Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

(Cerpen) Kisah Sepatu Versace Cibaduyut Di Acara Wisuda

23 Februari 2014   16:53 Diperbarui: 3 September 2015   11:21 518 0
Rumahku lebih ramai dari biasanya pertengahan September 2013 lalu itu. Keluarga ponakan dari kampung menginap  beberapa hari. Mereka datang untuk menghadiri wisuda sang ponakan yang jatuh pada hari Sabtu. Tapi anehnya, tidak satu pun dari mereka membawa sepatu resmi sebagaimana seharusnya jika hendak menghadiri acara formal. “Ke Bandung sekalian mau beli sepatu Cibaduyut!” kata salah seorang memberi alasan. Cibaduyut begitu terkenal hingga ke pelosok-pelosok kampung di Sumatra. Itu sebabnya, malam yang meski sudah mulai larut, kami paksakan juga untuk mengunjungi kawasan sentra pembuat sepatu terkenal tersebut. Malam itu kami telusuri sudut-sudut toko yang masih terlihat buka. Sebagian besar toko telah bersiap-siap tutup karena waktu mendekati pukul 22:00.

          Sejak awal, aku tidak tertarik membeli sepatu di sini, karena sering orang mengatakan “model-nya ok, tapi kualitasnya ...”. Jadi, aku hanya mau menemani saja. Ketika mampir ke beberapa toko yang masih buka tersebut, tiba-tiba pandangan mataku terpaku pada sebuah sepatu charming berwarna hitam mengkilat dengan model yang tidak biasa. Bentuknya terlihat seperti sepatu mewah. Kulit dan warna hitamnya mengkilat bersih bersinar, terlihat kokoh dengan potongan gaya yang begitu modis. Terpajang di salah satu etalase bersama temaramnya lampu malam. Di bagian depan sepatu tampak cap yang tak biasa dan sangat terkenal, yaitu Versace (merek sepatu buatan Italy). Aku terkaget-kaget! Kok sepatu kelas jetset itu ada di sini? tanyaku dalam hati penasaran. Meskipun aku tahu, kalau ada di Cibaduyut pasti hasil “kerajinan tangan” dan bukan sepatu asli karena harganya bisa-bisa sampai jutaan rupiah. “Wah, hebat juga nih… pengrajin Cibaduyut bisa meniru sepatu kelas dunia,” kataku ke adik ipar.  Dia yang dari kampong di Sumatra tersebut cuma tersenyum-senyum aja.

                     Uniknya, pada sepatu Versace mewah itu cuma dibandrol harga Rp 125.000. Yang membuat aku menjadi ragu. Kok murah amat …? tanyaku dalam hati, sambil memegang-memegang sepatu klimis tersebut. Tiba-tiba isteriku yang ikut rombongan nimbrung. “Jadi nih beli sepatu baru…,” ledeknya melihat aku terlihat serius berdiri terpakeu di depan sepatu tersebut. Lalu kusodorkan sepatu Versace tadi. “Ng usah … itu pasti palsu! Masak sepatu merek Versace bisa semurah begini.. ..,” katanya mengingatkan. Tapi pikiranku berpikir lain. Aku tahu Cibaduyut bukan sentra industri sepatu rumahan biasa. Kawasan ini sudah sejak puluhan tahun silam mendapat binaan serius dan sering menjadi handalan ekspor sepatu khas Bandung. Jadi, siapa tahu, karena Cibaduyut sudah sangat terkenal kepiawaiannya dalam mengolah sepatu, sepatu ini memang benar-benar sisa pesanan dari perusahaan Italy. Khan konsep Supply Chain Management memang memanfaatkan berbagai sentra industri pilihan negara berkembang yang terkenal murah untuk efisiensi. Buktinya, beberapa waktu lalu seorang teman dengan bangga menunjukkan sepatu baru yang di belinya di Singapore. Ternyata selidik punya selidik, sepatu itu merupakan hasil proses maklun dari  perusahaan Singapore yang bekerja sama dengan pengrajin sepatu di Cibaduyut. Artinya, menggunakan merek perusahaan Singapore, tapi sebenarnya dibuat di Cibuduyut ini.

            Siapa tahu… , pikirku. sepatu Versace ini juga hasil maklun. Jadi, paling tidak, menjadi murah akan tetapi tidak murahan. Pikiranku kemudian melayang ke salah satu kawasan di Italia yang dikelilingi dengan danau indah, dimana cafenya sering memainkan musik Francis Goya saat menyajikan berbagai jenis makanan spaghetti yang mengundang selera itu. Daerah itu memang terkenal sebagai sentra sepatu di Italy dan sering bekerja sama dengan berbagai sentra sepatu di berbagai negara berkembang. Muncul dorongan yang semakin kuat dalam diriku agar dapat segera memiliki sepatu merek Versace made in Cibaduyut ini. Lalu terdengar suara si ajo sang penjual toko yang  mulai “merayu” menawarkan sepatu Versace antiknya ini. Dia terlihat ramah dan bersikap apa adany. Tapi justru gaya menjual yang terlihat natural ini yang membuat aku semakin terobsesi.  “Ini juga tinggal beberapa pasang lagi, pak! Sisa stok kemarin.. ” katanya meyakinkan.

        Lalu dengan hati berbunga-bunga aku pun akhirnya membeli sepatu berwarna hitam mengkilap itu. Beberapa saat kemudian, kami pulang ke rumah dengan wajah yang tampak puas. Esok hari, Sabtu pagi aku bersama rombongan dengan penuh percaya diri memakai sepatu yang tampak mahal dan sangat bergaya tersebut, meluncur ke kawasan  wisuda di kampus di jalan Dipati Ukur, Bandung. Di antara ribuan orang keluarga wisudawan yang sudah membludak memenuhi pintu gerbang kampus besar ini,  aku semakin merasa bangga dan percaya diri saat merasakan: bagaimana orang-orang selalu melihat ke bawah kakiku tiap kali berpapasan. Aku berpikir, pasti mereka mencuri pandang melihat keindahan sepatu Versace yang sedang aku pakai.

 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun