Goresan tinta merah darah sore itu aku tuangkan dalam kesucian kanvas berukuran 1m kali 2m, sayup sayup suara dentuman lesung kayu yang menumbuk kopi sangrai menebarkan aroma yang menjadi stimulus bagi diriku, entah kenapa ? aku merasa bahwa aroma kopi merupakan sebagian dari kehidupan damai dan sentosa dilereng gunung lawu ini. sentuhan kuas seakan mengikuti alur alur resapan imaji seperti tetesan air yang jatuh dari akar pohon banyan dimata air hutan seberang, ketenangan yang kudapatkan seolah menjadi faktor utama tingginya kualitas karya yang kuhasilkan, sebenarnya agak tersiksa ketika kami kelompok seniman yang mengatasnamakan gerakan lekra dianjurkan oleh bung karno untuk turun ke masyarakat, makan dengan mereka, ke ladang dengan para kaum proletar sebenarnya aku pun tak tahu masuk dalam kategori mana entah proletar ataupun borjuis, jangan jangan aku ini spesies baru yaitu seniman siluman (setengah proletar dan seperempat borjuis) pertanyaan itu lah yang belum terjawab sampai menuju pergulatan kematianku, namun sebenarnya aku pun tak tahu disebut sebagai seniman namun karya nya hanya aku nikmati dengan kolega kolega ku saja, aku lebih suka bergelut dengan mesin ketik dan kamera buntut merek nikkon yang kemudian membawaku menjadi mahluk yang paling dungu pada masa orde baru, sampai sampai aku pun ditolak oleh tanah air ku sendiri, tempat dimana tangisan anak laki laki kala menir menir belanda melakukan kunjungan dipabrik teh samping rumahku. Kelahiran ku membuat seluruh desa menjadi heboh karena aku terlahir dari rahim wanita pribumi yang lugu, aku pun tak tahu siapa sebenarnya bapak ku, pernah satu waktu ketika aku duduk diperapian karena kedinginan saat musim penghujan kutanyakan kepada ibuku, “simbok kenapa wajahku berbeda dengan wagiman atau paijo, kata mereka aku mirip dengan noni noni dan menir menir yang suka jalan jalan dengan kuda putih mengelilingi kebun teh di sabtu sore.
KEMBALI KE ARTIKEL