Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Pilihan

Delapan Jam di Kota Cirebon

2 Juni 2014   14:01 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:49 757 1
Malam itu saya tidur lebih  cepat dari biasanya. Besok saya harus bangun jam empat pagi, dada terasa berdesir membayangkan kegembiraan yang akan saya rasakan nanti. Saya pun membaringkan badan diatas peraduan, meringkuk ke kiri, posisi favorit saya, sambil menarik selimut. Saya mulai memejamkan mata, tapi…kenapa tiba-tiba perut terasa tidak enak, seperti diremas-remas. Awalnya hanya sedikit, namun lama kelamaan sakitnya makin terasa kuat. Keringat dingin mulai keluar perlahan. Saya tidak jadi tidur, duduk sambil mengatur nafas, mencoba mengurangi rasa sakit. Kok tidak berkurang juga, meskipun sudah dibantu minyak kayu putih dan dipijit oleh suami.

Saya mulai cemas, jangan-jangan saya bakalan batal ikut acara jalan-jalan besok bersama tim Diagonal (nama tim kerja saya). Kalau sakit begini, bagaimana mungkin saya bisa pergi ke Gambir dan sampai disana pukul lima pagi ? Padahal rencana ini sudah direncanakan sekitar dua minggu sebelumnya. Ya…kami tim kreatif Diagonal mengadakan acara jalan-jalan ke Cirebon. Kami memang sudah cukup lama tidak berekreasi ke luar kota bersama. Kadang-kadang kumpul untuk arisan atau merayakan ulang tahun, tapi hal itu belum tentu dilakukan sebulan sekali. Kesibukan pekerjaan adalah faktor utama yang menyebabkan kami tidak bisa sering mengadakan acara bersama.

Kembali ke soal perut yang melilit. Saya mencoba tidur kembali, meringkuk lebih dalam, berharap dengan kondisi perut yang ditekuk akan mengurangi rasa sakit. Minyak kayu putih tidak henti saya balurkan di hidung dan di belakang telinga. Semoga cuma masuk angin biasa, atau mungkin saya hanya nervous karena terlalu gembira…senewen kalau kata orang…Akhirnya,sakit perut tak diundang itu perlahan menghilang, saya pun tertidur pulas.

Rasanya belum lama memejamkan mata, bunyi alarm tiba-tiba menghentak kesunyian pagi. Saya bergegas mandi dan menyiapkan diri. Sukurlah, saya merasa sehat, sakit perutnya  sudah hilang entah kemana. Terimakasih Tuhan, sudah memperbolehkan saya berangkat Senin pagi itu. Tanpa seijinNya, saya tentu masih terbaring mulas di kamar.

Taksi datang tepat waktu, saya sampai di Gambir pukul lima kurang lima menit. Saya sampai lebih dulu, teman-teman belum kelihatan. Mungkin sudah hampir 10 tahun saya tidak pernah menginjakkan kaki disini. Stasiun ini sudah kelihatan lebih beradab, café-café kecil tertata rapi, tidak ada lagi pedagang asongan dan tukang semir sepatu berkeliaran. Bahkan sudah ada warung kopi yang terkenal seantero jagad itu, Starbucks. Tak lama kemudian, satu persatu personil Diagonal mulai bermunculan. Setelah lengkap semua, teh Inka membagikan tiket masing-masing, lalu kami naik menuju peron. O ya, sebelum naik ke kereta, foto bersama dulu seperti biasa, lengkap dengan seragam kami berupa kaus putih bertuliskan ‘I Love Monday’ So….Cireboooonnn…we are comiiiiiing...

Perjalanan ini sebenarnya bukan sekedar pelesir, ada tugas yang harus dilaksanakan selama berada di kota udang ini. Semua anggota tim dibagi menjadi lima kelompok untuk melakukan berbagai wawancara. Saya kebagian tim C bersama Wieke dan Astrid. Tapi karena Astrid kurang sehat, jadilah kami hanya berdua. Agak sepi memang karena kurang anggota, tapi nggak apa-apalah…yang penting kompak.

Di kereta, kami sarapan a la tim Diagonal. Menunya donat kentang dan siomay. Hmm…apapun makanannya, kalau disantap bersama memang rasanya beda, lebih nikmat karena dibumbui tawa ceria teman-teman semua. Semoga saja penumpang yang satu gerbong dengan kami tidak merasa menyesal pergi ke Cirebon hari itu; karena satu jam pertama perjalanan, hanya suara kami  yang riuh rendah terdengar, menguasai ruang dan waktu…hehee...

Sekitar pukul sembilan, kereta memasuki stasiun Cirebon. Sebuah mobil travel sudah menunggu kami. Perjalanan langsung dilanjutkan, sarapan kedua menuju warung empal gentong Mang Darma. Sebagai bocoran, di umur saya yang setua ini, saya belum pernah makan empal gentong…dan langsung ketemu yang endang bambang alias enak banget…Dahsyat memang bumbu kuah buatan mang Darma ini. Mungkin ada yang bertanya, sarapan kedua ya? Jelas dong, karena donat dan siomay rasanya belum cukup. Buat kami  para anggota tim,  makan adalah satu kegiatan yang sangat penting, karena selain untuk menjaga stamina, juga sesuai dengan motto kami yaitu: pasukan berani mati takut lapar…hahahaaa…

Dari empal gentong, kami kemudian bergerak ke tempat kerajinan batik. Salah satu toko yang dikunjungi adalah toko batik Lebet Sibu. Disini, teman-teman yang mendapatkan tugas reportase mengenai batik mulai melakukan tugasnya. Saya dan Wieke kebagian menulis tentang oleh-oleh khas Cirebon. Sambil menunggu yang lain melakukan wawancara,  kami berdua asik melihat-lihat kain dan baju, kali-kali ada yang cocok untuk dibawa pulang.

Selesai dari toko batik, perjalanan dilanjutkan ke mesjid Merah untuk sembahyang dan dilanjutkan melihat-lihat keraton Cirebon yang sudah berumur ratusan tahun. Karena tadi sarapan sudah telat, maka kami baru makan siang sekitar pukul tiga. Menunya adalah nasi jamblang Bu Nur. Bocoran kedua adalah, sekali lagi di umur saya yang setua ini,  baru sekali ini saya makan yang namanya nasi jamblang. Sambalnya memang luar biasa, tapi sayang disini saya tidak bisa makan banyak karena tidak tahan pedas.

Tidak terasa, kami sudah sampai di penghujung acara jalan-jalan. Tujuan terakhir adalah toko oleh-oleh khas kota Cirebon. Kami semua memang sudah tak sabar ingin membeli buah tangan untuk keluarga di rumah. Toko yang kami kunjungi bernama toko Daud, terletak di jalan Sukalila Utara.  Nah, disini saya dan Wieke mulai melakukan tugas. Seorang pelayannya mengatakan, salah satu produk yang paling laku adalah terasi. Menurut mbahGoogle, konon terasi adalah hasil racikan pangeran Cakrabumi dari Kerajaan Sunda. Bahan utamanya adalah udang rebon yang ditumbuk halus dan dicampur dengan rempah-rempah. Ketika lauk yang dibumbui dengan terasi ini dihidangkan kepada Prabu Rajagaluh sang penguasa kerajaan, ternyata ia sangat menyukainya. Terasi yang mulai dikenal sejak pertengahan abad 14 ini, diambil dari kata terasih yang berarti ‘menyukai’.

Selain terasi, ada  juga sirup Tjampolay yang dikenal dengan berbagai rasa seperti pisang susu, moka, rose dan leci. Minuman manis ini pertama kali dibuat oleh Tan Tjek Tjiu pada tanggal 11 Juli 1936. Sempat  berhenti berproduksi selama enam tahun karena meninggalnya Tan Tjek Tjiu pada tahun 1964. Pada tahun 1970, Setiawan, anak dari Tan Tjek Tjiu meneruskan kembali usaha ayahnya. Saat ini sirup Tjampolay masih menjadi primadona oleh-oleh khas Cirebon.

Bicara mengenai asal-usul kuliner memang menarik ya…Hampir tiap kota di Indonesia, memang memiliki ciri tersendiri dalam kekayaan kulinernya. Begitu pula dengan kota Cirebon. Selain dua yang sudah dibahas diatas, masih banyak makanan khas daerah ini yang bisa menggugah selera, terutama penganan untuk dijadikan oleh-oleh. Sebut saja gapit yaitu  penganan seperti kerupuk yang dibuat dari tepung aci; rengginang, tape ketan, krupuk ikan, telur asin sampai coklat. Beragam makanan ini mudah ditemui di berbagai toko oleh-oleh yang tersebar di Cirebon.

Kami berdua sempat bingung saat baru sampai, melihat begitu banyaknya penganan yang dipajang di toko, mau beli semua…tapi isi kantong terbatas…hahahaa… dan yang pasti bakal bingung membawanya kalau terlalu banyak.   Harga yang dipasang di toko ini relatif terjangkau, berada di kisaran 15.000 sampai 150.000 rupiah tergantung dari berat dan kualitasnya. Sebagai gambaran, gapit dijual 15.000-25.000 rupiah per bungkusnya. Rengginang dipatok 15.000 per bungkus. Terasi dibandrol dari harga 10.000-50.000; telur asin 4000 rupiah per butir.

Menurut Daud, sang pemilik toko, saat ini ia  mulai memperkenalkan sambal jamblang dan bumbu jadi empal gentong sebagai varian baru oleh-oleh khas Cirebon.  Ia mengatakan, selama ini orang yang datang ke Cirebon pasti selalu mampir untuk mencicipi empal gentong dan nasi jamblang.Tapi mereka kesulitan untuk membawa makanan tersebut sebagai oleh-oleh karena sifatnya yang tidak tahan lama. Karena itulah terbersit ide olehnya, kenapa tidak dibuat bumbu dan sambalnya saja? Jadi meskipun sudah kembali ke daerah asal, mereka yang masih ingin merasakan nikmatnya kuah empal gentong dan pedasnya sambal jamblang bisa menyajikannya sendiri di rumah.

Sejak dua tahun lalu, Daud sudah menjual bumbu empal gentong dan sambal jambal dalam bentuk kemasan botol  ukuran kecil. Baik bumbu maupun sambal, dijual seharga 25.000 per botol. Menurutnya, sambutan masyarakat akan produknya itu sangat baik, terbukti dengan selalu ada tamu yang datang ke tokonya untuk membelinya.

Delapan jam jalan-jalan kami di kota Cirebon pun berakhir. Memang terasa sangat singkat, tapi saya percaya perjalanan ini memberikan kesan yang sangat mendalam bagi kami semua. Dari awal sampai akhir, tidak henti-hentinya kami tertawa bergembira. Bahkan saya rasa, pak supir yang membawa kami keliling juga tidak akan melupakan merdunya suara kami saat berkaraoke sepanjang perjalanan…hahahaa….

Demikianlah secuil kisah perjalanan tim Diagonal di kota Udang. Semoga persahabatan yang tulus ini bisa terus berlanjut sampai tahun-tahun berikutnya.  Kalau boleh saya mengutip status facebook dari Prof. AS Hikam, begini tulisnya:

Sahabat, Sayyidina Ali bin Abi Thalib KW mengatakan, "Selemah-lemahnya karakter manusia, adalah yang tak mampu menghadirkan sahabat, tetapi yang lebih parah lagi adalah manusia yang menyia-nyiakan sahabat yang telah dimilikinya." Dalam kehidupan manusia,salah satu komponen penting yang menjadikannya lebih utuh adalah kehadiran liyan (others), khususnya sahabat. Semakin manusia memiliki kemampuan menghadirkan liyan dan sahabat yang dekat, ia akan menjadi lebih mudah dalam pergaulan dengan sesama untuk melengkapi kehidupannya. Maka sangat disayangkan jika ia takmemelihara, mempertahankan, dan memperluas kehadiran sahabat yang sudah ada;  apalagi kalau sampai meninggalkannya,  berarti ia sedang merusak kualitas kehidupan dan karakternya sendiri.--

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun