Betapa kita semua salut dan mengapresiasi setinggi-tingginya kebijakan Presiden SBY beberapa tahun terakhir, yang begitu memperhatikan nasib para Guru dan Dosen diakui sebagai enabler bagi perkembangan SDM bangsa Indonesia yang besar ini. Beliau bersama pemerintah, kemudian berupaya menaikkan kualitas profesionalitas Dosen, di antaranya dengan memberikan tunjangan khusus (tunjangan profesi) agar bisa lebih fokus, serius dan tekun dalam menjalankan profesinya sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Di kalangan dosen, tunjangan khusus ini disebut dengan Tunjangan Dosen (Tunjangan Serdos) yang diberikan untukdosen bukan profesor. Dan dinamakan dengan Tunjangan Kehormatan khusus untuk para profesor. Tunjangan Kehormatan Profesor ini nilainya cukup besar buat ukuran penghasilan orang Indonesia pada umumnya, yaitu kuranglebih Rp 12 juta per bulan (di tambah dengan gaji dosen, tunjangan fungsional dan sebagainya yang juga diterima oleh seorang Guru Besar). Penghargaan Pemerintah ini sebenarnya wajar diberikan mengingat seorang Guru Besar memang bukan profesi sembarangan. Hanya orang-orang yang bekerja keras dengan intelektualitas dan memiliki pengabdian yang tinggi terhadap Ilmu Pengetahuan dalam jangka panjang selama puluhan tahun itulah, yang seyogyanya memperoleh posisi akademik tertinggi di Perguruan Tinggi ini. Jadi, Tunjangan Kehormatan Profesor ini merupakan hal yang baik. Apalagi hal ini juga disertai oleh kewajiban untuk menulis buku “hasil riset” bermutu (penemuan baru/inovatif) setiap dua tahun sekali. Jika kewajiban-kewajiban yang menyertainya ini tidak dilakukan, maka Tunjangan Kehormatan Profesor itupun akan dicabut. Ini merupakan instrumen yang cukup efektif dalam menyeimbangkan penghargaan dan sekaligus pengendalian taktis serta strategis institusi khusus yang mengurusi Perguruan Tinggi, yaitu Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) sebagai bagian dari Kementrian Pendidikan Nasional.
Namun yang kemudian menjadi persoalan dan ramai didiskusikan adalah, bahwa sebagian para dosen senior yang mau menjadi Profesor tersebut, tampaknya lebih tertarik iming-iming tunjangannya daripada tanggung jawab intelektualitas sebagai seorang Ilmuwan di lini terdepan ini. Setelah kebijakan ini diberlakukan, tampak perubahan yang siginfikan karena dosen yang sudah berpangkat Lektor Kepala, Golongan IV-A, bergelar Doktor dan memenuhi jumlah pengumpulan KUM tertentu tersebut (sebagai syarat utama), kemudian seperti berlomba-lomba mengurus kenaikkan pangkat menjadi Guru Besar (Profesor) ini dengan berbagai cara. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tahun lalu, yang dipublikasikan dalam salah satu media massa, bahwa terjadi kenaikkan pengajuan kenaikkan pangkat jenjenag Professor yang luar biasa setiap tahunnya. Dari sebelumnya hanya 40 sampai 80 pengajuan saja setiap tahun tersebut dari seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia, kini menjadi 700-800 pengajuan. Suatu peningkatan kuantitatif yang luas biasa! Tapi benarkah terjadi juga motivasi yang "luar biasa" dari dosen senior (Lektor Kepala) untuk mengabdi dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan melalui jabatan akademik tertinggi yang bernama Profesor ini? Atau perkembangan signifikan ini karena disebabkan oleh faktor lain?
Di mata orang awam, terkesan kok para dosen senior yang mau menjadi Profesor ini seperti “mata duitan”?
Pada tahun 2005, salah seorang profesor ketika saya tanya, "Ibu, kenapa kok males mengajar di pasca sarjana (sering bolos), tapi rajin banget kalau mengajar di program DBA/MBA yang honornya beberapa kali lipat lebih tinggi..?" Jawabannya menarik! Profesor khan manusia juga, pak! Perlu uang untuk membiayai kehidupan keluarganya. "Makanya, tanya tuh ke pemerintah, kenapa honor mengajar reguler kok kecil banget!", katanya. Tentu saja, tidak ada yang salah dari jawaban tersebut. Akan tetapi, apakah seorang Profesor menjadi elok jika lebih berorientasi ekonomis daripada Ke-Ilmuwan dalam menjalankan tugasnya tesrebut?
Bukankah gelar dan status Guru Besar itu sebenarnya mulia, dan lebih ditujukan kepada komitmen akan bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan? Seharusnya tanpa termotivasi oleh faktor Tunjangan Kehormatan inipun, para dosen sudah kaya dengan Ilmu dan tingkat pendidikan yang tinggi. Mereka (tanpa "mengemis" dari tunjangan pemerintah sekalipun), seharusnya dengan mudah mendapatkan uang (tentu jika dosen tersebut kompeten dalam bidangnya). Misalnya, dengan menjadi konsultan disela waktu luang tugas-tugas utamanya sebagai dosen, membuat penelitian skala nasional/internasional yang dananya semakin besar akhir-akhir ini, mengajar parttime di Perguruan Tinggi standar internasional, menjadi TRAINER dan berbagai kegiatan lain yang mungkin secara ekonomis menarik.
Sebagai orang awam, saya jadi bertanya dalam hati: kok mencari uang tambahan dilakukan melalui pencapaian status terhormat yang namanya Guru Besar? Tentu saja manfaat ekonomis yang kemudian mengikutinya tersebut sah-sah saja diperoleh, akan tetapi sebagai akibat dari profesionalitas yang dijalankan. Bukan menjadi tujuan! Profesionalitas yang utama dan menjadi tujuan bagi seorang Profesor, adalah melakukan penelitian tingkat tinggi yang bermutu dan memelihara/mengembangkan Ilmu Pengetahuan.
Dan yang lebih membuat saya semakin bingung (sekaligus miris): ternyata cukup banyak dosen "senior" yang mengakali prosedur dan persyaratan kenaikkan pangkat untuk menjadi Profesor tersebut dengan cara-cara yang sangat tidak terpuji dan tidak layak dijadikan contoh (teladan) sebagaimana ramai didiskusikan di dunia maya tersebut. Salah seorang anggota milis di Yahoogroups "Jurnalisme", yang kebetulan juga seorang wartawan itu, sempat diundang oleh Prof DR. Supriyadi (Direktur Ketenagaan DIKTI-Kemendiknas) untuk ngobrol-ngobrol mengenai masalah ini. Di sana sang Profesor, yang mungkin sedang kesal dengan ulah sebagian dosen "nakal" ini, kemudian menceritakan dan membeberkan berbagai modus, akal dan trik para dosen yang hendak mengajukan kenaikkan pangkat menjadi Profesor.
Beberapa modus tersebut di antaranya adalah: