Hasil Kongres PSSI Maretpun yang sudah disiapkan laksana Final Liga Indonesia, namun bagai pertandingan sepakbola gajah bagi penggemar bola yang mengedepankan proses Fairplay untuk mendapatkan kemenangan, pun sudah dapat diduga. Dengan segala cara, suara-suara pro reformasi sepakbola Indonesia diberangus dan disingkirkan. Hasilnya lebih serupa pengukuhan kembali pengurus PSSI zaman Nurdin Halid plus Djohar Arifin sebagai tamengnya.
Anehnya, beberapa harian terkemuka dan para kalangan DPR menyampaikan bahwa Dualisme PSSI sudah usai. Apanya yang usai? kalau yang dianggap usai adalah kembalinya para pemain PSSI dalam satu wadah itu mah ibarat para penggemar bola tanah air di-kamuflase oleh KPSI pimpinan LNM. Sehingga dengan mengembalikan pemain nasional ex KPSI kembali ke Timnas seolah-olah KPSI sudah berhasil dan layak dielu-elukan bak pahlawan.
Memang, sekarang nampaknya paling tidak sepakbola nasional sudah masuk zaman edan. Seperti kata Emha... bahwa jaman edan Pujangga Ronggowarsito bukanlah kisah tentang zamannya, melainkan keadaan dua abad sesudah era beliau yaitu saat ini. ”Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun….” Dalam ungkapan sehari-hari orang menuturkan ”amenangi jaman edan, yang tidak ikut edan tidak kebagian, dan pasti kelaparan…” Lebih jauh lagi ...Teknologi peradaban korupsi seperti yang dipertontonkan saat ini mulai tahap niat hati, dan cara berpikir otak. Kemudian diaplikasikan pada setiap langkah kaki dan gerak tangan, di wilayah keuangan sampai pun agama dan perhubungan dengan Tuhan. Sungguh menyedihkan...
Selanjutnya nampaknya kita harus mulai membiasakan diri dengan berita-berita turunan dari korupsi dan manipulasi akal di kalangan persepakbolaan kita. Sepak bola Indonesia akan kembali dengan pepesan hingar bingar kemeriahan lokal tanpa prestasi yang membanggakan di tingkat regional apalagi internasional.
Namun, bagi para penggemar dan pelaku sepakbola sejati -pengusung fair play pasti pantang menyerah sesuai filosofi permainan sepakbola untuk tidak menyerah sampai peluit akhir. Mungkin sementara ini kita masih dapat berjuang meneruskan falsafah sepakbola (fairplay dan anti rasisme) mulai di lingkungan terkecil kita, sekolah kita, tempat kerja kita, dst. Sambil kita kembali mengumpulkan energi sambil belajar dari kegagalan reformasi dua tahun sepakbola Indonesia agar kita benar-benar dapat menyiapkan revolusi sepakbola Indonesia secara lebih baik.Dan sesuai dengan akhir Kidung Ronggowarsito ...Bagaimanapun juga walaupun orang yang lupa itu bahagia namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada.
Salam Sepakbola Sejati...