Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Perbandingan KUHP dengan RUU KUHP Eksekusi Terpidana Mati di Indonesia dalam Teori Kepastian Hukum

11 April 2023   07:58 Diperbarui: 11 April 2023   08:06 110 0
Comparison of the Criminal Code with the Criminal Code Bill for the Execution of Death Row Prisoners in Indonesia in a Legal Certainty Theory Approach Reizha Hanafi 1, Edwin Febianto 2 Universitas Pamulang Tangerang Selatan reizhahanafi@gmail.com 1, edwinfebi30@gmail.com 2 Abstrak Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU KUHP) untuk melakukan kodifikasi keseluruhan ketentuan pidana, termasuk yang berkaitan dengan pelanggaran berat HAM, ditandai dengan ketidak-konsistenan antara rumusan yang diatur dengan standar dalam sejumlah instrumen hukum. Dimana banyaknya kasus terpidana mati di Indonesia yang sedang menunggu untuk dieksekusi menimbulkan keresahan. Hal ini disebabkan dalam KUHP lama banyak masyarakat yang menganggap bahwasanya lamanya dalam masa tunggu yang diterima oleh terpidana mati tersebut bertentangan dengan HAM, sedangkan dalam RUU KUHP baru perspektif RUU KUHP, terpidana memiliki kesempatan selain grasi, peninjauan kembali dan banding, agar tidak segera ditembak mati, yakni adanya masa percobaan selama 10 tahun pada sanksi pidana mati (selama waktu yang ditentukan), sesuai dengan ketentuan Pasal 100 ayat (1) RUU KUHP. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan literature. Hasil penelitian dalam penulisan ini adalah bahwa pidana mati di dalam KUHP memiliki sifat sebagai pidana pokok, namun di dalam RUU KUHP sebagai pidana khusus atau pidana yang diancamkan secara alternatif. Sehingga dalam eksistensinya pidana mati akan tetap dipertahankan oleh Hukum Indonesia meskipun di masa yang akan datang pelaksanaannya akan berbeda antara KUHP dan RUU KUHP. Kata Kunci : Perbandingan RUU KUHP Eksekusi Terpidana Mati di Indonesia dengan Pendekatan Teori Kepastian Hukum. Fakultas Hukum Universitas Pamulang Jl. Raya Puspitek No.11, Serpong, Tangerang Selatan, 15310- Indonesia Tel / fax : (021) 7412566 / (021) 7412566 ISSN: - (Cetak), ISSN: - (Online) E-mail: penahukum@unpam.ac.id Open Access at: http://openjournal.unpam.ac.id/JPH 2 Jurnal Pena Hukum (JPH) Abstract The draft criminal code (RUU KUHP) to carry out the total codification of all criminal provisions, including those relating to gross violations of human rights, is characterized by inconsistencies between the formulas regulated and the standards in a number of legal instruments. Where the number of cases of death row inmates in Indonesia who are waiting to be executed has caused unrest. This is because in the old Criminal Code, many people considered that the length of the waiting period received by death row prisoners was contrary to human rights, while in the new Criminal Code Bill from the perspective of the Criminal Code Bill, convicts have opportunities other than clemency, review and appeal, so as not to be immediately shot to death, namely the existence of a probationary period of 10 years on the death penalty (during the specified time), in accordance with the provisions of Article 100 paragraph (1) of the Criminal Code Bill. The method used in this research is a qualitative research method with a literature approach. The result of research in this writing is that the death penalty in the Criminal Code has the nature of being the main crime, but in the Criminal Code Bill as a special criminal or an alternative threatened crime. So that in its existence the death penalty will still be maintained by Indonesia even though in the future its implementation will be different between the Criminal Code and the Criminal Code Bill. Keywords: Comparison of the Criminal Code Bill for the Execution of Death Row Inmates in Indonesia with the Legal Certainty Theory Approach. A. PENDAHULUAN Penerapan pidana mati di Indonesia dalam praktek hukum pidana, tidak jarang menimbulkan perdebatan. Ada yang pro ada pula yang kontra. Meskipun terdapat kontra akan adanya pidana mati tesebut, tetapi kenyataan yuridis formal pidana mati memang dibenarkan. Terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang berisi ancaman pidana mati, seperti makar pembunuhan terhadap Presiden (Pasal 104), pembunuhan berencana (Pasal 340), dan lain sebagainya. Bahkan terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang mengatur tindak pidana yang diancam hukuman mati. Diluar KUHP, pidana mati tidak jarang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana subversi (Undang-undang Nomor 11/PnPs/1963) dan pelaku tindak pidana narkotika (Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976). Fakultas Hukum Universitas Pamulang Jl. Raya Puspitek No.11, Serpong, Tangerang Selatan, 15310- Indonesia Tel / fax : (021) 7412566 / (021) 7412566 ISSN: - (Cetak), ISSN: - (Online) E-mail: penahukum@unpam.ac.id Open Access at: http://openjournal.unpam.ac.id/JPH 3 Pelaksanaan pidana mati dilakukan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak oleh presiden. Sama halnya dengan Negara Malaysia, eksekusi pidana mati di Negara Indonesia tidak dilaksanakan di depan umum, melainkan di tempat yang tertutup dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menyaksikannya. Pelaksanaan pidana mati bagi wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang sakit jiwa tesebut sembuh. Menurut RKUHP tahun 2019, pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika 1) Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; 2) Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; 3) Kedudukan tepidana dalam penyertaan tidak terlalu penting; dan 4) Ada alasan yang meringankan.(Tunggu et al., 2022) Apabila tepidana mati selama masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, pidana mati dapat diturunkan pidananya menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan Keputusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan hak asasi manusia. Akan tetapi, apabila terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan sikap yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan dan dieksekusi atas perintah Jaksa Agung. Apabila permohonan grasi terpidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.(Tunggu et al., 2022) Sebelum terpidana mati menerima hukuman mati, terpidana mati tersebut mengalami sebuah fase yang dinamakan dengan masa tunggu atau fenomena deret tunggu. Kedudukan masa tunggu eksekusi bagi terpidana mati di Negara Indonesia tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun, terdapat beberapa faktor yang dapat dibenarkan secara yuridis untuk menunda eksekusi. Pertama ialah, adanya permintaan penundaan eksekusi mati dari terpidana; Kedua, terpidana sedang dalam kondisi hamil; Ketiga, apabila terpidana mengajukan grasi; Keempat, terpidana mengajukan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan hukum; Kelima, terpidana mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) kapada Mahkamah Agung.(Tunggu et al., 2022) Jurnal Pena Hukum (JPH) Fakultas Hukum Universitas Pamulang Jl. Raya Puspitek No.11, Serpong, Tangerang Selatan, 15310- Indonesia Tel / fax : (021) 7412566 / (021) 7412566 ISSN: - (Cetak), ISSN: - (Online) E-mail: penahukum@unpam.ac.id Open Access at: http://openjournal.unpam.ac.id/JPH 4 Tidak adanya peraturan yang mengatur tentang batas masa tunggu eksekusi bagi terpidana mati, secara tidak langsung membuat terpidana mati mendapatkan dua hukuman yaitu pidana penjara (selama masa tunggu eksekusi mati) dan pidana mati (setelah waktu eksekusi ditentukan dalam waktu yang belum diketahui sebelumnya). Ketidak pastian hukum mengenai masa tunggu eksekusi mati di Indonesia berdampak kepada tidak jelasnya kapan eksekusi mati tersebut akan dilaksanakan. Ketidak pastian masa tunggu, hukuman mati tersebut menimbulkan berbagai dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya ialah terpidana dapat menjalani hidup lebih lama sehingga mendapatkan kesempatan untuk bertaubat.Kemudian, apabila terpidan amati terus menerus melakukan perbuatan baik selama masa percobaan, maka tidak menutup kemungkinan terpidana mati tersebut akan mendapatkan keringanan hukuman. Adapun dampak negatifnya ialah dapat menimbulkan fenomena hukuman ganda, yang dimana terpidana seolah-olah menjalani 2 (dua) jenis pidana pokok. Pertama, pidana penjara di dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas) untuk waktu yang tidak ditentukan sampai eksekusi mati dilaksanakan, dan yang kedua adalah pidana mati yang telah mamiliki kekuatan hukum tetap yang akan dieksekusi.(Ludiana, 2020) B. PERMASALAHAN Dari pembahasan diatas, maka penulis memfokuskan pembahasan pada dua pertanyaan, yaitu: 1. Bagaimana penegakan kebijakan terpidana mati antara KUHP dengan RUU KUHP di Indonesia ? 2. Bagaimana komparasi pendekatan asas kepastian hukum tentang eksekusi terpidana mati berdasar pada KUHP dan RUU KUHP ? C. METODE PENELITIAN Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis empiris yang dengan kata lain penelitian hukum sosiologis dan dapat disebut pula penelitian lapangan, yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataan di masyarakat. Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis sosiologis adalah mengidentifikasi dan mengkonsepsi hukum sebagai institusi yang riil dan fungsional dalam kehidupan yang nyata.(Ludiana, 2020; Tunggu et al., Jurnal Pena Hukum (JPH) Fakultas Hukum Universitas Pamulang Jl. Raya Puspitek No.11, Serpong, Tangerang Selatan, 15310- Indonesia Tel / fax : (021) 7412566 / (021) 7412566 ISSN: - (Cetak), ISSN: - (Online) E-mail: penahukum@unpam.ac.id Open Access at: http://openjournal.unpam.ac.id/JPH 5 Materi Penelitian Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Metode yuridis normatif yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Metode berpikir yang digunakan adalah metode bepridil deduktif (Soekanto and Mamudji 2001). Cara berpikir dalam dalam metode berpikir deduktif adalah penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah(Ruben & Sumigar, n.d.) D. PEMBAHASAN 1. Kebijakan Hukuman Pidana Mati di Indonesia Berdasar KUHP. Eksekusi pidana mati merupakan hukuman paling terberat yang diterima oleh terpidana mati. Hal ini dapat dilakukan ketika terpidana tersebut telah melakukan kejahatan berat yang memang sudah tidak dapat diberi toleransi. Pelaksanaan hukuman mati harus melewati serangkaian proses etika hukum sangatketat. Sehingga, eksekusi pidana mati tidak dapat dilaksanakan apabila masih ada unsur keragu-raguan. Hukuman eksekusi mati di Negara Indonesia telah diterapkan sejak tahun 1981, yaitu sejak lahirnya Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia. Diterapkan-nya hukuman mati di Negara Indonesia di karenakan tingkat kriminalitas di Negara Indonesia masih tergolong tinggi. Mengingat tujuan dari hukuman mati yaitu untuk membuat terpidana merasa jera dan masyarakat merasa aman. Oleh karena itulah penulis mengganggap bahwa hukuman mati masih sangat diperlukan di Negara ini, guna melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan berat yang dapat mengancam kelangsungan hidup serta rasaaman dalam diri masyarakat. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat beberapa pakar pidana, yang mengungkapkan tentang alasan tetap dipertahankannya pidana mati di Indonesia. Alasannya adalah karena pidana mati dianggap mampu dan efektif untuk memberantas kejahatan di negara ini. Pidana mati di Indonesia dipertahankan baik secara praktis maupun normatif. Secara praktis dapat kita lihat pada putusan hakim dalam sidang yang berulang kali menjatuhkan pidana mati, terutama pada tindak pidana narkotika, psikotropika dan terorisme. Sedangkan secara normatif terbukti dengan adanya beberapa Undang-undang yang menuliskan tentang pidana mati.(Wahyudi, n.d.) Proses pelaksanaan eksekusi pidana mati di Negara Indonesia dijalankan dengan cara Jurnal Pena Hukum (JPH) Fakultas Hukum Universitas Pamulang Jl. Raya Puspitek No.11, Serpong, Tangerang Selatan, 15310- Indonesia Tel / fax : (021) 7412566 / (021) 7412566 ISSN: - (Cetak), ISSN: - (Online) E-mail: penahukum@unpam.ac.id Open Access at: http://openjournal.unpam.ac.id/JPH 2022) 6 tertutup. Pidana mati dijalankan setelah lewat 30 hari terhitung mulai dari putusan atau hari dimana keputusan tidak dapat diubah lagi dan Keputusan Presiden tentang penolakan Grasinya sudah diterima oleh Kepala Kejaksaan Negeri. Apabila terpidana hamil, maka pidana mati dijalankan pasca 40 hari dari kelahiran anaknya. Akan tetapi, dalam lagi jangka waktu yang dibutuhkan oleh terpidana mati untuk sampai pada titik pelaksanaan eksekusi mati membutuhkan waktu yang begitu lama. Butuh waktu bertahuntahun bahkan hingga sampai puluhan tahun untuk terpidana mati mendapatkan keputusan incracht. Hal ini dibuktikan dengan data disebutkanbahwa pada tahun 2020 terdapat 538 terpidana mati,terpidana yang sedang menunggu waktu eksekusi mati di Lapas melebihi waktu yang ditentukan dalam SE Jampidum 3/1994. Jangka waktu yang ditempuh terpidana mati untuk menunggu eksekusi mati bervariasi. Diantaranya terdapat 4 (empat) dari 538 terpidana mati tersebut telah menunggu waktu eksekusi mati lebih dari 20 tahun. Kemudian, terpidana yang menunggu waktu eksekusi selama 16-20 tahun sebanyak 16 orang. Terpidana yang menunggu waktu eksekusi selama 11-15 tahun sebanyak 37 orang. Lalu, terpidana yang menunggu eksekusi mati selama 6-10 tahun seanyak 97 orang, dan yang menunggu selama 8 bulan-5 tahunsebanyak 204 orang. Hal tersebut dikarenakan oleh rentetan upaya hukum yang diberikan kepada terpidana mati serta masa percobaan selama 10 tahun yang diberikan kepada terpidana mati hingga putusan incrach benar-benar dijatuhkan.Sehingga penulis merasa bahwasanya terpidana mati di Indonesia seolah-olah menerima hukuman ganda, yakni berupa hukuman penjara yang tidak diketahui berapa lama jangka waktunya (selama menunggu waktu eksekusi mati). Akan tetapi, dengan lamanya masa tunggu yang diterima oleh terpidana mati, terdapat HAM dari terpidana mati yang terlindungi, yaitu hak untuk hidup, karena pemerintah sangat berhati-hati dalam hal penjatuhan eksekusi mati tersebut, supaya tidak salah sasaran.(Ludiana, 2020; Ruben & Sumigar, n.d.; Tunggu et al., 2022; Wahyudi, n.d.) Berbicara mengenai grasi, Indonesia memberikan kesempatan kepada terpidana mati untuk melakukangrasi dan berbagai macam upaya hukum lainnya seperti Kasasi, PK, dll. Upaya hukum tersebut dapat diajukan langsung oleh terpidana mati atau kuasa hukumnya. Dan sampai saat ini memang belum ada ketentuan yang mengatur tentang jangka waktu perihal masa tunggu di Indonesia. Akan tetapi secara yuridis, terdapat beberapa hal yang Jurnal Pena Hukum (JPH) Jl. Raya Puspitek No.11, Serpong, Tangerang Selatan, 15310- Indonesia Tel / fax : (021) 7412566 / (021) 7412566 ISSN: - (Cetak), ISSN: - (Online) Open Access at: http://openjournal.unpam.ac.id/JPH 2022) 7 dapat membenarkan perihal penundaan eksekusi mati tersebut. (Ludian, 2020;Ruben &Sumigar, n.d) Pertama, adanya permintaan penundaan eksekusi mati dari terpidana Dasar dari penundaan eksekusi mati bedasarkan permintaan terpidana terdapat dalam Pasal 6 ayat (2) UU 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradailan Umum dan Miiter28yang telah ditetapkan oleh undang-undang menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang yang menegaskan bahwa:"Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut."(Tunggu et al., 2022) Kedua, terpidana sedang dalam kondisi hamil Apabila terpidana mati sedang dalam kondisi hamil, maka diperkenankan baginya untuk menerima penundaan eksekusi mati sampai 40 hari setelah anaknya lahir ke dunia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 UU 2/PNPS/196429yang menegaskan bahwa:"Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan."Penundaan eksekusi mati bagi terpidana yang sedang hamil menunjukkan bahwa hukum di Indonesia begitu mempertimbangkan kondisi biologis terpidana dan janin. Karena apabila tetap di eksekusi ketika terpidana sedang hamil, maka akan ada dua orang sekaligus yang menerima hukuman, yaitu terpidana yang melakukan kejahatan dan janin yang masih berada dalam kandungan. Hal tersebut sangat tidak adil bagi si jabang bayi, lantaran dia tidak tahu menahu perihal kejahatan yang dilakukan oleh Ibunya. Oleh karena itu, Pasal 7 UU No 2/PNPS/1994 memberikan aturan tentang penundaan eksekusi mati bagi terpidana yang sedang hamil sampai bayi tersebut telah berada di dunia selama 40 hari.(Tunggu et al., 2022) Ketiga, apabila terpidana mengajukan grasi Ketentuan tentang pengajuan grasi yang pada UU No 22 Tahun 2002 Tentang Grasi tidak disebutkan secara spesifik tentang berapa jumlah maksimal pengajuan grasi yang diberikan oleh terpidana. Hal tersebut membuat terpidana semakin lama menjalani masa tunggu, lantaran apabila pengajuan grasi pertama ditolak, maka terpidana akan terus mengajukan grasi hingga beberapa kali, dengan harapan supaya dapat disetujui permohonan Jurnal Pena Hukum (JPH) Fakultas Hukum Universitas Pamulang Jl. Raya Puspitek No.11, Serpong, Tangerang Selatan, 15310- Indonesia Tel / fax : (021) 7412566 / (021) 7412566 ISSN: - (Cetak), ISSN: - (Online) E-mail: penahukum@unpam.ac.id Open Access at: http://openjournal.unpam.ac.id/JPH 8 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang memberikan ketegasan perihal pengajuan grasi yang hanya dapat diajukan satu kali saja.Dengan hadirnya revisi Undang-Undang tersebut diharapkan dapat membuat masa tunggu yang diterima oleh terpidana mati menjadi berkurang waktunya.(Tunggu et al., 2022) Keempat, terpidana mengajukan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan hukum Kasasi menjadi salah satu faktor yang secara konstitusional dapat menunda proses eksekusi mati. Hal ini dikarenakan putusan yang dapat diajukan upaya hukum kasasi merupakan putusan yang mengandung kekeliruan dalam penerapan hukum, cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang dan pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Oleh karena itu kasasi diajukan sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjalankan pidana mati. Kasasi dapat menjadi penyaring supaya tidak terjadi kesalahan dalam penerapan hukum yang dapat merugian terdakwa atau terpidana.(Tunggu et al., 2022) Kelima, terpidana mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) kapada Mahkamah Agung Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 pengajuan PK perkara pidana hanya dapat diajukan satu kali saja, hal ini tertera pada poin 3 (tiga) yang menyatakan bahwa:"Berdasarkan hal tersebut di atas,Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 (satu) kali". Mengenai batasan pengajuan PK tersebut berarti apabila permohonan yang diberikan ditolak, maka dengan demikian sebagai kausalitasnya adalah terpidana harus segera dieksekusi. Berdasarkan beberapa faktor penundaan eksekusi di atas, menunjukkan bahwa terdapat beberapa hal yang membuat terpidana mati di Indonesia mendapatkan kesempatan untuk hidup lebih lama, akan tetapi dapat membuat terpidan amati mengalami masa tunggu yang cukup lama, hingga akhirnya menerima hukuman ganda yaitu berupa penjara dan eksekusi mati dikemudian hari.(Tunggu et al., 2022) 2. Konsep Pidana Mati Berdasar Pada RUU KUHP Konsep mempertahankan pidana mati adalah sebagai usaha kebijakan criminal (Barda Jurnal Pena Hukum (JPH) Fakultas Hukum Universitas Pamulang Jl. Raya Puspitek No.11, Serpong, Tangerang Selatan, 15310- Indonesia Tel / fax : (021) 7412566 / (021) 7412566 ISSN: - (Cetak), ISSN: - (Online) E-mail: penahukum@unpam.ac.id Open Access at: http://openjournal.unpam.ac.id/JPH grasi tersebut. Karena hal tersebut muncullah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 9 Nawawi Arief 2014). Kebijakan kriminal menurut sudarto adalah kebijakan yang secara komprehensif dilaksanakan melalui badan dan peraturan resmi yang tujuannya adalah untuk penegakan norma masyarakat. (Ramdan 2018) Pelaksanaan pidana mati diharapkan hakim dapat lebih selektif dalam menilai dari segala aspek secara rasional dan logis dalam mengadili dan memutuskan suatu perkara, maksudnya adalah untuk agar masyarakat atau individu si pelaku dapat dilindungi dari kesewenangwenangan atau tingkat emosional dari masyarakat lain atau korban pada khususnya apabila sanksi pidana mati tidak ada dalam peraturan perundang-undangan. (Barda Nawawi Arief 2005) (Ludiana, 2020) Sejak awal dirumuskannya konsep RUU KUHP, pengaturan sanksi pidana mati mengalami beberapa kali perubahan. Berdasarkan RUU KUHP Tahun 1971/1972 dan RUU KUHP 1980, pidana mati masih dicantumkan sebagai pidana pokok, lalu RUU KUHP 1964, pidana mati dirumuskan ke pasal tersendiri dan disebutkan sebagai pidana pengecualian, kemudian pengaturan sanksi pidana mati sebagai pidana pengecualian ataupun sebagai bersifat khusus dalam pidana pokok telah dirumuskan sejak dalam Konsep RUU KUHP 1964,Konsep RUU KUHP 1983/1984, Konsep RUU KUHP 1989/1990, Konsep RUU KUHP 1991/1992, Konsep RUU KUHP 2004, Konsep RUU KUHP 2013, Konsep RUU KUHP 2015dan hasil rapat panja tanggal 25 Juli 2016 terakhir pidana mati diatur sebagai pidana yang dikhususkan untuk kejahatan tertentu.(Ludiana, 2020) Adanya perubahan pengaturan pidana mati menunjukkan bahwa pengaturan pidana mati masih menjadi persoalan berkaitan dengan pihak-pihak yang pro dan kontra dengan berbagai argumentasi masing-masing. Perkembangan pengaturan pidana mati juga menunjukkan bahwa pengaturan pidana ini selalu mengikuti perkembangan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam RUU KUHP, pidana mati tidak lagi dimasukkan kedalam pidana pokok seperti dalam KUHP yang berlaku sekarang, artinya bahwa hukuman mati sudah dikesampingkan dari sifat keharusan (imperatif) ketika hakim menjatuhkan suatu vonis terhadap tindak-tindak pidana tertentu, atau delik delik khusus tertentu. Dalam RUU KUHP, mengenai sanksi pidana diatur didalam pasal 64, sedangkan khusus mengenai apa saja macam-macam pidana pokok Pasal 65 RUU KUHP, yaitu: Pasal 64: "Pidana terdiri atas: Jurnal Pena Hukum (JPH) Fakultas Hukum Universitas Pamulang Jl. Raya Puspitek No.11, Serpong, Tangerang Selatan, 15310- Indonesia Tel / fax : (021) 7412566 / (021) 7412566 ISSN: - (Cetak), ISSN: - (Online) E-mail: penahukum@unpam.ac.id Open Access at: http://openjournal.unpam.ac.id/JPH 10 a. pidana pokok; b. pidana tambahan; dan c. pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang ditentukan dalam UndangUndang." Pasal 65: (1) "Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a terdiri atas: a. pidana penjara; b. pidana tutupan; c. pidana pengawasan; d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial. (2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat atau ringannya pidana." Adapun tentang sanksi pidana mati dalam sudut pandang/perspektif RUU KUHP tercantum pada Pasal 67 RUU KUHP yaitu: "Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif." Pasal tersebut diartikan oleh Pasal 98 yaitu: "Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat." (Ludiana, 2020; Ruben & Sumigar, n.d.) Barda Nawawi Arief (Ngadikun 2017) mengatakan bahwa adanya tujuan pemidanaan sebagai alasan, sanksi pidana mati sebagai sarana paling terakhir atau sebagai yang dikecualikan, sebetulnya bukan hanya sebagai memperbaiki, mengatur ataupun menertibkan individu yang terkait atau masyarakat secara umumnya. Ibarat dalam dunia kedokteran operasi atau amputasi juga bukan sebagai yang utama namun sebagai sarana terakhir. Dalam hal ini Barda Nawawi Arief membandingkan bahwa tujuan pemidanaan dalam pidana mati sama seperti menangani orang yang sakit yang dibawa ke dokter. Ditegaskan dalam Pasal 98 tersebut RUU KUHP bahwa "pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat".(Ludiana, 2020; Ruben & Sumigar, n.d.; Wahyudi, n.d.) Pasal 99 menyatakan bahwa : (1). Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden. Jurnal Pena Hukum (JPH) Fakultas Hukum Universitas Pamulang Jl. Raya Puspitek No.11, Serpong, Tangerang Selatan, 15310- Indonesia Tel / fax : (021) 7412566 / (021) 7412566 ISSN: - (Cetak), ISSN: - (Online) E-mail: penahukum@unpam.ac.id Open Access at: http://openjournal.unpam.ac.id/JPH 11 (2). Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum. (3). Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam Undang- Undang. (4). Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil, wanita yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan, wanita tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.(Wahyudi, n.d.) Jika ada seorang terpidana dijatuhi hukuman mati, maka berdasarkan perspektif RUU KUHP, terpidana memiliki kesempatan selain grasi, peninjauan kembali dan banding, agar tidak segera ditembak mati, yakni adanya masa percobaan selama 10 tahun pada sanksi pidana mati (selama waktu yang ditentukan), sesuai dengan ketentuan Pasal 100 ayat (1) RUU KUHP, yang berbunyi: "Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika: a. terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki b. peran terakwa dalam tindak pidana tidak terlalu penting, atau c. ada alasan yang meringankan." Kemudian, hal yang berbeda adalah jika selama 10 tahun pelaksanaannya pidana mati jika tidak dilaksanakan dan presiden menolak grasinya, bukan dikarenakan menghilangkan jejak, maka pelaksanaannya dengan Keputusan Presiden dapat digantikan dengan pidana lain yakni pidana seumur hidup. Hal ini terdapat di dalam pasal 101 RUU KUHP, yang berbunyi sebagai berikut: "Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden." Perbandingan dengan pengaturan sanksi pidana mati dalam KUHP, pengaturan sanksi pidana mati diatur lebih lengkap dan rinci dalam RUU KUHP. Namun pengaturan pidana mati disebut sebagai pidana yang sifatnya khusus, maka pidana mati menjadi pidana alternative atau sebagai sarana yang paling terakhir diterapkan, yang pada dasarnya tidak berbeda dengan pengaturan dalam KUHP. (Widayati 2017) Penetapan pidana mati merupakan suatu pilihan kebijakan hukum. Setelah penetapan pidana mati tersebut diambil maka diformulasikan ke dalam bentuk Undang-Undang (Hikmah and Sopoyono 2019). Kebijakan formulasi penerapan sanksi Jurnal Pena Hukum (JPH) Fakultas Hukum Universitas Pamulang Jl. Raya Puspitek No.11, Serpong, Tangerang Selatan, 15310- Indonesia Tel / fax : (021) 7412566 / (021) 7412566 ISSN: - (Cetak), ISSN: - (Online) E-mail: penahukum@unpam.ac.id Open Access at: http://openjournal.unpam.ac.id/JPH 12 pidana mati dalam RUU KUHP adanya kecenderungan keberadaan sanksi pidana mati dari mulai dibatasi, dikurangi bahkan dihapuskan. Disesuaikan dengan pelaksanaan sanksi pidana mati oleh berbagai negara lain yang meniadakan pidana mati. Pidana mati sebagai upaya dalam menegakkan HAM (Yahya 2013) juga ketertiban dalam masyarakat. Penerapan pidanamati kepada pelaku kejahatan adalah dengan sifat kejahatan yang berupa: (1) Melampaui batas kemanusiaan, (2) Mencelakai dan mengancam banyak manusia, (3) Merusak generasi bangsa, (4) Merusak peradaban bangsa, (5) Merusak tatanan di muka bumi, (6) Merugikan serta menghancurkan perekonomian negara (Kurnisar 2017). Maka dari itu pidana mati hendaknya memang diberikan untuk kejahatan berat. Sikap dan Pandangan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap sanksi pidana mati adalah mempertahankannya sanksi pidana mati sebagai sanksi pidana untuk kejahatan kejahatan tertentu dan memandang sanksi pidana mati tidak bertentangan dengan Pasal 28 A sampai Pasal 28 I UUD 1945 mengenai Hak Hidup nyatanya dibatasi dengan Pasal 28 J UUD 1945. MK juga berpendapat atas dasar ICCPR dan UU No. 39 Tahun 1999, dengan dasar HAM adalah milik semua orang, sebetulnya HAM dibatasi oleh HAM orang lain. Harapannya sanksi pidana mati dapat menimbulkan efek tertentu misalnya efek jera pada pelaku kejahatan (Bonitua and Purwoto 2017).(Ludiana, 2020; Tunggu et al., 2022; Wahyudi, n.d.) Dalam proses penyusunan RUU KUHP, pengaturan pidana mati tidak hanya karena upaya mengakomodasi 2 pihak yang saling bertentangan. Sebagaimana penjelasan dalam Naskah Akademik RUU KUHP bahwa pada dasarnya perkembangan pengaturan pidana mati adalah untuk menjaga keseimbangan antara aliran abolisionis dan aliran retensionis tentang pidana mati pada tingkat dunia dan jumlahnya cukup banyak dan siginifikan. (Ruben & Sumigar, n.d.) Data Tahun 2013 di dalam Naskah Akademik disebutkan bahwa pidana mati dihapuskan oleh 100 negara; dipertahankan oleh 7 negara sebagai penerapan tindak pidana tertentu; oleh 48 negara sebagai sanksi tindak pidana biasa, dan diatur dan tetap dilaksanakan oleh 40 negara, termasuk Indonesia.(Ludiana, 2020) Jurnal Pena Hukum (JPH) Fakultas Hukum Universitas Pamulang Jl. Raya Puspitek No.11, Serpong, Tangerang Selatan, 15310- Indonesia Tel / fax : (021) 7412566 / (021) 7412566 ISSN: - (Cetak), ISSN: - (Online) E-mail: penahukum@unpam.ac.id Open Access at: http://openjournal.unpam.ac.id/JPH 13 E. PENUTUP Kesimpulan Mekanisme kebijakan masa tunggu bagi terpidana mati di Indonesia relatif lama dikarenakan terpidana mati diberikan kesempatan untuk menerima masa percobaan selama 10tahun, dan terdapat beberapa hal yang dapat membenarkan perihal penundaan eksekusi mati tersebut. Pertama ialah, adanya permintaan penundaaneksekusi mati dari terpidana; Kedua, terpidana sedang dalam kondisi hamil; Ketiga, apabila terpidana mengajukan grasi; Keempat, terpidana mengajukan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan hukum; Kelima, terpidana mengajukan upaya hukum luarbiasa berupa Peninjauan Kembali (PK) kapada Mahkamah Agung. Hal tersebutlah yang membuat masa tunggu di Indonesia terkesan begitu lama.(Ludiana, 2020; Ruben & Sumigar, n.d.; Tunggu et al., 2022; Wahyudi, n.d.) Pendekatan asas kepastian hukum tentang terpidana mati di Negara Indonesia yang mana kurang memiliki asas kepastian hukum yang mengatur tentang jangka waktu masa bagi terpidana mati untuk menunggu eksekusi mati. Akan tetapi, apabila kita telisik lebih dalam lagi. Lamanya masa tunggu yang diterima oleh terpidana mati di Indonesia merupakan salah satu bentuk dari perlindungan HAM, karena memberikan kesempatan kepada terpidana untuk hidup lebih lama lagi, lamanya masa tunggu tersebut juga merupakan hal ini dikarenakan pemerintah sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman mati kepada terpidana mati tersebut sehingga meminimalisis terjadinya salah sasaran dalam pemberian penjatuhan hukuman eksekusi mati tersebut. Hal ini dikarenakan hukuman mati bukan hanya sebagai sarana pembalasan bagi pelaku tindak pidana berat, akan tetapi juga sebagai usaha menjaga serta menegakkan HAM.(Ruben & Sumigar, n.d.) Saran 1. Diharapkan dapat melakukan pembaharuan terhadap KUHP terkusus pada pasal masa putusan hukuman mati dijalankan agar kiranya dapat menjadi sumber rujukan serta landasan dalam pemutusan perkara di pemgadilan. 2. Selanjutnya lebih merekomendasikan mengenai batasan dan waktu dalam hal remisi dan pengajuan grasi terhadap hak terpidana mati yang melakukan kejahatan baik dalam bidang Jurnal Pena Hukum (JPH) Fakultas Hukum Universitas Pamulang Jl. Raya Puspitek No.11, Serpong, Tangerang Selatan, 15310- Indonesia Tel / fax : (021) 7412566 / (021) 7412566 ISSN: - (Cetak), ISSN: - (Online) E-mail: penahukum@unpam.ac.id Open Access at: http://openjournal.unpam.ac.id/JPH 14 pembunuhan berencana ataupun kasus lainnya agar tidak mempersulit proses putusan hukuman mati serta agar tidak menimbulkan celah bagi para terpidana. 3. Adanya perbedaan pandangan mengenai pidana mati, maka hukum pidana Indonesia perlu untuk membuat pengaturan mengenai pidana mati yang sesuai dengan HAM dan kondisi beragamnya macam-macam masyarakat Indonesia, jumlah penegak hukum yang masih terbatas, maka diperlukan aturan yang efektif agar dalam pelaksanaannya dapat dimaksimalkan sebaik mungkin. 4.Dalam rangka penyusunan RUU KUHP kedepannya dalam merumuskan pidana mati harus sesuai dan selaras dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi yang dijiwai oleh Pancasila dan diberikan hanya kepada tindak pidana berat yang menimbulkan kerugian secara luas. DAFTAR PUSTAKA 1. Ludiana, T. (2020). EKSISTENSI PIDANA MATI DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA (KAJIAN TERHADAP PIDANA MATI DALAM RUU KUHP). LITIGASI, 21, 60--79. https://doi.org/10.23969/litigasi.v21i1.2394 2. Ruben, B., & Sumigar, F. (n.d.). Pelanggaran Berat HAM dalam RUU KUHP: Tinjauan dari Hukum Internasional Gross Violations of Human Rights in the Criminal Code Bill: an Overview from International Law. www.komnasham.go.id/index.php/news/2019/9/5/1133/ 3. Tunggu, M., Terpidana, E., Di, M., Dalam, I., Teori, P., Hukum, K., Al, M., Suatu, S., Perbandingan, K., Helmi, M. I., & Refriani, D. A. (2022). MIZAN Journal of Islamic Law. 6(2), 189--202. https://doi.org/10.32507/mizan.v6i2.1624 4. Wahyudi, S. T. (n.d.). Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 1, Nomor 2 Juli 2012 15

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun