Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama featured

Hukuman Mati, Masih Perlukah?

8 Mei 2015   16:50 Diperbarui: 26 Juli 2016   11:22 2047 6

Banyak negara menerapkan hukuman mati bagi kasus-kasustertentu seperti korupsi, pengkhianatan pada negara, pembunuhan berencana, kejahatan kemanusiaan, terorisme, dan narkoba. Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara yang melakukan eksekusi mati. Salah satu hukuman mati yang dilaksanakan di Indonesia baru-baru ini adalah hukuman mati bagi para terpidana kasus narkoba. Eksekusi dilangsungkan di Pulau Nusa Kambangan, Jawa Tengah pada Rabu 29 April, 2014 dini hari WIB (Kompas,2015).

Kasus Narkoba

Indonesia merupakan salah satu negara yang dikenal memiliki hukuman yang keras bagi siapapun yang terlibat dalam transaksi narkoba. Pada awalnya Indonesia masih merupakan kawasan transit perdagangan narkoba. Narkoba yang ada ditujukan untuk dijual ke Australia, atau negara-negara tetangga lainnya. Namun seiring berjalannya waktu, Indonesia berubah dari sekedar tempat transit para gembong narkoba, menjadi salah satu pasar narkoba terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Selama akhir tahun 2014 sampai dengan awal 2015, Indonesia sudah mengeksekusi 14 orang terpidana kasus narkoba, 12 di antaranya merupakan warga asing. Kebanyakan dari para terpidana ini sudah ditangkap beberapa tahun sebelumnya, bahkan ada beberapa di antaranya sudah mendekam di balik jeruji selama hampir 1 dekade. Permohonan grasi yang diajukan oleh para terpidana inipun ditolak oleh Presiden Joko Widodo yang baru saja dilantik sebagai Presiden RI ke tujuh pada Oktober 2014 silam (Kompas,2015).

Presiden Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi menuturkan bahwa Indonesia saat ini sedang darurat narkoba. Menurut data BNN atau Badan Narkotika Nasionalpada akhir tahun 2014 Indonesia memiliki sekitar 4-5 juta jiwa pengguna narkoba. Setiap harinya sekitar 35 hingga 50 orang meninggal akibat penggunaan narkoba. 

Belum lagi menurut BNN, modus pengedaran narkoba terus berkembang, hingga baru-baru ini ditemukan beberapa jenis narkoba baru. Selain itu juga ditemukan kandungan narkoba pada sejumlah makanan ringan seperti kue kering, dan makanan ringan lainnya. Sampai saat ini BPOM - Badan Pengawas Obat dan Makanan - masih menyelidiki lebih lanjut mengenai efek yang ditimbulkan akibat konsumsi makanan yang mengandung narkoba.

Pro dan Kontra

Bagi kebanyakan kalangan di Indonesia, eksekusi mati bagi para gembong narkoba ini merupakan hal yang wajar. Beberapa masyarakat menilai perlu dilangsungkan eksekusi karena memang para gembong narkoba ini adalah ‘musuh dan penjahat’ yang merusak generasi bangsa.Pihak yang mendukung eksekusi mati pun berdalih, (termasuk Jokowi dan Jaksa Agung HM. Prasetyo) bahwa alasan perlindungan HAM bagi terpidana kasus narkoba tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan hukuman mati. 

Jokowi misalnya mengatakan bahwa jangan hanya yang dilihat dan diperhatikan hanya hak dari para terpidana, melainkan pertimbangkan juga hak-hak ribuan masyarakat Indonesia yang terkena dampak akibat penggunaan narkoba. Jaksa Agung HM. Prasetyo mengungkapkan bahwa eksekusi mati bukanlah hal yang menyenangkan, namun hal ini perlu sebagai upaya pemberantasan narkoba. Efek jera merupakan hal yang diharapkan dapat terjadi setelah adanya pemberian hukuman berupa eksekusi mati lanjutnya (BBC, 2015).

Menurut sejumlah pakar hukum, Indonesia memang memiliki landasan hukum yang jelas terhadap pelaksanaan hukuman mati. Berdasarkan UU2/PNPS/1964 disebutkan bahwa pelaksanaan pidana mati yang diberikan oleh pengadilan baik ditingkat militer atau sipil, dilakukan dengan ditembak sampai mati. Sementara untuk terpidana mati yang sedang hamil, maka baru bisa dilangsungkan 40 hari setelah yang bersangkutan melahirkan anaknya. Regu tembak berjumlah 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang perwira.

Namun demikian meskipun banyak masyarakat yang mendukung pidana mati, tidak sedikit yang menyuarakan hal yang berbeda. Setiap orang pada hakekatnya memiliki hak untuk hidup, dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Salah satu hak seseorang untuk mempertahankan diri atau self defense tertuang pada Castle Doctrine yang berisikan serangkaian prinsip hukum. 

Dalam Castle Doctrine seseorang dibenarkan secara hukum dan tidak dapat dituntut jika melakukan tindakan self-defense yang mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Namun dengan syarat bahwa yang bersangkutan sedang berada di dalam rumahnya sendiri, pelaku atau seseorang secara paksa menerobos masuk tanpa seijin pemilik rumah dan memiliki niatan untuk melakukan tindakan yang melukai secara fisik pada pemilik rumah. Doktrin ini didasarkan pada English Common Law yang menyatakan bahwa rumah dari setiap warga negara adalah kastil baginya, dan setiap kediaman warga negara adalah tempat berlindung teraman baginya (Wikipedia, Castle Doctrine).

PBB dalam deklarasi Universal of Human Rights tahun 1948 menyatakan bahwa hak untuk hidup merupakan hak dasar seorang manusia. Oleh karenanya hukuman mati merupakan sebuah pelanggaran pada HAM. Sekalipun seseorang melakukan kesalahan (terlepas apa pun kesalahannya), hak untuk hidup adalah sebuah hak yang melekat pada diri seseorang dan tidak seorang pun memiliki hak untuk mencabutnya (Wikipedia, Universal Declaration of Human Rights).

Sebagian kalangan menilai bahwa ada jalan yang lebih baik dari pada sekedar memberi pidana mati. Hukuman bisa diubah menjadi penjara seumur hidup tanpa peluang remisi atau grasi. Melihat dari bagaimana pelaksanaan eksekusi sudah terjadi dalam waktu yang lama, sementara tidak terjadi perubahan yang signifikan sebagaimana yang diharapkan. 

Maka bisa dianggap bahwa pelaksanaan eksekusi mati bagi kasus narkoba, tergolong tidak efektif. Jumlah pengguna narkoba meningkat tiap waktunya meskipun pemerintah sudah menangkap dan mengeksekusi banyak pengedar dan gembong narkoba. Oleh karenanya banyak pihak menilai pemerintah sudah harus mencari solusi lain dari sekedar menakut-nakuti pelaku narkoba dengan ancaman hukuman mati.

Pengawasan yang lebih ketat di setiap pintu gerbang Indonesia, serta pengecekan barang-barang yang masuk ke Indonesia, bisa jadi lebih efektif dalam menghentikan peredaran narkoba. Berdasarkan tinjauan lapangan dan geografis, Indonesia tersusun atas ribuan pulau, dan dari sekian ribu pulau tersebut pemerintah baru bisa menjangkau tidak lebih dari setengahnya. Masih banyak kawasan perbatasan Indonesia yang rentan terhadap imigran gelap, seperti perbatasan Malaysia – Indonesia di Kalimantan, atau Papua Nugini-Indonesia di Papua. Belum lagi menghitung luas pantai Indonesia yang begitu luas, sehingga penyelundupan dapat dengan mudah terjadi.

Dampak Eksekusi Mati

Pastinya ada beragam konsekuensi yang harus dihadapi pemerintah dalam menjalankan hukuman mati. Apalagi jika yang dieksekusi merupakan warga negara asing. Seperti yang belum lama terjadi, Indonesia sudah mengeksekusi sejumlah WNA yang berasal dari Brazil, Belanda, Nigeria, Australia. Sementara masih terdapat 2 orang terpidana kasus narkoba yang sampai saat ini (sampai dengan artikel ini ditulis) masih ditunda eksekusinya karena masih menunggu proses peradilan yang masih berjalan (MetroTV, 2015).

Respon masyarakat Indonesia umumnya relatif kondusif, bahkan tenang. Karena memang kebanyakan masyarakat mendukung eksekusi, atau andai kata tidak maka kebanyakan masyarakat Indonesia tidak terlalu menghiraukan perihal eksekusi. Lain halnya dengan yang terjadi dengan respon masyarakat internasional. Brazil misalnya menarik Duta Besarnya setelah seorang warga negaranya dieksekusi mati pada gelombang eksekusi pertama. 

Tidak hanya itu, Pemerintah Brazil juga sempat mengundur penerimaan surat kepercayaan atas Duta Besar RI untuk Brazil. Saat itu Duta Besar RI untuk Brazil Toto Riyanto hadir dalam upacara resmi pemerintah Brazil. Namun ketika Duta Besar lain dari Venezuela, El Salvador, Panama, Senegal, dan Yunani diterima, Duta Besar RI diberitahu bahwa surat penerimaan kepercayaan telah ditunda. Hal itu jelas memberikan pesan tegas tentang penolakan Pemerintah Brazil atas tindakan Indonesia dalam mengeksekusi warganya. Sementara Belanda yang seorang warga negaranya juga dieksekusi mengecam keras tindakan pemerintah Indonesia, dan telah menarik Duta Besarnya (Kompas, 2015).

Respon paling keras mungkin disuarakan dari Australia. Eksekusi mati atas 2 warga negaranya mendapat kecaman keras tidak hanya dari Pemerintah Australia saja, namun masyarakat Australia juga turut mengecam tindakan tersebut. Pada awalnya kasus penangkapan 2 orang warga Australia atas tuduhan narkoba tidaklah terlalu dihiraukan di Australia. Namun seiring berjalannya waktu, opini publik pun berubah. Para terpidana mati ini dianggap sudah menyesal atas perbuatan mereka, dan berusaha untuk menebus dosa-dosanya. Oleh karenanya pelaksanaan hukuman mati dianggap tidak manusiawi. Australia sendiri sudah memerintahkan Duta Besarnya untuk Indonesia untuk pulang ke Australia untuk konsultasi (NET TV, 2015).

Sejumlah media internasional juga menyoroti kasus suap pada hakim pengadilan di Indonesia.Hal ini tentunya membuat konsistensi dan integritas penegakan hukum di Indonesia dipertanyakan. Tidak hanya itu saja, eksekusi mati dinilai lebih merupakan upaya Jokowi untuk mendongkrak popularitasnya yang telah turun sejak disumpah menjadi presiden Oktober 2014 silam (News.com.au,2015).

Analisis

Indonesia memang saat ini sudah memasuki fase yang mengkhawatirkan pada pengguna narkoba. Dengan jumlah pengguna narkoba dikisaran 4-5 juta, dan lebih dari 15.000 orang meninggal tiap tahun akibat narkoba, membuat Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam kasus narkoba terparah (BNN, 2014). Belum lagi kondisi ini diperparah dengan pengawasan yang rendah sehingga sebagaimana sejumlah kasus yang baru-baru ini terungkap. Bahwa masih ada sejumlah napi yang mengendalikan perdagangan narkoba dibalik jeruji besi.

Namun perlu dilihat di sisi lain, bahwa masih ada banyak solusi untuk mengatasi narkoba. Seperti sosialisasi yang lebih gencar, pengawasan yang ketat (tidak hanya di bandar udara, ataupun terminal pelabuhan, namun juga pengawasan hingga daerah pelosok), dan regulasi yang lebih ketat. Mempertimbangkan bahwa hasil yang diharapkan dari eksekusi mati tersebut tidak mencapai targetnya, maka sudah saatnya kebijakan eksekusi ditinggalkan. 

Apalagi sebenarnya hukuman mati bertentangan dengan Pancasila yang menekankan pada sila kedua ‘Keadilan yang adil dan beradab’. Kata beradab tentunya mengacu pada tindakan yang manusiawi bukannya pada tindakan keji dan tidak beradab atau biadab. Vonis mati bagi terpidana kasus narkoba pun dinilai tidak manusiawi, karena masih banyak pelaku kejahatan lainnya yang turut merusak bangsa. Misalnya seperti koruptor, yang merusak perekonomian negara sehingga membuat Indonesia sulit untuk berkembang. Lalu juga aksi terorisme dan radikalisme seperti begal yang tidak hanya meresahkan masyarakat, bahkan secara langsung melukai dan membunuh masyarakat awam.

Tentunya dengan melihat hal ini, telah terjadi ketimpangan hukuman bagi para pelaku kejahatan. Sebagai contoh, para pelaku korupsi dan kasus suap yang merugikan negara hingga triliunan rupiah hanya dijerat hukuman penjara puluhan tahun. Itupun masih terbuka peluang untuk remisi atau pengurangan masa tahanan. Sementara pelaku narkoba ringan yang kondisinya hanya pengguna, bisa mendapat kurungan penjara hingga 2 - 4 tahun. Pantas saja jika kredibilitas penegakan hukum dipertanyakan.

Selain hal tersebut, pemerintah seharusnya juga dapat lebih arif dalam melihat konsekuensi atas eksekusi mati WNA. Penolakan keras sejumlah negara Eropa seperti Belanda dan Perancis yang notabene merupakan anggota Uni Eropa dapat menyulitkan Indonesia di Eropa. Perancis misalnya merupakan salah satu motor utama ekonomi kawasan Eropa dan Eurozone. Keputusan eksekusi bisa membuat Indonesia mendapat penalti (misalnya) dari Uni Eropa. Tentunya dampaknya sangat besar, mengingat Uni Eropa merupakan salah satu pasar potensial dan sampai saat ini merupakan pasar terbesar di dunia setelah China dan Amerika Serikat (mengingat Uni Eropa itu sendiri terdiri atas belasan negara yang menjadi satu kesatuan untuk kebijakan perdagangan).

Lebih dari itu, kemitraan Indonesia dengan Australia pun dapat terganggu. Karena sampai dengan saat ini, Indonesia dan Australia telah bekerja sama khususnya untuk menghentikan human trafficking, imigran gelap, perdagangan narkoba, dsbnya.Australia sendiri merupakan salah satu mitra terpenting Indonesia diluar kawasan ASEAN. Tentunya terganggunya hubungan bilateral kedua negara dapat menyebabkan mundurnya sejumlah kesepakatan kerja sama yang akan dijalankan (Wikipedia, Australia-Indonesia Relations).

Akhir kata, saya sebagai seorang manusia dan juga warga negara merasa bahwa pelaksanaan hukuman mati di Indonesia masih perlu dipertanyakan lagi kegunaannya dan efektifitasnya.Jangan sampai vonis mati dilangsungkan karena pemerintah sudah kehabisan akal mengatasi narkoba.Karena jika demikian adanya, maka gagal sudah revolusi mental yang digagas oleh Jokowi. Revolusi mental tentunya bukan karena takut, namun yang diharapkan adalah karena paham tentang substansinya sehingga masyarakat dengan sendirinya patuh hukum, bukan karena takut dihukum.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun