Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Pesolek Kata-kata dan Matinya Kebiasaan Berpikir: Para Pembunuh Bahasa

31 Agustus 2010   13:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:34 108 0
Tulisan ini hendak saya mulai dengan sebuah kesimpulan. Kesimpulan itu berbunyi seperti ini: saya menemukan banyak dari kompasianer, khususnya mereka yang menulis sajak-sajak, pada dasarnya hanyalah pesolek kata-kata yang membunuh bahasa.

Menulis pada dasarnya adalah kegiatan berpikir. Bahkan sebuah sajak pun didalamnya mengandung tindakan berpikir ini. Perbedaan antara sajakdengan jenis-jenis tulisan lainnya - sebut saja prosa, esei, tulisan ilmiah atau sekedar curahan hati -, terletak pada caranya menyampaikan gagasan atau subjek pikiran.  Jika 'tulisan-tulisan lainnya' tersebut memiliki sifat yang denotatif dalam pengungkapannya, maka sajak sebaliknya. Sajak berbicara dengan bahasa yang konotatif.  Sajak mengungkapkan sesuatu dengan cara menyembunyikannya. Itulah mengapa metafora sangat penting dalam sajak. Kelebihan lainnya dari sajak adalah kecenderungannya untuk menciptakan bahasa baru. Melalui metafora-metaforanya, sajak mengutarakan gagasan-gagasan melalui cara-cara yang belum pernah diungkapkan sebelumnya.

Namun demikian, terlepas dari cara pengungkapan yang berbeda tersebut, tindakan menulis, apa pun bentuknya, tetap berangkat dari tindakan berpikir. Tindakan berpikir sebenarnya identik dengan sebuah proses pemecahan masalah, atau setidak-tidaknya tindakan mengurai persoalan. Dengan demikian, tindakan berpikir berangkat dari sebuah persoalan, umumnya dalam bentuk pertanyaan. Persoalan tersebut diurai sedemikian rupa hingga ditemukan pemecahannya, atau setidak-tidaknya berhenti pada penguraian tersebut. Ketika gagasan tentang air muncul dalam pikiran saya misalnya, saya tidak berhenti pada pembayangan saya tentang air. Jika saya berhenti pada subjek air saja, maka saya tidak berpikir melainkan menyebut air saja dalam pikiran saya. saya perlu mengurai persoalan-persoalan yang terkait dengan gagasan air yang muncul dalam pikiran saya tersebut. Misalnya, mengapa air selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah? Ketika saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan mengurainya menjadi sebuah rangkaian yang runtut, maka disitulah letaknya tindakan berpikir saya.

Sajak menjadi sebuah proses menulis yang rumit karena melibatkan proses bertingkat dalam penciptaannya. Pertama-tama, seorang penulis sajak harus memikirkan subjek yang sedang menarik dirinya untuk menulis sajak tersebut. Dalam proses ini, terdapat kinerja bawah sadar yang sifatnya misterius, dalam ketekutan si penulis bergelut dengan persoalan yang diajukannya, yang umumnya membawa penulis sampai pada penguraian persoalan dan/atau pemecahannya. Proses ini umumnya bersifat reflektif. Kinerja bawah sadar yang misterius ini sebenarnya tidak saja berlaku dalam proses penulisan sajak. Dalam proses penulisan "tulisan-tulisan lainnya," hal yang sama juga berlaku.

Setelah sampai di ujung proses reflektif tersebut, penulis sajak kemudian dituntut untuk bergulat dengan bahasa. Dia harus dapat menemukan struktur bahasa baru, melalui penemuan atau penciptaan metafora-metafora, yang menyatakan tindakan berpikirnya dengan cara menyembunyikannya atau membuatnya terlihat lebh samar-samar. Dengan cara penyembunyian itulah sajak tercipta. Mari kita ambil satu contoh salah satu puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Nokturno.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun