Benarkah bahwa "we are Homo Homini Lupus ……?"
Manusia cenderung menjadi “srigala” (bagi sesamanya), atau jika dikondisikan akan menjadi mahluk sosial yang baik, kata Thomas Hobbe pada suatu hari menutup bait-bait akhir dalam tulisan masterpiece-nya mengenai fenomena interaksi sosial yang ditulis beberapa puluh tahun yang lalu. Buku ini dia tulis di bawah sepoi-sepoi angin musim semi di salah satu negara maju yang berkultur Barat nun jauh di sana..….. Namun sampai kini hipotesanya masih menjadi acuan analis banyak orang terhadap fenomena sosial suatu masyarakat sekarang ..
Ide dan pemikirannya masih relevan, justru ketika masyarakat Indonesia dewasa ini sering terjebak ke dalam proses-proses manipulasi demi kepentingan jangka pendek, bersifat instan, dan menghalalkan berbagai cara (baik dalam bidang Ekonomi, bisnis maupun kepentingan kekuasaan politik, termasuk konflik etnik). Masyarakat terkadang terlihat seperti "srigala" sebagaimana dikatakan Thomas Hobbe. Dan menjadi pertanyaan analisis sosial dari Barat, Kok bisa masyarakat Indonesia yang religius tersebut menjadi "buas" jika dalam suasana konflik horizontal ? Yang mungkin bisa membuat para Bapak Bangsa Indonesia inipun akan menangis jika mengetahui bahwa hipotesa Thomas Hobbe tersebut tentang sisi-sisi negatif dari interaksi sosial masyarakat itu ternyata benar-benar pernah terjadi dan dialami bangsa Indonesia. Tapi syukurlah, bahwa di tengah sering terjadinya konflik berbau SARA akhir-akhir ini, ternyata dalam nuansa lain seperti pada masyarakat terdidik di kampus. Pola interaksi sosial komunitas masyarakat yang primordial (daerah) tersebut menjadi berbeda ketika bersentuhan dengan ikon-ikon modernisasi disuatu kota yang berhawa sejuk dan menjadi kota pendidikan banyak orang di Indonesia saat ini, yaitu kota Bandung.
********
Komunitas "Dalam Perjalanan"?
Apapun bentuk dan pola dimensi interaksi sosial di salah satu kampus yang saya amati tesrebut bercorak berbeda karena adanya faktor lingkungan (dan pengkondisiannya) memang menjadi hal utama yang menentukan corak interaksi sosial suatu komunitas terdidik kampus. Penelitian kecil-kecilan yang saya lakukan dengan mengamati pola interaksi sosial teman-tyeman saya sendiri ini dalam komunitas mahasiswa pasca sarjana pada suatu universitas negeri dimana kami menjadi mahasiswanya tersebut. Saya tuangkan dalam artikel singkat yang sederhana ini. Saya menganalisis komunitas ini dengan menggunakan pisau analisis dari model interaksi sosial yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes sebagaimanadiatas.Dengan hipotesis bahwa masyarakat dapat menjadi "srigala" (terhadap yang lain), dan sebaliknya menjadi "malaikat" bagi komunitasnya tergantung faktor lingkungan dan stimulan tertentu yang terdapat dalam sistem sosialnya.
Mahasiswa-mahasiswa Pascasarjana di salah satu satu kampus tertua di kota Bandung ini, memang cocok diuji dengan teori Thomas Hobbe tersebut. Komunitas ini memang unik, karena memiliki komposisi geografi yang mewakili hampir seluruh wilayah di Indonesia sebagai asal mahasiswa tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh kebijakan pimpinan Universitas yang menerima lebih dari 80% mahasiswa-mahasiswa peserta program pascasarjananya dari berbagai daerah (dan bahkan pelosok Indonesia).
Selama mereka kuliah di kota Bandung ini, maka pluralisme sudah menjadi keniscayaan dan tampak dalam kehididupan sehari-hari saat kita melihat bagaimana interaksi sosial mereka di berbagai warung makan, tempat-tempat photo kopi bahan kuliah mahasiswa dan di tempat-tempat persewaan komputer/ Internet di sekitar kampus ini. Kerap kita mendengar para mahasiwa tersebut yang berbicara satu sama lain (bahkan dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil) dengan mengunakan dialek bahasa Indonesia yang "aneh". Mereka sering juga menggunakan bahasa daerahnya masing-masing yang terdengar "asing" dikebanyakan telinga kita. Suasana kampus di Sekeloa Bandung tersebut berubah seperti representatif Miniatur Kemajemukan Indonesia yang sesungguhnya.
Beberapa dari mereka memang berasal dari pelosok daerah Indonesia yang jauh (yang sebagian besar dari kita hanya pernah mendengar nama kabupaten atau kepulauan tempat asal mereka. Tanpa disadari bahwa kampus ini telah menjadi semacam “diaspora” dari berbagai masyarakat etnik Indonesia yang kuliah ke kota Bandung. Sebagaimana halnya suatu diaspora, mereka juga berupaya menerapkan kebiasaan, bahasa komunikasi, dan dalam batas tertentu juga adat-kebiasaan serta cara pandang (the way of thinking) yang selama ini mereka lakukan di daerahnya masing-masing. Uniknya, setelah berada di kota seni, budaya dan kreatif seperti Bandung ini, masyarakat etnik dalam diaspora ini juga berinteraksi secara sosial dengan simbol/ikon setempat sebagaimana halnya ikon masyarakat modern kota besar yang bercirikan generasi MTV , globalisasi (internet), TV Cable dan Teknologi Informasi (gadget). Akulturasi antara ikon/simbol-simbol yang bersifat primordialisme dengan ikon budaya Pop (Pop Culture) dari masyarakat kota besar tersebut, kemudian membentuk pola interaksi sosial yang unik.
Namun demikian, sebagaimana halnya suatu masyarakat diaspora (perantau), ia hanya bersifat sementara. Oleh sebab itu masyarakat seperti ini sering disebut dengan "masyarakat dalam perjalanan". Sebagai masyarakat perantau, maka kebersamaan (saling membantu) menjadi terlihat sangat menonjol (bahkan sering melampaui batas kepatutan), misalnya menjadi saling membantu juga tatkala ujian. Menarik melihat interaksi sosial diantara angota komunitas yang berasal dari Aceh dengan mahasiswa dari Jawa (daerah), Mahasiswa Madura dengan Sampit dan seterusnya. Kebersamaan dan kerjasama dalam mencapai tujuan tersebut (dalam kontakes tulisan ini artinya kegiatan perkuliahan) sudah menjadi keniscayaan. Karena target kuliah yang harus dicapai begitu tinggi. Target yang seringkali berada diatas rata-rata kemampuan (capability) hampir semua individual mahasiswa daerah tersebut, menyebabkan mereka harus melakukan sinergitas secara efisien dan seefektif mungkin. Dalam pernik-pernik kebersamaan ini kemudian terjadi interaksi dan proses akulturasi yang tanpa disadari meleburkan budaya sub-kultur etnik dengan budaya masyarakat kota bahkan masyarakat global. Menjadikan "batang-batang lidi " (individual) yang pada awalnya berserakan tak teratur tersebut ketika pertama kali datang ke Bandung. Kemudian menjadi satu-kesatuan dan kekuatan yang signifikan dalam mengatasi segala rintangan perkuliahan tingkat tinggi (Pasca Sarjana) di kampus ini. Aktivitas seharian seperti kuliah, mengerjakan tugas, ujian, seminar, hingga ke pembuatan paper dan Tesis, hampir semuanya dilakukan secara bersama-sama.