Sejak Desember 2012, ada satu profesi baru bertambah, yaitu menjadi Asesor yang kemudian mengantar saya mengunjungi kota Semarang di Jawa Tengah selama beberapa hari. Di tengah tugas tersebut, saya manfaatkan ber-backpacking di Kota Lunpia dan Wingko babat ini. Jadi, profesi saya di kartu nama kini menjadi agak panjang: Dosen, Peneliti Terapan (Applied Researcher), Auditor TI, Trainer Sertifikasi (mengajar persiapan ujian sertifikasi internasional di bidang IT Management), IT Compliant Consultant, Travelling Writer and Asesor. Mudah-mudahan, profesi-profesi tersebut akan mengantar saya melalang buana lebih jauh lagi sehingga bisa menulis artikel seperti ini lebih banyak lagi. Khusus asesor uji kompetensi Teknisi Akuntansi ini: entah mengapa, sejak dua tahun sejak memperoleh sertifikasi sebagai penguji nasional ini, belum juga ditugaskan.
Hingga kemudian, suara halus staf administrasi LSP TA - BNSP di ujung telpon sana akhirnya menyapa, “Pak Rendra, siap ditugaskan sebagai asesor uji kompetensi ke TUK Polines di Kota Semarang, Jumat dan Sabtu 28-29 November 2014 lusa? Tapi, jangan kaget ya. Honornya tidak besar lho! (hehe2.), hanya Rp 2,7 juta mencakup semua ongkos perjalanan, penginapan, honor dan lain-lain. Mudah-mudahan bersedia ya pak..?”
Saya senang mendapat tugas kali ini. Dan tentu saja, saya bersedia. Karena bukankah sudah menjadi komitmen sejak dua tahun lalu ketika mengikuti pelatihan asesor lima hari yang melelahkan itu, untuk selalu siap ditugaskan ke mana saja? Profesi asesor ini memang bagi saya bukan semata-mata dimotivasi oleh uang. Profesi ini saya ambil karena saya senang melakukan pekerjaan apa pun yang belum pernah saya lakukan. Terlebih-lebih, jika pekerjaan tersebut memungkinkan saya ke kota yang belum pernah dikunjungi, dan dengan frame waktu yang “santai”, tidak “grusa-grusu”. Di sini kemudian, biasanya di sela-sela waktu tugas itu saya menyalurkan hobi “berpetualang” ala backpacker ke objek wisata unik di tempat tujuan baru tersebut. Bisa satu hari sebelum hari H penugasan, atau sehari setelahnya. Bukankah seorang traveler presenter terkenal dari National Geographic TV Channel, yaitu Diego Bunuel selalu mengatakan diakhir setiap acaranya: “bahwa selalu ada hal-hal yang menarik dari setiap perjalanan, sesederhana apa pun perjalanan yang anda lakukan itu? So, enjoy it!”
***
“Mau ke Semarang? Wah, asyik bisa makan Lunpia dan Wingko. Ikut dong..?” isteri saya yang selalu menjadi "asisten" hampir di setiap saya “berpetualang”, akhirnya ingin pula bergabung. “Ok, boleh! Tapi janji, harus siap ‘merih’ nih karena dengan perjalanan ala Backpacker yang murah meriah dan terkadang kurang nyaman,” jawab saya. Akhirnya seperti biasa, saya menyiapkan itinerary dan mencari informasi di google terlebih dahulu. Maklum, sudah lebih dari 35 tahun saya tidak pernah ke Semarang lagi.
Dalam persiapan ini, saya memutuskan berangkat ke tempat tugas tersebut satu hari lebih awal dari jadwal yang ditentukan. Maksudnya agar tugas tersebut tidak terganggu oleh kegiatan traveling ini. Untuk menghemat, maka tiket kereta api eksekutif yang saya terima tersebut, saya ubah menjadi tiket kelas ekonomi agar menjadi dua tiket. Akhirnya jam 21:30, hari Rabu malam kami berangkat ke Semarang menggunakan Kereta Api “Herina”, satu-satunya kereta api yang ada dari Bandung ke Semarang. Surprise! Ternyata prosedur pembatalan dan perubahan tiket KA sekarang ini mudah banget. Sudah lama juga saya tidak ke stasiun Bandung, yang ternyata wajahnya berubah banyak. Tampaknya tak kalah dengan stasiun KA di luar negeri. Kini tampak bersih, tertib dan petugas yang melayani terlihat lebih ramah. Calo-calo tiket tak tampak lagi berkeliaran seperti dulu. Benar kata banyak media, bahwa PT KAI di bawah kepemimpinan Ignasius Jonan (yang sekarang Menteri Perhubungan), telah berhasil mengubah penampilan fisik stasiun sebagai sentra pelayanan (hospitality?). Meskipun tiket kelas ekonomi kini ternyata lebih mahal, yaitu Rp 170.000 per tiket dan menggunakan satu kursi penjang untuk tiga orang. Namun gerbong ini bertambah fasilitasnya: dilengkapi dengan AC yang lebih nyaman dan peringatan “Dilarang Merokok”. Sehingga jauh dari kesan kumuh sebagaimana kelas Ekonomi di era sebelumnya. Kebetulan kami berangkat di hari kerja, sehingga bangku panjang tersebut praktis hanya diisi oleh satu orang saja (banyak yang kosong), karena penumpang sepi. Kursi berwarna hijau itu pun menjadi tempat yang santai dan lumayan nyaman buat tidur selonjoran di sepanjang perjalanan selama 7,5 jam tersebut menempuh jarak 450 Km.
Banyak hal yang bisa dilakukan dalam waktu panjang itu. Saya mulai membaca-baca kembali print out hasil googling. Diantaranya mencari penginapan kost harian yang mulai tumbuh di hampir semua kota besar di Indonesia saat ini. Kost harian yang ekslusif biasanya lebih murah dari tarif hotel, namun tetap nyaman dan aman.
Faktor penginapan (selain biaya transport), biasanya merupakan biaya terbesar dalam setiap perjalanan seorang Backpacker. Jatah menginap saya di hotel bintang tiga, yang Rp 500.000 untuk penugasan dua malam itu, kemudian saya ubah menjadi Rp 125.000 per malam untuk berdua dengan isteri, menginap di kost harian putri yang no telponnya saya temui di google. Suara ramah di ujung telpon sana merespon ketika kami telpon. “Oh mencari kamar? Ada, kita tunggu ya di Jl Klenteng sari, Tembalang, Semarang Atas. Iya, betul! Lokasi kost-kostan kami memang dekat dengan kampus UNDIP dan Politeknik Negeri Semarang,” sahut Ibu Sisca, suara yang ramah itu menjelaskan. Saya sengaja memilih kost-kostan putri, karena pasti lokasinya lebih tenang, tertib, tidak banyak suara orang tertawa keras dan ngobrol-ngobrol begadang hingga larut malam, sebagaimana kost-kostan putra umumnya. Uniknya, aturan di Semarang untuk kost-kostan putri memang hanya untuk wanita. Namun, kalau pria mau nginap boleh, asal membawa isteri.
***
Karena mata terasa belum terasa mengantuk, lalu di atas Kereta Api malam yang melaju dengan kencang itu, saya mulai membaca-baca informasi tentang kota Semarang lebih detail. Kota ini berpenduduk 2,5 juta jiwa, terdiri dari dua wilayah utama, yaitu Kota Bawah dan Kota Atas. Kota Bawah lebih merupakan pusat kota dan bisnis yang dekat dengan laut, sehingga udaranya terasa lebih gerah dan sering terkena banjir rob. Sebaliknya, Kota Atas berada di perbukitan yang berudara lebih sejuk. Terbayang kemudian karakter masyarakat pesisir yang garang, keras, ceplas-ceplos, jarang senyum dan tidak ramah. Akan tetapi, setelah tiba di sana, ternyata gambaran stereotype tersebut keliru! Orang Semarang sangat ramah. Keramahan orang Semarang boleh disetarakan dengan keramahan masyarakat Solo dan Yogyakarta. Sepertinya ada warisan budaya dan nilai yang sama yang membuat masyarakat pesisir ini berbeda. Apakah karena sama-sama berada di kawasan Jawa Tengah dengan kultur Jawa kental yang dipengaruhi oleh Budaya Mataram?