Dia pejuang, yang ikut memerdekakan negara ini sejak usianya remaja melalang di hutan belantara "Medan Area" di Sumatera. Ketika menjadi Danrem 011/Lilawangsa di Aceh, ia berupaya membujuk masyarakat yang terlibat GAM agar kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi melalui pendekatan "Sistem Sosial" (persuasif) yang damai, bukan dengan senjata yang dimilikinya. Namun akhirnya, dia justru "terpental" ke Jakarta di dalam keramaian hiruk-pikuk yang justru dijalaninya dalam "Sunyi". Masa pensiun yang panjang yang kemudian dilewatinya itu, lalu dinikmatinya dengan mengurus taman bunga bersama isteri tercinta, menulis novel dan puisi serta melukis digital dengan menggunakan software Komputer. Dia tetap terus berkarya meski dalam bentuk lain. Hingga di usianya yang hampir 80 tahun ketika akhirnya dipanggil Yang Maha Kuasa. Bagi dia, seorang perwira pejuang yang juga seniman tentara tersebut, ladang pengabdian bisa di mana saja, dalam bentuk apa saja...
***
Usianya sudah melebihi umumnya orang Indonesia, yaitu 80 tahun ketika ditemui dalam suatu obrolan santai suatu sore di bulan Januari 2010 lalu. Dia masih terlihat gagah, meski dengan guratan wajah yang sudah tampak semakin berkerut dan menua. Profil hidung bangir menjadi wajah khas priyayi dari Jawa ini. Garisketampanan pria kombinasi turunan Jawa dan Tapanuli Selatan ini masih terlihat jelas merona, ketika akhirnya ikut tertawa renyah dalam obrolan. Logat bicara yang berdialek khas Sumatra itu, menunjukkan sosok sepuh ini pernah tinggal lama di wilayah ini. Ya, memang begitulah…! Ibunya bernama KRA Samsiah berasal dari Yogyakarta, menikah dengan Ayahnya bernama H. Tengku Kochik Zulad, seorang bangsawan yang berasal dari kerajaan kecil di sekitar Labuan Batu, Sumatera Utara.
Ritme suaranya masih terdengar tegas dan berwibawa ketika membahas hal-hal tertentu dengan semangat dan serius. Hal yang memperlihatkan bahwa mantan perwira tentara dan komandan militer senior ini pernah berjaya pada jamannya. Photo besar dengan pakaian dinas aktif disertai atribut lengkap militer itu, terpasang berwibawa dalam figura coklat muda yang tertempel di dinding ruang tamu rumah sederhana untuk ukuran seorang mantan pejabat. “Photo ini diambil tahun 1978 sewaktu saya masih berusia 47 tahun dan menjabat Komandan Resor Militer (Danrem) 011/Lilawangsa di Lhokseumawe, Aceh”, katanya.
Pejuang Kemerdekaan di Usia Remaja
Pada seragam berwarna hijau tua kecoklatan itu, terlihat susunan kotak kecil warna-warni di dada sebelah kiri yang menjadi ciri khas pakaian dinas seorang perwira. Jumlah kotak sebanyak 16 buah itu menunjukkan bahwa sosok ini berhasil mengumpulkan 16 buah tanda jasa (prestasi) dari negara selama karirnya di militer. Saat itu, jarang perwira menengah berpangkat Kolonel berhasil memiliki 16 tanda jasa sebanyak itu. Hal yang menyiratkan kepiawaian dan pengalamannya yang luas di masa lalu, baik sebagaipejuang kemerdekaan jaman revolusi maupun ketika kemudian aktif mengikuti berbagai operasi militer di berbagai daerah meredam pemberontakan di seluruh Indonesia setelah kemerdekaan, termasuk penugasan keluar negeri sebagai anggota Kontingen Garuda III di Kongo, Afrika. “ Saya sudah ikut berjuang sejak usia remaja pada tahun 1945 di wilayah Medan Area, Sumatera Utara”,jelasnya.
Yang menarik,sebuah piagam tanda jasa Pahlawan Gerilya yang diberikan dan di tanda tangani oleh Presiden Soekarno tanggal 10 November 1958 itu, yang terpampang di dinding ruang tamu rumah. Piagam yang sudah agak lusuh tersebut ternyata bercerita banyak tentang kiprah pejuang ini.