Namun sampai saat ini, belum ada respon langsung dari pemerintah pusat mengenai fenomena kenaikan harga, yang seolah dianggap suatu kewajaran dari sebuah siklus kenaikan harga yang terjadi setiap tahun.
Seperti diketahui, meskipun baru sebatas rencana, kebijakan pemerintah seperti menaikkan harga elpiji, bbm, tarif dasar listrik, dan sebagainya sangat rentan memicu kenaikan harga di pasar. Bila sudah naik, maka harga akan sulit untuk turun kembali.
Menjawab persoalan ini, kementerian perdagangan dan kementerian pertanian menyatakan bahwa tahun ini pemerintah terpaksa terus mengimpor kebutuhan pokok.
Seperti kedelai, daging sapi, dan gula, tapi volumenya akan dikurangi karena respons suplai belum mampu mengejar pertumbuhan permintaan di Tanah Air.
Hal tersebut akan diimbangi dengan upaya pemerintah dalam memacu produksi untuk mengejar angka permintaan dalam negeri.
Terus terang saja agak aneh membaca jalan berpikir pemerintah dalam menjawab permasalahan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok.
Pertama, kenaikan harga bahan kebutuhan pokok terjadi karena pasokan yang minim akibat cuaca yang tidak mendukung pertanian.
Kedua, untuk mencukupi pasokan maka pemerintah akan mengimpor sejumlah bahan kebutuhan pokok.
Ketiga, sejak akhir tahun 2013, sebagai upaya menyelamatkan ekonomi Indonesia akan menaikkan pajak impor.
Coba perhatikan lagi, mencukupi pasokan dalam negeri dengan impor yang pajaknya sudah dinaikkan oleh pemerintah. Artinya kenaikan harga bahan pangan akan menjadi sangat tinggi.
Persoalan pangan ini sangat serius karena menyangkut hajat hidup 250 juta penduduk Indonesia. Selama kebijakan impor pangan terus dilakukan sama artinya dengan membunuh rakyat secara perlahan.
Mustahil swasembada pangan dapat tercapai jika budaya impor terus dilestarikan oleh pemerintah. Dengan terus melakukan impor, artinya pemerintah mensejahterakan petani di luar negeri dan membunuh petani lokal. Swasembada pangan hanya dapat dicapai jika petani dan pertanian lokal dilindungi negara.