di berbagai daerah di Indonesia). Tidak mewah, namun tertata denganbaik dan memiliki lingkungan yang bersih. Serta aktivitas murid yang tidak terlalu riuh…Tampak ada pembangunan gedung dan ruang sekolah disana-sini. Hm, apakah ini artinya ada pengaruh positif yang menetes ke pelosok daerah akibat dari naiknya anggaran Pendidikan secara Nasional sebesar 20% itu..?

Dibeberapa ruang kelas terlihat murid-murid yang sedang belajar dan diruang lain yang sedang berlatih kesenian. Namun yang membuat saya surprise, pada hampir semua SMP di berbagai kampung dan kecamatan terparkir beberapa mobil “mewah” Avanza milik beberapa guru. Suatu hal yang hampir tidak pernah terbayang ketika dulu saya duduk dibangku SMP diera tahun 1970-an. Saat itu, hanya kepala sekolah saja yang mampu membeli mobil, itupun mobil bekas. Selebihnya, para guru SMP hanya menggunakan motor atau kendaraan umum untuk menuju ke sekolahnya masing-masing. Terlihat pengaruh yang signifikan dari diberikannya tunjangan “Sertifikasi Guru” yang diperoleh oleh hampir semua guru se-Indonesia beberapa tahun belakang ini oleh Pemerintah Pusat. Tunjangan khusus ini menaikkan tingkat daya beli para guru dimana-mana, termasuk di Kabupaten Lampung Barat dengan signifikan. Tunjangan sebesar kurang lebih Rp 2,5 juta per bulan itu, memang sangat memungkinkan buat guru untuk mencicil kredit  mobil baru sekelas Avanza  (leasing). Dan tentu saja, ini merupakan perkembangan yang baik buat para Guru. Tapi sebenarnya yang lebih penting adalah, tunjangan tersebut seharusnya lebih dapat memelihara memotivasi kinerja Guru  agar lebih baik dan berkualitas lagi dalam mengajar.

Faktinya menurut suatu penelitian, ternyata hanya sekitar 20% saja guru-guru se Indonesia yang kini menjadi lebih baik dan professional mengajar setelah mendapat tunjangan profesi ini. Mengapa demikian…? Mungkin karena pemanfaatan tunjangan profesi Guru justru sebagian besar masih di dominasi oleh penggunaan yang bersifat “prestise” dan konsumtif.

Tapi menariknya, seorang guru senior (yang berusia 60 tahun), yang saya temui di SMP Negeri  Kecamatan Krui, justru memberikan contoh bagus. Pak guru sepuh ini tampak begitu arif dalam memanfaatkan dan menggunakan tunjangan profesi yang diterimanya setiap bulan itu. Dia lantas meminjam uang ke bank sekian puluh juta agar dapat membeli tanah (kebun), yang kemudian dicicil tiap bulan angsurannya dengan menggunakan tunjangan profesi guru yang diterimanya. Kebun tersebut tidak saja kemudian menjadi miliknya, namun juga memberinya panen dua kali dalam setahun. Hasil panen inilah yang kemudian digunakannya untuk meningkatan kesejahteraan keluarganya. Bahkan sebagian sisa hasil tersebut bisa digunakan untuk mencicil kebun yang baru. Luar biasa pak Guru sepuh ini….! Meskipun sehari-harinya (akibat dari ini) pak Guru tersebut ke sekolah hanya menggunakan motor. “Saya tidak perlu gengsi ikut-ikut membeli mobil baru..”, katanya. Ya, dia sangat arif menggunakan tunjangan profesi yang diterimanya….! Teladan yang perlu dicontoh...!

***

Dalam perjalanan ke SMP selanjutnya, kami melewati Kecamatan Belalau dan Batu Brak yang berjalan aspal mulus. Dikiri kanan jalan tersebut terlihat puluhan rumah-rumah asli Lampung yang berjejer dan terlihat unik seakan-akan kita berada di jaman lampau. Rumah-rumah kayu bertangga tinggi tersebut terlihat antik dengan usia bangunan kayu rata-rata lebih dari 50 tahun. Bahkan ada diantaranya yang sudah berusia lebih dari seratus tahun. Namun sebagian dari rumah kayu sebenarnya punya cerita tersendiri.. Banyak masyarakat Liwa yang akhir-akhir ini mengganti rumah betonnya yang modern tersebut dengan rumah-rumah adat ini pasca terjadinya gempa dahsyat berskala 6,6 Richter di tahun 1994 lalu tersebut. Dari kejadian gempa ini, masyarakat kemudian belajar bahwa rumah kayu ternyata lebih tahan terhadap gempa daripada rumah beton. Gabungan rumah adat tua, rumah tradisional dan rumah baru itu yang menggunakan desain arsitektur tradisional adat Lampung tersebut menjadi pemandangan yang unik. Dan mengingatkan saya terhadap jejeran rumah asli di kawasan Kabupaten Pringsewu di Lampung Selatan, dan di Kabupaten Kintamani di Propinsi Bali.

Keberadaan rumah-rumah adat kayu ini juga seakan-akan ingin berkata kepada setiap tamu yang lewat.Bahwa perkembangan jaman dan modernisasi tidak harus menyebabkan hilangnya identitas budaya (khususnya rumah adat) yang menyimpan “kearifan lokal (local wisdom)” warisan turun temurun itu. Boleh saja (oleh perkembangan jaman), maka terlihat beberapa rumah adat yang juga dilengkapi dengan antena parabola untuk menangkap siaran TV Jakarta (nasional) bahkan channel TV luar negeri. Dan perabotan dalam rumah yang lebih modern seperti kursi tamu, kulkas, kompor gas dan berbagai perlengkapan standar suatu rumah dewasa ini sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Bahkan tidak jarang terlihat mobil dan motor yang juga terparkir disana seakan-akan memberi aksentuasi perpaduan gaya lama dan modern tersebut. Namun tetap berdasarkan dengan arsitektur rumah adat yang menjadi identitas dan kebanggaan.

Jika kita melihat dalam perspektif yang lebih luas. Dewasa ini banyak bangunan modern yang desain arsitekturnya justru terinspirasi dari keindahan arsitektural tradisional lama tersebut.Seorang teman saya, seorang arsitektur Spanyol pernah terinspirasi dalam karya-karyanya ketika saya mengirimkan dia beberapa postcard bergambar arsitektur rumah tradisional berbagai daerah di Indonesia seperti Rumah Gadang (Sumatra Barat), Rumah adat Toraja, Istana Bogor dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa tren perkembangan desain arsitektur di masyarakat modern justru banyak mengambil ide dan inspirasi dari apa yang dinamakan dengan “Traditional Architecture” ini. Dalam hal ini, ternyata masyarakat asli Lampung sudah melakukannya sejak dulu..

Kawasan di Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Balalau dan Gunung Pesagi di Kabupaten Lampung Barat ini semakin menarik. Bahwa disini dahulu kala pernah berdiri kerajaan yang bernama Sekala Brak ( Sekala Bekhak) yang berkembang pesat pada tahun 1074 pada masa transisi jaman Hindu Budha ke era Kesultanan Islam. Dari dataran Sekala Brak inilah keemudian etnik asli Lampung menyebar ke setiap penjuru mengikuti aliran Way atau sungai-sungai yaitu way komering, way kanan, way semangka, way seputih, way sekampung dan way tulang bawang beserta anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten.

Penulis sempat mampir ke Istana Kerajaan Braak. Gedung istana ini masih aktif hingga sekarang sebagai museum dan pusat budaya suku Brak, yang juga menjadi tempat tinggal Sultan ke XXII. Kini kerajaan tersebut dipimpin oleh Pangeran Edwardsyah Pernong yang berasal dari suku Buay Pernong (satu dari empat suku asli yang menjadi cikal bakal orang Lampung). Tiga suku asli lain adalah Buay (Umpu) Belunguh, Buay Bejalan Diway dan Buay Nyerupa). Edward kebetulan kini juga sukses berkarier di kepolisian RI dengan pangkat Komisaris Besar Polisi dan menjabat sebagai Kapowiltabes kota Semarang di Jawa Tengah. Keberadaan istana ini menunjukkan bahwa Lampung pernah memiliki Kerajaan dengan peradaban yang tinggi yang ditandai oleh adanya aksara khusus Lampung.

Sebagaimana halnya suatu Kerajaan yang masih aktif (walaupun sekarang hanya secara budaya), maka disekitar wilayah itu terdapat masyarakat kerajaan (abdi dalam) yang tinggal di rumah-rumah adat berjejer  diantara Kecamatan Brak dan Belalau. Akan tetapi, rumah adat Lampung yang paling tua di Kabupaten Lampung Barat ini adalah Rumah Adat Pesagi milik pak Matsari. Usia rumah ini konon lebih dari 300 tahun. Rumah itu kini oleh pemerintah dijadikan sebagai “Situs Tradisional Pesagi’ dengannomor 397.04.0605 (yang artinya rumah/objek wisata yang dalam pengawasan dan pemeliharaan Negara)

Rumah Adat PESAGI yang berlokasi di Desa KENALI di Kecamatan Belalau ini, tidak boleh diubah/direnovasi tanpa seijin pemerintah (dalam hal ini “Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang”). Rumah adat tertua Lampung yang tinggal satu-satunya tersebut didiami oleh Pak Matsari yang kini berusia 82 tahunt bersama keluarganya. Ketika kami ngobrol dengannya, dia mengutarakan keluhannya. Begitu seringnya tamu datang melihat Rumah cagar budaya miliknya ini, tapi disisi lain dia tidak mendapat apa-apa dari perubahan status rumahnya ini. “Kehidupan saya dan keluarga tetap saja begini-begini… “, keluhnya ke penulis. Kebanggaannya dahulu ketika rumahnya ditunjuk sebagai situs cagar budaya sekarang sirna. Karena hanya dihargai oleh pemerintah dengan memberi tunjangankurang dari Rp 1.650.000 yang diterimanya setiap 6 bulan sekali. “Mau makan apa saya sekeluarga dengan uang Rp 325.000 sebulan ini?”, katanya. Ini tampaknya merupakan jeritan hati pewaris situs bersejarah (cagar budaya) yang perlu didengar....(Catatan: Mengenai Rumah Adat Pesagi ini akan saya tulis lebih detail dalam artikel tersendiri!)

(BERSAMBUNG)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun