Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Potret Buram Wakil Rakyat

20 Oktober 2013   21:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:15 167 0
Oleh: Refael Molina

Penulis: Mahasiswa FKIP UKAW Kupang

MENJADI anggota DPR atau waki rakyat, baik di ibu kota negara, ibu kota provinsi maupun ibu kota kabupaten/ kota adalah hak setiap warga negara. Jabatan lima tahunan ini ramai di perbincangkan dalam lingkungan masyarakat sebagai jabatan paling strategis dan terhormat.

Coba kita tengok kembali kebelakang, ada banyak orang baik yang berlatar belakang politikus, maupun non politikus seperti para pengusaha, para aktivis organisasi sosial, para sarjana bahkan artis/aktris pun ketika menjelang pemilihan, mereka ramai mendaftarkan diri di KPU setelah memperoleh pintu partai untuk mencalonkan diri dengan memanfaatkan segudang kapasitas, kapabilitas maupun popularitas yang mereka miliki.

Mereka pun rela melakukan apa saja. Meluangkan waktu, tenaga bahkan ‘merogokocek’ biaya untuk menjadi ‘Wakil Rakyat’ atau anggota legislative. Liha saja, dipinggiran jalan terdapat sejumlah baliho terpampang wajah-wajah calon wakil rakyat dengan beragam ukuran di balut dengan sejumlah kata-kata bernada janji manis, giat mengunjungi panti-panti, hingga mendonorkan sejumlah uang untuk pembangunan rumah ibadat dan lain sebagainya.

Semuanya dilakukan, dikorbankan hanya untuk menarik simpati rakyat demi menduduki jabatan sebagai wakil rakyat. Setidaknya inilah langkah paling instant nan mujarab yang dimainkan oleh mereka.

Terlepas dari hal tersebut diatas , dewasa ini jabatan yang dianggap paling bergengsi dan terhormat itu sudah tidak lagi di minati. Buktinya, “citra DPR makin terpuruk. Dari riset baru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) terungkap bahwa mayoritas orang tua (56,43 persen) tidak ingin anak-anaknya kelak menjadi anggota legislator di Senayan.

Berdasarkan hasil survey, hanya 37, 62 persen orang tua yang berkeinginan anaknya menjadi anggota DPR. Sebayak 5,95 persen sisanya menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab…” (Headlinews pada harian pagi Timex, 19 November 2012:1)

Rupanya para wakil rakyat yang selama ini dianggap memiliki elektabilitas bahkan popularitas tinggi, selalu dipuja-puji, disanjung, dihargai dan dihormati oleh rakyat/konstituennya, namun kenyataan tersebut malah berbalik menjadi fiktif belaka .

Fenomena Korupsi
Salah satu penyebab utama terpuruknya citra DPR, hemat saya adalah dengan adanaya korupsi. Korupsi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perilaku para wakil rakyat kita, bak dua sisi mata uang. Lihat saja, beberapa politisi atau anggota DPR kita yang telah terjaring dalam kasus korupsi yang sudah diselidiki oleh pihak kepolisian maupun kejaksaan.

Mereka yang namanya paling santer dibicarakan yakni Muhamad Nasarudin, Anggelina Sondakh, Anas Urbangrum dan belakangan ini kasus yang dikemukakan oleh Dahlan Iskhan (Menteri BUMN-RI). Semuanya menjurus pada anggota DPR, ‘wakil rakyat’ yang berperilaku korup. Hal ini menambah panjang citra buruk DPR di kalangan masyarakat Indonesia. Inilah yang oleh hemat penulis disebut sebagai potret buram wakil rakyat.

Pembenahan
Fenomena korupsi menjadi hal yang tidak dapat dihindari dan terbantahkan bila kita berbicara tentang perilaku para wakil rakyat kita. Korupsi jugalah yang telah membuat citra wakil rayat kita tercoreng dan menambah panjang potret buram wakil rakyat kita. Sebenarnya untuk membenahi dan mengembalikan citra DPR yang kian terpuruk (potret buram wakil rakyat), setidaknya ada dua faktor maha penting yang hendak dikemukakan disini, yakni:

Pertama: Badan kehormatan DPR yang bertugas mengawal dan memeriksa perilaku anggota DPR selama ini belum menjalankan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan regulasi yang ada, oleh karena itu badan kehormatan DPR sejatinya memainkan peran dan tanggung jawabnya secara baik untuk meminimalisir fenomena korupsi dalam diri anggota DPR sehigga dapat memulihkan citra DPR yang kian terpuruk, hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh peneliti LSI Ruly Akbar saat memaparkan hasil survey tersebut bahwa, “selama ini Badan Kehormatan DPR terkesan belum melakukannya secara sungguh-sungguh bahkan terkesan membela pelaku”. Untuk itu maka Badan Kehormatan sejatinya perlu bekerja secara sungguh-sungguh demi memerangi perilaku korupsi.

Kedua: Hukuman (punishment) yang diberikan kepada pelaku korupsi. Di Indonesia yang katanya Negara hukum, ternyata hukum dapat dipermainkan, hukum bisa saja dijual belikan. Tengok saja, seorang anak kecil yang telapak kakinya kepanasan saat menjual koran terpaksa harus mencuri sandal di pintu masuk mesjid.

Ia pun harus diproses secara tuntas dan akhirnya dihukum sesuai perbuatannya, namun hal ini berbeda dengan para pelaku korupsi yang menghilangkan uang Negara yang bernilai miliyaran atau triliun rupiah, dengan kemampuan (financial) yang dimilikinya akhirnya meminta jasa kepada pengacara. Pengacara (lawyer) pun siap membela, mengurangi hukuman bahkan meniadakan hukuman. Secara terang benderang hukumpun tumpul keatas tapi tajam kebawah di Negara hukum ini. Ironis.

Berbeda dengan hukuman bagi para koruptor di negeri tirai bambu, para koruptor dihukum mati tanpa ampun karena dengan asumsi bahwa lebih baik hanya seorang (koruptor) yang mati dari pada karena ulahnya (korupsi) semua warga Negara bisa mati.

Hemat penulis para petinggi Negara yang ‘mengemudi’ Negara hukum ini seyogyanya berani menerapakan punishment (hukuman) seperti yang diterapkan oleh pemerintah Negara Komunis itu. Karena bila tidak, maka perilaku korupsi akan terus merajalela di Bumi Pertiwi ini dan citra buruk para wakil rakyat kita kian hari akan semakin buruk. Semoga! ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun