Konsep Pertanggungjawan Sosial Perusahaan yang disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR) sebenarnya sudah lama dibicarakan diberbagai Negara maju. Hal tersebut akhir-akhir ini juga menjadi actual di Indonesia karena banyak kita jumpai kegiatan-kegiatan bisnis perusahaan yang bersifat “merusak”, baik dilihat dari sudut pandang etika, moral maupun pertanggungjawaban sosial. Motto umumnya perusahaan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai target penjualan sebesar-besarnya sering menyebabkan perusahaan mengabaikan kepentingan masyarakat yang lebih besar.
Berbagai reaksi kemudian bermunculan jika terjadi “malpraktek” yang berdampak negatif kelingkungana (baik lingkungan internal terhadap karyawan misalnya, maupun lingkungan eksternal yaitu masyarat). Akhir-akhir ini, meskipun Pemerintah telah membuat berbagai regulasi dan aturan mengenai CSR ini, namun faktanya sering kali dengan berbagai alasan, regulasi tersebut tidak berjalan secara efektif. Iklan-iklan yang mengabaikan norma masyarakat (dan juga kesehatan) tetap gencar ditayangkan di televisi dan media lainnya. Untuk tujuan penanaman brand image berbagai cara dilakukan. Konser musik yang membagi-bagikan minuman keras, iklan rokok yang memancing gaya hidup tidak sehat terus dikumandangkan, monitor komputer yang mengabaikan kerusakan mata terus diperjual-belikan, penyebaran pornografi di Internet dibiarkan, acara-acara kuis berhadiah yang mengajarkan gaya hidup instan (instant culture) semakin membanjiri ruang rumah keluarga. Iklan dan promosi seperti itu sering sekali memberi dampak sosial yang cukup serius dialam bawah sadar masyarakat konsumennya. Masyarakat konsumen dan pemirsa seringkali merasa terhibur dan terlena dengan sajian acara dan produk-produk konsumerisme tersebut tanpa menyadari efek negatif yang menyertainya, baik karena ketidaktahuan masyarakat itu sendiri maupun karena kecanggihan rekayasa pemasaran perusahaan dewasa ini.
Inilah salah satu sebab di berbagai Negara maju, setiap perusahaan diwajibkan memiliki konsep CSR yg jelas dan mengimplementasikannya secara sistematis. Di Indonesia, umumnya konsep CSR masih setengah hati dilakukan, karena kegiatan-kegiatannya menyerap dana yg cukup besar dan sering dianggap sebagai “beban/expense” yang sia-sia yang harus diikuti karena telah menjadi kebijakan pemerintah. Sebenarnya dengan cara-cara tertentu, CSR bisa juga member manfaat bagi perusahaan (menjadi kegiatan Value-added activities) melalui salah satu elemen jalur Promotion Mix yang disebut dengan Publikasi.
Disinilah kemudian pentingnya memanfaatkan jalur tersebut agar perusahaan termotivasi untuk membangun konsep CSR yang tepat guna, tepat sasaran dan secara tidak langsung berperan juga sebagai alat pemasaran. Tulisan ini membahas bagaimana model penerapan Corporate Social Responsibility/CSR (Pertanggung Jawaban Sosial Perusahaan) bisa sejalan (dan berinteraksi) dengan Perencanaan Strategi Pemasaran perusahaan.
***
Apa itu Coporate Social Responsibility (CSR)?
Archie B Carroll (1999) mendefinisikan Pertanggung Jawaban Sosial atau Coporate Social Responsibility (CSR) ini sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban perusahaan (manajer) untuk dapat membuat berbagai keputusan melakukan aksi (kegiatan) yang harus dapat memberi nilai tambah (manfaat) terhadap masyarakat (value of our society), selain manfaat praktis meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari produk/jasa yang dihasilkan.
Dengan adanya CSR ini maka perusahaan akan:
-Dapat mengenali (mengidentifikasi) aktivitas-aktivitas bisnisnya, mana yang memberi dampak negatif secara luas (signifikan) terhadap masyarakat sekitarnya, mana yang tidak yang dapat merusak citra perusahaan.
-Dapat secara aktif terlibat mengelola lingkungan hidup masyarakat sekitar dimana operasi perusahaan dilakukan.
-Dapat mencari cara untuk mengsinergitaskan (kerjasama) dengankelompok-kelompok masyarakat lain, termasuk lembaga swadaya masyarakat (NGO), pemerintah dan perusahaan lain untuk mengelola (mereduksi) efek negatif dari kegiatan bisnis yang dilakukan, yang sekaligus dapat memberdayakan masyarakat sekitar
Mengelola efek negatif akibat dari pengoperasian perusahaan tidak semudah hanya dengan mengeluarkan “uang sumbangan” kepada masyarakat tersebut semuanya menjadi terselesaikan. Setiap masyarakat memiliki values dan persepsi tersendiri mengenai hal yang salah dan benar sesuai dengan kebiasaan, kebudayaan dan agama setempat yang dianut. Diperlukan konsep, model dan strategi perencanaan CSR yang tepat yang dapat mengakomodasi hal tersebut, jika tidak ingin kegiatan operasional perusahaan diganggu oleh masyarakat yang merasa terganggu tersebut. Dijaman reformasi dewasa ini, sensitifitas masyarakat terhadap kertidakberesan gampang tersulut menjadi tindakan anarki yang dalam batasan tertentu menjadi sangat menganggu perusahaan.
Jika diibaratkan hubungan masyaralat dan perusahaan tersebut seperti Ikan dan Air, maka seharusnya ada “keintiman” diantara relasi tersebut. Antara perusahaan dengan masyarakat (dimana eksistensi perusahaan berada), harus secara bersama dapat memelihara relasi eksistensi keintiman tersebut dalam bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan mulai dari Dewan Komisaris, Top Manajer (yang mewakili perusahaan secara keseluruhan) sampai kelevel manajer operasional yang bertugas mengimplementasi tujuan-tujuan bisnis perusahaan secara praktis. Keintiman tersebut dalam arti, perusahaan mencapai tujuan-tujuan bisnisnya melalui elaborasi (kerjasama) terhadap norma-norma sosial masyarakat dimana perusahaan beroperasi. Atau dengan kata lain, proses bisnis yang dilakukan perusahaan tidak melepaskan diri dari kontaks sistem sosial - budaya yang membentuk norma dan rambu-rambu sosial kemasyarakatan setempat.
Kegiatan bisnis merupakan aktivitas kegiatan manusia, dan sebagaimana halnya suatu aktivitas manusia maka kegiatan tersebut harus selalu dievaluasi (dari distorsi yang terjadi). Terlebih lagi jika kita melihat kegiatan bisnis sebagai bagian dari aktivitas masyarakat, maka kegiatan bisnis perlu mengacu ke nilai moral masyarakat jika perusahaaningin tetap dihargai keberadaannya. Meskipunbanyak pendapat yang mengatakan bahwa bentuk kegiatan bisnis perusahaan berbeda dengan kegiatan social lain, karena perusahaan adalahlembaga sah yang dibentuk khusus untuk mencari keuntungan (Profit Oriented). Namun Globalisasi Ekonomi juga menjadi “penekan” lain yang harus diperhatikan perusahaan yang menghadapi lingkungan bisnis yang dinamis dan berubah-ubah. Bagi perusahaan besar di Indonesia, pengabaikan CSR bisa berakibat fatal secara internasional. Jika perusahaan tersebut akan listing (menjual) saham di bursa efek New York (atau Negara maju lain) agar memperoleh modal kerja tambahan dalam jumlah besar, aturan Sarbanes-Oaxley (SOX) yang harus dipenuhi sebagai salah satu syarat. SOX jelas mengatakan bahwa perusahaan yang mau listing tersebut harus memiliki konsep dan strategi implementasi CSR yang jelas dan sistematis. Artinya, CSR sekarang ini sudah menjadi Business Driver yang harus diakomoasi.
Model CSR Dalam Strategi Pemasaran
Salah satu pendekatan yang banyak dilakukan perusahaan dalam mengimplemntasikan CSR adalah, dengan pendekatan utilisasi yaitu mengintegrasikan nilai utama etika (ethical core values) kedalam budaya organisasi perusahaan (Corporate Culture). Sathe (1986) mendefinisikan Corporate Culture sebagai sekumpulan asumsi penting (yang tersirat maupun tidak) yang dilakukan oleh seluruh individu didalam suatu perusahaan sehingga menjadi kebiasaan dan tradisi khas organisasi perusahaan tersebut. Sebelum menggunakanjalur Promotion Mix, umumnya perusahaan mengintegrasikan terlebih dahulu Budaya Perusahaan (Corporate Culture) dengan konsep CSR yang diinginkan sebagai instrumen perekat. Dalam proses integrasi ini Ethical Core Values berperan sebagai integrator (perekat) yang secara interaktif (timbal-balik) mempengaruhi rencana strategic pemasaran (Promotion Mix) perusahaan.
Secara sederhana, model pengintegrasian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
(Sumber: Dimodifikasidarimodel Donald Robin, 1987)
Tahap pertama adalah menentukan sasaran (misi) CSR yang akan dibangun dengan mempertimbangkan Ethical Profile yang dimiliki perusahaan tersebut. Misi CSR ini yang kemudian dijadikan sebagai acuanperusahaan untuk menentukan tujuan (objektif) dari strategi pemasaran yang diinginkan. Garis feedback menunjukkan bahwa semua tahap harus diindentifikasi ulang secara terus menerus, dan disesuaikan kembali (adjusting) berdasarkan perubahan lingkungan bisnis perusahaan yang terjadi yang dewasa ini bersifat turbulensi. Perusahaan McDonald contohnya, membuat program sosial yang memberi fasilitas perawatan kesehatan di McDonald Houses mereka bagi anak-anak yg berpenyakit kronis, dimana orang tua, keluarga, teman si anak dapat menjenguk disana selama masa perawatan. Disini perusahaan melakukan kegiatan CSR yang sekaligus membuat target pasar dalam bentuk publikasi yang berakhir dengan terciptanya Brand Image McDonald.
Tahap kedua dari model diatas adalah, melakukan analisis terhadap lingkungan bisnis dimana perusahaan berada untuk memahami dan mengidentifikasi hal-hal apa saja yang sangat sensitive bagi masyarakat. Dari sisi Perencanaan Strategi Pemasaran, tahap ini dilakukan dengan memfokuskan pemilihantarget pasar sesuai dengan society values masyarakat sekitar tersebut, sebelum menentukan Marketing Mix yang sesuai. Memilih Target Pasar dilakukan dengan memasukkan masyarakat sekitar yang sebagai target audiens.
Jadi, setiap identifikasi diikuti dengan menganalisis dengan seksama potensi dari kegiatan pemasaran tersebut. Jika aktivitas pemasaran terlihat tidak sejalan dengan etik profile yg diiinginkan perusahaan, maka kegiatan tersebut perlu disesuaikan (lihat arah panah bolak-balik). Sebagai contoh, perusahaan Nestle yang fokus produknya adalah susu bayi untuk pasar di negara berkembang, suatu ketika terbentur dengan kebiasaan hidup konsumen di lingkungan sanitasi yang buruk. Susu bubuk tersebut digunakan (dikalangan masyarakat miskin) dengan menggunakan air minum yang tidak sehat sesuai dengan keadaan lingkungannya saat itu. Akibat dari kebiasaan dan lingkungan demikian, susu merek Nestle ini dianggap masyarakat memunculkan penyakit mencret, bahkan dalam beberapa kasus penyakit yang ditimbulkan ini menyebabkan kematian. Masyarakat heboh dan marah menganggap PT Nestle menjual susu beracun. Respon dari kegiatan social CSR PT Nestle adalah, dengan membuatkegiatan pemasaran yang menyatakan (melalui metode kampanye ke RT/RW dan Posyandu dengan membantu mendukung kegiatan-kegiatannya), bahwa dampak buruk tersebut bukan disebabkan produk Nestle melainkan disebabkan oleh kesalahan masyarakat konsumen sendiri dengan menggunakan air minum pencampur yang tidak sehat.
Meskipun kegiatan CSR ini benar, namun strategi pemasaran seperti ini menuai kritikan karena tidak sesuai dengan Social Values masyarakat setempat dan memojokkan. Perusahaan Nestle mendapat kririk dan protes keras dari lembaga swadaya masyarakat setempat karena dianggap kurang menghargai kondisi masyarakat (konsumen miskin) di negara berkembang yang memang lingkunagnnya sudah sedemikian rupa. Ini suatu contoh program kegiatan CSR yang tidak tepat sasaran. Akhirnya Nestle diminta untuk membuat kampanye promotion mix yang lebih etis dan membuat berbagai aksi sosial yang lebih santun dan manusiawi (karena lingkungan hidup buruk tersebut juga tidak sepenuhnya disebabkan karena kesalahan masyarakat setempat). Akibat dari proses identifikasi terhadap impak kegiatan perusahaan tersebut, maka Nestle kemudian mengubah kegiatan Marketing Mix-nya yang kali ini sukses.