Kota Yogya dan Solo (serta wilayah sekitarnya) memang unik. Tidak sajamerupakan pusat budaya Jawa yang masih berhasil mempertahankan tradisinyaditengah arus modernisasi kota besar sebagaimana banyak terjadi dewasa ini. Namun di kota yang indeks biaya hidupnya termurah di Indonesia itu, berada tiga situs (objek wisata) bertaraf internasional (The World Heritages) yaitu Candi Prambanan, Candi Borobudur dan Museum Manusia Purba Sangiran. Artikel ini merupakan bagian kedua dari perjalanan backpacking yang saya lakukan selama lima hari, dan merupakan lanjutan dari artikel yang berjudul sama. Hari pertama dan Kedua terdapat di artikel bagian pertama. Have a nice read!..
***
-Hari Ketiga (Jumat, 14 September 2012)
oPagi di hari ketiga, saya iseng-iseng ingin mengetahui seperti apa suasana kawasan penginapan Backpackers bule di jalan Prawirotaman I dan II ini (tempat saya menginap). Saya melihat begitu banyak anak-anak muda bule yang yang menginap disini dengan berbagai ekspresi(catt: suasana Prwairotaman akan saya tulis dalam artikel tersendiri). Sayapun berjalan kaki mengeliling dua jalan terkenal di kalangan turis asing di luar negeri itu, yang sebenarnya tidak terlalu panjang, bahkan kurang dari 500 meter saja. Terlihat pasangan bule muda sedang ngobrol di suatu lobi hotel (lebih tepatnya outdoor lobby). Ada yang sedang berjalan dengan wajah ceria sambil menyelinap diantara gang-gang kecil rumah-rumah penduduk tanpa merasa khawatir sedikitpun. Tampaknya penduduk lokal setempat sudah sedemikian menyatu saling menyapa dengan turis-turis anak muda ini. Mereka terlihat bertutur sapa ramah... (Simbiose Mutualisme?)
oAda yang baru pulang naik becak entah dari sudut mana kota Yogyakarta. Bahkan ada yang baru saja meluncur entah kemana dengan menggunakan motor sewaan tanpa terlihat canggung menyur jalan kecil ini yang kemudian keluar ke jalan raya dan menghilang ditelan keramaian kota Yogya. Suasana bebas (namun sopan) ini mengingatkan saya dengan kawasan komunitas backpackers asing lainnya di Indonesia, seperti di Jalan Jaksa (Jakarta) dan jalan Legian di Denpasar Bali. Dua kawasan menginap (homestay) yang juga menjadi favorit backpackers bule kalau berkunjung ke kota tersebut, yang ditata dengan konsep “Menyatu dengan aktkvitas penduduk Lokal" untuk mendapatkan tarif penginapan murah...” Begitu menyatunya, tidak jarang kita melihat mereka keluar masukpasar tradisional yang terletak di jalan masuk Jl. Prawirotaman II. Entah berbelanja apa, atau hanya sekedar merasakan "mengalami" kehidupan masyarakat lokal?
oSaya kaget juga, bahwa di kedua jalan kecil Prawirotaman ini memiliki prasarana tourism yang cukup lengkap. Ada beberapa ATM BNI/BCA dan perusahaan money changer. Tentu saja puluhan hotel/homestay kelas backpackers dengan tarif rata-rata dibawah Rp 200.000 per malam. Disana juga terdapat beberapa perusahaan agen perjalanan sederhana yang dikelola oleh anak-naka muda Yogya itu, yang siap membantu siapa saja yang mau berwisata (termasuk ke tempat yang jauh disekitar Jawa Tengah seperti Wisata Petualang, Wisata Ke Merapi, Bromo, Dieng dan berbagai objek wisata lainnya).
oDi lokasi yang mengarah ke jalan besar (jalan Parangtritis) bahkan terdapat beberapa “cafe ala anak-anak muda bule”, tempat mereka hang-out sejenak mengusir lelah hingga larut malam (sambil bertukar informasi wisata). Nampaknya Prawirotaman mulai berkembang sebagai sentra homestay penginapan murah menyaingi kawasan Sosrowijayan (kawasan backpackers bule lain di Yogya), yang berada di sekitar Malioboro. Kawasan lama ini dianggap sudah kurang menarik karena terlalu ramai dan hiruk pikuk.
-Hari jumat siang ini, saya berniat menggunakan sepeda motor sewaan (berdua dengan anak saya), ke Candi Borobudur dengan santai (tidak terburu-buru waktu), dan bebas berhenti dimana saja. Meskipun kami berdua tidak paham benar arah jalan di kota ini, apalagi keluar kota Yogya. Informasi yang saya peroleh, persewaan motor di Yogya cukup murah, yaitu sekitar Rp 50.000 perhari (hampir sama dengan di Bali). Sebenarnya di samping hotel saya menginap terdapat juga jasa persewaan motor (bahkan ada persewaan sepeda dan mobil juga). Lho kok masih ada sepeda ya..?. Namun sayang, mbak manis yang merupakan staf admistrasi disana itu tidak begitu ramah melayani, dan seperti paranoid terhadap penyewa motor (wah, gadis Yogya bisa juga jutek nih....? hehe..).
Akhirnya kami membatalkan niat menyewa motor di tempat ini. Dan mencari alternatif di tempat lain. Lalu saya melanjutkan berjalan kaki mengelilingikawasan Prawirotaman ini....
-Tiba-tiba mata saya dikagetkan oleh sebuah toko barang antik (milik turunan Belanda). Toko ini bernama “Moesson Antik Fine Art”. Karena barang antik selalu menarik perhatian saya, maka saya iseng-iseng masuk ke dalam toko tersebut untuk melihat-lihat (cuci mata), kalau-kalau ada barang antik yang murah meriah dan terjangkau kantong.Lalu iseng-iseng saya bertanya ke penjaga disana, dimana tempat persewaan motor di daerah Prawirotaman ini. Pucuk dicinta ulampun tiba! Ternyata si penjaga toko menjawab ramah menanggapi dengan antusias. Ternyata dia juga punya bisnis sampingan yaitu penyewaan motor. Singkatnya, dia memberikan motornya untuk di sewa dan tanpa uang jaminan sama sekali! Persyaratannya sederhana sekali, hanya meninggalkan KTP dan SIM saja sebagai jaminan. Rupanya dia percaya ketika saya katakan bahwa gaji saya lebih besar dari harga motor anda. Jadi kalau saya bawa kabur dan sayadipecat dari tempat pekerjaan saya karena melakukan tindakan kriminal tersebut, kerugian saya jauh lebih besar.... Lalu saya berikan kartu nama saya! Rayuan saya ternyata berhasil! hehe2... Hm, seorang backpackers harus banyak akal juga nih ...!.
- Kemudian dengan motor sewaan ini, kami meluncur dengan perasaan bebas (seperti sedang berjalan-jalan di kota sendiri saja), menuju objek wisata Candi Borobudur. Arah motor saya arahkan ke jalan raya Yogya-Magelang sebagaimana halnya arah menuju ke Borobudur (dengan hanya berbekal peta dan tanya sana tanya sini!). Di buku wisata, jarang sekali ada penjelasan secara detail bagaimana rute menggunakan motor sendiri menuju ke objek-objek wisata di Yogya, termasuk ke Borobudur ini. Tapi ternyata tidak terlalu sulit juga! Karena disepanjang jalan besar selalu terlihat dengan jelas petunjuk arah.
-Setelah selama hampir 1,5 jam bermotor ria, akhirnya kami memasuki kawasan Borobudur di Magelang, yang terlihat jelas dalam papan besar di jalan menuju ke candi Borobudur tersebut. Aura kebesaran objek wisata terkenal ini mulai terasa! Hal ini membuat kami merasa lega, berarti tidak menyasar kemana-mana untuk meneruskan arah jalan yang masih 30 menit lagi dari papan petunjuk tersebut. Bahkan sempat-sempatnya saya berhenti beberapa kali di beberapa tempat lapak koran untuk membeli koran lokal dan mengobrol sejenak dengan masyarakat setempat sambil menyicipi jajanan tradisional setempat yang dijual dipinggir jalan. Makanan rakyat seperti jenang, es dawet dan sebagainya itu mengingatkan masa kecil saya...
-Mengenai koran lokal/daerah?
Ini kebiasaan saya yang tidak dapat dilepaskan jika pergi ke suatu tempat/daerah untuk selalu membeli, membaca dan mengkoleksi koran-koran lokal tersebut. Saya selalu yakin salah satu sarana memahami situasi di tempat baru adalah dengan membaca berita dari koran lokal setempat. Koran daerah bagi saya merupakan media untuk mengatai dan mamahami “denyut nafas masyarakat setempat” yang secara fisik sulit dilihat. Tentu, berhenti-henti seperti ini menjadi sulit dilakukan jika perjalanandilakukan menggunakan mobil travelling, bus umum atau taksi, bukan? Apalagi dengan menggunakan kapal laut atau pesawat terbang..! hehe2...
-Ketika perjalanan motor kami sudah hampir sampai Borobudur, tiba-tiba saya melihat sebuah candi sederhana namun megah dipinggir jalan raya yang terawat rapi. Ternyata itu adalah candi Mendut yang juga terkenal. Kami berhenti sejenak sambil beristirahat dan memandangi arsitektur indah candi ini sambil membuat beberapa photo.
- Kami terlalu keasyikan berhenti lama di Candi Mendut ini, yang akhirnya menyita waktu cukup banyak. Ketika kami sampai di kawasan Candi Borobudur waktu sudah sore, yaitu sekitar jam 15:00. Timbul masalah, dimana tempat parkir motor sewaan ini diletakkan agar aman? Karena parkir resmi dalam kawasan candi Borobudur itu hanya diperuntukkan untuk mobil/bus. Sementara saya sudah menandatangani fomulir perjanjian saat penyewaan motor ini, bahwa motor harus kembali dalam keadaan utuh. Artinya kalau hilang, saya harus menggantinya! Wah, gawat juga nih...! Bisa jadi, ingin menghemat dalam perjalanan dengan menyewa motor, malah jadi buntung. Tapi untunglah, tingkat kriminal dan kasus kehilangan motor di Yogya sangat rendah (hanya satu dua kejadian saja dalam sebulan, itupun umumnya dilakukan oleh oknum orang luar Yogya, demikian kata penduduk setempat). Akhirnya, saya parkirkan saja motor di depan sebuah toko kelontong yang berada persis di depan gerbang masuk Candi Borobudur. Dengan pertimbangan, pasti toko ini diketahui pengelola Borobudur, jadi tidak mungkin tempat nangkiringnya para preman. Dan kelihatannya pemilik toko besar ini juga ramah dan meyakinkan. Bahkan dia sempat mengatakan bahwa motor yang dititipkan disini akan aman dan tokonya akan buka hingga jam 21:00 malam. Setelah saya minta tiket parkir, lalu kami tinggalkan motor baru itu dengan perasaan agak tenang. Selanjutnya, kami berjalan menuju ke loket penjualan karcis masuk candi Borobudur yang ternyata cukup luas untuk berjalan kaki.
- Tiket masuk ke candi Borobuduradalah Rp 30.000. Dan untuk turis asing tiketnya lebih mahal karena di-ekuivalenkan dengan dollar. Dan setelah saya istirahat sejenak didalam kawasan ini, kemudian kami masuk dan melihat-lihat ke toko souvenir yang tepat berada tidak jauh dari pintu masuk. Lihat sana-lihat sini di toko kecil ini, akhirnya saya jatuh hati dengan sebuah DVD mengenai film dokumenter Borobudur, yang kelihatan menarik dan edukatif untuk di koleksi. Harganya hanya Rp 50.000. Selanjutnya, kami puaskan juga rasa ingin tahu kami tentang candi Borobudur dengan menonton filmborobudur di bioskop kecil yang tersedia disamping toko souvenir tersebut terlebih dahulu sebelum benar-benar melihat Candi megah tersebut. Biaya masuk bioskop kecil ini murah hanya Rp 5.000. Film dokumentar karya Garin Nugroho yang diputar di bioskop mini ini selama sekitar 30 menit. Film dokumentar ini menceritakan segala hal penting mengenai Borobudur dari mulai sejarah ditemukannya di jaman Belanda tempo dulu hingga ke berbagai perawatahn yang pernah dilakukan. Termasuk makna relief-relief kegiatan masyarakat Indonesia ribuan tahun lalu, yang katanya kalau dibukukan bisa ribuan halaman itu. Hal-hal yang edukatif seperti ini selalu saya prioritaskan setiap kali melakukan perjalanan wisata kemanapun. Bukankah berwisata itu tidak sekedar bersenang-senang (membuang kepenatan rutinitas kerja) dan menikmati keindahan alam saja. Namun lebih dari itu, juga sebagai sarana mempelajari (mendapatkan values) dari segala sesuatu yang baru/unik dari berbagai tempat yang kita kunjungi..?
-Jam 16:20 kami keluar dari bioskop mini tersebut. Kemudian berjalan kaki ke candi Borobudur yang letaknya sekitar 300 meter (kurang lebih membutuhkan waktu 15 menit). Akhirnya, sampailah ke candi yang sangat terkenal di dunia ini, yang selama ini hanya bisa saya lihat gambarnya saja melalui postcard dan mendengar cerita-ceritanya saja dari berbagai tulisan dan buku. Saya termenung sejenak, merasakan kebesaran dan kemegahan candi Buddha terbesar didunia ini, yang dibangun menggunakan kepintaran konstruksi dan arsitektur kuno dari nenek moyang kita itu.. Saya terpukau dengan struktur dan seni stupa-stupanya, dengan ribuan relief-reliefnya yang bercerita banyak tentang kegiatan kehidupan masyarakat Indonesia kuno... Beberapa turis bule tampak dengan tekun meneliti satu persatu relief yang ada sambil mendiskusikan maknanya... Ketika ribuan tahun yang lalu itu belum ada kertas, huruf/tulis menulis, photo. Maka keberadaan relief ini memberikan values yang luar biasa yang mengarsipkan tentang masa lalu suatu bangsa/masyarakat... Borobudur bukan hanya sekedar susunan batu dan stupa.. tapi pengetahuan tentang masyarakat kuno. Itulah sebabnya Candi Borobudur masuk ke dalam warisan yang dilindungi dunia melalui program The World Heritages sites (catt: mengenai Borobudur secara detail akan diceritakan dalam artikel lain!)
- Dari sisi seni photography, ternyata begitu banyak sudut pengambilan yang menarik buat dijadikan objek. Sayangnya, kami disana hanya diberi waktu kurang dari 30 menit saja. Terlihat satpam penjaga candi sudah bersiap-siap dimana-mana membatasi akses pengunjung ke tempat yang jauh dan yang lebih tinggi. Jam sudah mendekati pukul 17:15. Dan semua pengunjung harus sudah turun dari candi ini sebelum akhirnyaditutup (closed). Tampak beberapa turis asing masih asyik meneliti relief dan menunjukkan ketidak puasannya juga ketika terlalu cepat diminta turun oleh Satpam di sana. Wah, buyar nih rencana mengambil banyak photo Candi Borobudur, termasuk saat sunset yang katanya indah sekali itu.
-Karena penasaran tidak dapat membuat photo Borobudur saat sunset, maka saya limpahkan ke penjual postcard yang berada di pintu keluar dengan memborong beberapa postcard candi Borobudur (Catt: Inilah salah satu fungsi postcards, bukan? Memberikan kita photo suatu objek wisata yang tidak mungkin bisa kita buat karena hal-hal tertentu! Terima kasih “Postcard seller..!”). Beberapa photo sunset Borobudur tersebut yang dijual memang bagus, karena dibuat oleh photographer professional yang mungkin mendapat privelese kebebasan memilih lokasi dan waktu saat membuatnya. Tapi, banyak juga postcard sunset candi Borobudur yang dijual tersebut yang merupakan hasil rekayasa komputer (tidak natural). Hehe2... ada-ada saja trik penjual poscard di candi Borobudur ini....!(Untung yang beli seorang photographer nih, sehingga ketahuan tuh mana photo yang asli, mana yang palsu.. hehe2..)
Hm, apakah keindahan sunset Borobudur cukup terpuaskan hanya melihatnya dari sebuah postcard? Sebenarnya kalau mau serius menikmati sunset yang turun di candi Borobudur ini, ada juga paket khusus yang bisa kita beli. Yaitu dengan masuk atau menginap di hotel Manohara yang berlokasi di samping candi. Akan tetapi paket ini tidak menarik buat saya, karena harga tiketnya lumayan mahal buat kantong Backpacker, yaitu Rp 250.000. (Mahal banget ya..hanya untuk membuat photo sunset di Borobudur??)
- Jam 17:15 kami semua turun dari candi. Di pintu keluar, semua pengunjung tiba-tiba saja dikerubuti oleh para pedagang souvenir yang setengah memaksa menjual barang-barangnya sambil memelas. Mereka mengobral habis-habisan barang dagangannya seiring dengan datangnya malam dan semakin sepinya pengunjung Borobudur. Pada jam tersebut, semua kios disekitar candi sudah tutup. Oleh karena itu, Kaos bertuliskan “I Love Candi Borobudur” yang disiang hari bertahan diharga Rp 40.000 per buah, kali ini diobralhabis-habisan menjadi hanya Rp 15.000. Gile juga nih pedagang..! Berapa tuh ongkos produksinya ya...? Padahal kaos itu tidak jelek-jelek amat sih..., dalam hati saya.