Tujuan akhir dari pembinaan dan pengelolaan sepakbola yang baik, serta bergulirnya liga domestik yang sehat adalah terbentuknya timnas yang kuat siap membela negaranya di sebuah pertandingan. Artinya sepakbola itu dipertandingkan adalah demi kejayaan NEGARA.
Siapa juara dunia terakhir? Tentunya jawabnya adalah Timnas Negara Jerman, tidak ada satupun yang menjawab Tim DFA (federasi sepakbola Jerman). Jadi dalam setiap pertandingan sepakbola yang dipertaruhkan adalah bukan nama federasi sepakbolanya akan tetapi nama besar sebuah negara. Apabila sampai kalah, apalagi kalah telak yang menanggung malu tentunya adalah NEGARA.
Negara mempunyai kewajiban memajukan sepakbola diantaranya dengan menyediakan infrastruktur seperti membangun stadion dan lapangan sepakbola termasuk membuat undang-undang atau payung hukum agar suatu organisasi federasi sepakbola dapat terbentuk. Federasi ini yang akan mengatur kegiatan persepakbolaan. Jadi federasi sepakbola bernaung di bawah NEGARA yang berdaulat.
Untuk pergaulan internasional, lalu federasi-federasi sepakbola dari berbagai negara ini bergabung ke dalam FIFA sebagai induk organisasi sepakbola dunia. FIFA ini mempunyai “kitab suci” yang berisi aturan dan kode etik sendiri yakni Statuta FIFA yang wajib dipegang oleh seluruh anggotanya. Statuta FIFA melarang segala bentuk intervensi suatu negara ke dalam federasi sepakbolanya. Oleh FIFA, hukum NEGARA berdaulat dianggap terpisah dengan Statuta FIFA.
Ketika kinerja sebuah federasi sepakbola belum kunjung juga menghasilkan timnas yang berprestasi atau malah peringkatnya melorot ke paling bontot, bagai punguk merindukan bulan, bagai jomblo yang di PHP in terus, tentu negara bertanya-tanya? Ada apa dengan federasi sepakbolanya?. Padahal selama ini NEGARA terus mendukung dan melakukan pembinaan.
Jadi adalah wajar, apabila NEGARA merasa perlu untuk campur tangan untuk pembenahan ke arah tata kelola sepakbola yang lebih baik. Meski niat negara adalah niat yang baik akan tetapi menurut FIFA apapun itu adalah tetap suatu bentuk intervensi yang jelas diharamkan.
Lalu dimanakah kedaulatan sebuah NEGARA? Tanpa ada negara maka tidak mungkin ada federasi sepakbola, coba kita perhatikan nama federasi yang selalu memakai nama negara di depan atau dibelakangnya. FIFA boleh keukeh dengan statutanya tapi juga harus menghormati hukum positif dan kedaulatan sebuah Negara, apabila itu demi kebaikan sepakbola sudah seharusnya hal tersebut dipertimbangkan dan dikerjasamakan demi sepakbola dunia yang lebih baik.
Apabila suatu negara sudah terlanjur mendapat sanksi FIFA maka NEGARA tak perlu galau seakan-akan dunia mau kiamat, kan sudah terlanjur juga gimana lagi. Saatnya untuk melakukan pembenahan total, sudah saatnya orang-orang baik yang punya nurani, bener-bener cinta sepakbola untuk tampil memimpin, turut mengelola sepakbola dinegaranya. Bukankah penyebab terjadinya kisruh sepakbola sebuah negara diantaranya karena diamnya ORANG-ORANG BAIK?. Orang baik jangan bersikap netral, orang baik harus berani menentukan sikap demi kebaikan sepakbola.
Namun saat ini kenyataan yang terjadi adalah keberadaan FIFA dipertanyakan karena skandal suap dan korupsi yang menimpa para pejabat tinggi FIFA. Berkenaan hal ini, Sepp Blatter yang baru terpilih lagi sebagai Presiden FIFA untuk periode ketiga, menyatakan bahwa ia tidak bisa memonitor setiap orang yang ada diorganisasinya.
Kalau Opa Blatter sendiri tidak mampu memonitor pejabat-pejabatnya yang notabene direkomendasikan oleh dirinya sendiri. Pertanyaanya, apakah selama ini itu juga berlaku untuk semua federasi yang ada dibawah naungan organisasi yang dipimpinnya. Artinya selama ini Blatter tertutup matanya atau menutup mata terhadap permasalahan sepakbola yang terjadi di negara-negara anggota FIFA?. Tapi yang jelas saat ini Blatter sudah resmi mengundurkan diri sebagai orang nomor satu di FIFA.
Dan apabila di sebuah NEGARA, penegakkan hukumnya masih tumpul ke atas tajam ke bawah. Lalu melalui survey, lembaga negara (baca:DPR) dinilai oleh rakyatnya ternyata masih korup. Termasuk juga federasi sepakbolanya yang dianggap ada mafianya. Kalau sudah begini, siapa lagi yang harus dipercaya oleh rakyat dan pihak mana yang dianggap jujur dan mampu untuk mengelola sepakbola yang lagi terpuruk?
Disaat kita jaya banyak teman yang datang, saat kita terpuruk kita rame-rame ditinggalkan. Barang siapa yang tetap ingin bersama kita disaat tiada satupun yang bisa kita berikan lagi, merekalah sahabat sejati kita. Saat kondisi persepakbolaan NEGARA kembali ketitik nol, nanti kita semua akan tau siapa-siapa saja yang punya nurani dan bener-bener cinta bola, tentu mereka-mereka ini akan rela berkorban dan mencari jalan terus berupaya sepenuh hati demi membangun, menghidupkan kembali dunia pesepakbolan.
Lalu siapakah mereka itu? Mereka itu adalah ORANG-ORANG BAIK yang selama ini masih diam dan sudah saatnya mereka sekarang harus berani turut mengambil peran demi perbaikan sepakbola dunia yang lebih baik dan lebih membumi.
Mungkin tulisan ini agak telat@SALAM KOMPASIANA.