Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Andrea Hirata, Sang Pemimpi yang hendak menjadi Sang Penuntut

20 Februari 2013   12:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:59 1901 0
Hari ini saya agak kaget melihat berita bahwa Andrea Hirata akan menuntut seorang Kompasianer hanya karena tulisannya.
Sebagai seorang Kompasianer, walau jarang menulis di Kompasiana,
saya merasa ini adalah blunder terbesar Andrea Hirata dalam 10 tahun terakhir ini.

Terus terang, sebagai seorang yang baru pernah menonton film Laskar Pelangi,
saya juga dapat merasa kekecewaan besar pada rekan-rekan kompasianer atau penikmat karya Andrea Hirata.

Andrea Hirata sebagai seorang penulis yang baik akan selalu diharapkan memiliki kemampuan mengendalikan diri lebih baik.
Hal ini adalah wajar diharapkan, karena seorang penulis akan selalu memproses dulu kata-katanya lewat pikiran dan perasaan berkali-kali, sebelum ia "melemparkan" kata-katanya ke ruang publik.

*

Sebagai seorang mantan mahasiswa yang mempelajari ilmu komunikasi, saya melihat isu ini dengan satu kesimpulan klasik: berhentilah berdebat dengan publik.

Mas Andrea Hirata sebaiknya jangan melawan persepsi publik dalam "kasus" ini.

Apa persepsi publik yang saya maksud?
Persepsi publik tentang "kasus" ini cuma satu: AROGANSI.

Arogansi ini tampak jelas lewat tindakan Andrea Hirata yang akan memperkarakan permasalahan tulisan
saudara Damar Junianto di Kompasiana, "Pengakuan Internasional Laskar Pelangi: Antara Klaim Andrea Hirata dan Faktanya".

Walau kasus ini mungkin dimulai dengan perasaan dilecehkan dan direndahkan martabat Andrea Hirata sebagai seorang penulis yang dianggap berbohong dan dinilai melakukan pencitraan untuk kepentingan pemasaran, sekarang kasus ini sudah sampai ke titik yang saya tuliskan dengan huruf-huruf kapital diatas.
AROGANSI. Sekali lagi, AROGANSI.

Tidak ada seorang pun yang menyukai pribadi yang ia anggap arogan.
Jika pandangan satu orang itu telah berubah menjadi pandangan ribuan orang, wassalam.

*

Sebagai seorang penulis, Andrea Hirata tentu akan selalu diharapkan memiliki kemampuan berpikir dan analisis yang lebih baik.
Dan sebagai seorang yang belum lama dicintai publik, Andrea Hirata harus mendengar suara publik.
Saya melihat skenario cerita yang mengerikan kalau Mas Andrea Hirata tetap meneruskan niatnya yang kurang baik ini.

Kalaupun Andrea Hirata nekad melanjutkan upaya hukum, hanya ada satu ketakutan saya terhadap penulis ini.
Dibenci dan kemudian ditinggalkan publik yang pernah menyukainya dan karyanya.

Publik tentu tidak pernah berharap Andrea Hirata yang menuliskan Sang Pemimpi akan berubah menjadi Sang Penuntut.

Jangan mengecewakan harapan dan kepercayaan publik.
Sekali Anda menciderai kerpercayaan publik, mereka akan memberikan kebencian tanpa perlu dibayar.

*

Walau soal tuntut-menuntut ini saya lihat saat ini masih dalam tahap rencana,
saya memandang kerusakan yang terjadi terhadap persepsi publik terhadap Andrea Hirata sudah cukup parah.

Karenanya sudah seharusnya perlu dilakukan segera perbaikan-perbaikan yang akan menghentikan sinisme dan pandangan negatif yang sudah berkembang liar saat ini.

Solusi konflik ujungnya hanya dua. Perang sampai hancur-hancuran, atau berdamai sebelum kerusakan terjadi dimana-mana.

Walau mungkin masih ada kekecewaan,
saya pikir upaya-upaya penuntutan hukum sebaiknya segera dicoret dari daftar rencana pembelaan diri.

Sudah cukup banyak Kompasianer lain yang memberikan pandangan mereka kasus ini.
Salah satu saran yang terbaik adalah pernyatan: "tulisan harus dilawan dengan tulisan."

Bila Andrea Hirata ingin menghentikan suatu ide atau pandangan yang ia anggap "liar",
ia harus mengkreasikan ide kontras untuk melawan ide "liar" itu.
Memang saat ini telah ada satu tulisan di Kompasiana, "Andrea Hirata Menjawab: Penulis Indonesia Mencari Keadilan", yang mungkin "dititipkan" saudara Andrea Hirata kepada Kompasianer Agushermawan yang juga seorang sekaligus jurnalis.
Sayang sekali, tulisan itu sepertinya hanya terlihat lahir dari "mekanisme pertahanan diri", dan tidak menujukkan batin yang jernih atau keinginan Andrea Hirata untuk menempuh jalan damai.

*

Secara pendek saya, dan mungkin juga rekan-rekan kompasianer lain,
berharap solusi-solusi damailah yang akan digunakan Andrea Hirata atas masalah ini.

Berbanding terbalik dengan beberapa rekan Kompasianer yang menyarankan saudara Damar Julianto meminta maaf, saya malah berharap Andrea Hirata yang terlebih dahulu melakukan upaya rekonsiliasi.

Mengapa demikian? Karena tentu lebih mudah bagi Andrea Hirata mendekati saudara Damar Julianto, dibanding bila hal sebaliknya yang dilakukan.

Tidak bermaksud merendahkan saudara Damar Julianto,
tetapi akan jauh lebih mudah bagi Andrea Hirata untuk menemui Damar Julianto,
dibanding bila saudara Damar Julianto yang harus mengupayakan diri menemui Andrea Hirata.
Apalagi sudah diancam akan diperkarakan secara hukum.

*

Pada akhirnya, Andrea Hirata sampai saat ini masih seorang yang saya anggap lebih besar dibanding Damar Julianto. Karena itu sudah sepantasnya ia juga yang seharusnya memulai tindakan yang menunjukkan kebesaran hati yang sudah sepatutnya dimiliki seorang figur publik.

Saya berharap penulis Andrea Hirata mengambil langkah bijak ke depannya. Sesama penulis sudah seharusnya tidak saling menuntut hanya karena tulisan. Pencemaran nama baik adalah pasal favorit penguasa anti kritik, jangan pernah tergiur untuk mengikuti jejak mereka.

*

Salam Damai.

Pintu rekonsiliasi jauh lebih indah daripada pintu pengadilan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun