Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Wiranto Dalam Sejarah Konflik di Indonesia

9 Januari 2014   16:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59 357 1

“Keteguhan Pimpinan TNI (Wiranto) terhadap prinsip konstitusional itulah yang memungkinkan transisi Indonesia dari negara otoriter ke negara demokratis”

-Dr. Rizal Ramli, pendiri  Econit

“Ayo dialog, ayo bicara, ayo kita cari jalan kompromi…”

Ajakan Jendral Wiranto inilah yang membuahkan dialog antara pemerintah dengan aktivis saat Indonesia mengalami krisis politik 1998. Jalan perdamaian yang dikenal dengan Dialog Kemayoran.

Di tengah krisis, Wiranto hadir sebagai penengah antara pemerintah dengan masyarakat. Tanpa pernah mengambil kesempatan untuk berkuasa, Wiranto menjadi juru damai dan membawa Indonesia ke negara demokratis seperti saat ini.

Pasca reformasi, Wiranto tetap dipercaya mendampingi dua Presiden RI berikutnya. Tercatat, jasanya dalam mendamaikan berbagai konflik di Indonesia, membuahkan hasil yang dirasakan rakyat hingga saat ini.

Pertama, Wiranto menengahi konflik antara pemerintahan Presiden BJ. Habibie dengan kelompok Ciganjur (Gus Dur, Megawati, Nurcholis, Sri Sultan HB X, dll) saat melakukan konsolidasi demokrasi.

Dengan nalurinya sendiri, Wiranto membuat pertemuan di Wisma A. Yani dan membuahkan kesepahaman antara kedua pihak untuk melanjutkan proses reformasi dengan damai. Pertemuan tersebut dikenal dengan pertemuan Ciganjur Plus.

Kedua, jasa Wiranto juga terekam di Aceh. ketika rakyat Aceh mendapatkan ketidakadilan dengan adanya operasi militer (Operasi Jaring Merah) sejak tahun 1987 yang telah banyak menimbulkan korban jiwa.

Saat itu Wiranto langsung terbang ke Lhok Seumawe menemui tokoh Aceh dan mengumumkan pencabutan status Aceh sebagai DOM (Daerah Operasi Militer) sejak Agustus 1999. Wiranto menarik semua pasukan dari Aceh kembali ke basis masing – masing.

Ketiga, Wiranto juga hadir sebagai juru damai di Sambas dan Maluku saat terjadi konflik antar suku. Dengan sigap Wiranto langsung mendatangi daerah tersebut dan melakukan upaya damai.

Di Maluku, Wiranto mengirimkan para perwira  menengah dan tinggi asal Maluku untuk menemui kerabat – kerabatnya dan mendorong agar mereka agar berdamai.

“Saya tidak akan menerima kalian sebelum Maluku damai,” kata Wiranto.

Dua bulan kemudian Wiranto datang ke Ambon melakukan upacara adat sebagai symbol kembalinya budaya Slam Sarane (bersatunya pemeluk Islam dan Nasrani). Sambil makan patita sebagai isyarat perdamaian telah terwujud dan masyarakat kembali hidup rukun.

Keempat, Wiranto mendamaikan dua kelompok besar di Timor Timur yang selama 23 tahun berkonflik antara kelompok pro integrasi dengan anti integrasi. Di depan Uskup dan masyarakat kesepakatan damai ditandatangani.

Demikianlah Wiranto, bekerja dengan panggilan hati nurani. Juru damai tanpa publikasi.

“Indonesia bukanlah Burma atau Cina, dan lapangan Monas tidak menjadi lapangan Tian An Men yang kedua. Untuk itu rakyat Indonesia dan dunia harus berterimakasih pada Wiranto”

– Paul Wolfowitz, Mantan Dubes AS di Jakarta

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun