Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Bukan Salsa

3 Februari 2011   02:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:56 149 0
081619: Eng-Ing-Eng: teman kita itu mau bubar jalan saja. 081516: Kenapa? 081619: Suami ketahuan punya pacar. 081516: Aduh! Awalnya adalah sebuah niat baik: teman saya ingin memori di handphone suami kembali penuh. Caranya: ia bersihkan inbox dari pesan-pesan kadaluwarsa. Begitu juga dengan kotak sent items. Siapa sangka bahwa di kedua kotak itu ia malah membuktikan bukti perselingkuhan suaminya! Tanpa pikir dua kali, ia menembak sang suami dengan bukti yang bukan main banyaknya itu. Suami langsung gagu. Tak bisa bilang apa-apa. Terlebih lagi, ketika sang pacar yang berkutat di Cirebon, mengaku dengan lancarnya.  Dengan amarah yang amat sangat, ia memutuskan berpisah dari suami. Buat apa bersama kalau diduakan. Suami menurut apa katanya. Pergi.  Ke rumah kekasih baru? Mungkin saja. Ke rumah istri pertama pun bisa juga, mengingat teman saya ini istri kedua. Semua itu sampai kepada saya, langsung dari teman ini. Via telepon di pagi hari, ia bercerita dengan lengkap. Urut. Meski kadang kurang jelas karena disampaikan sambil menangis.  Katanya, ia tak habis mengerti mengapa dulu bisa terpikat bujuk rayu si pak pejabat. Mengapa dulu ia rela meninggalkan segalanya demi menjadi istri kedua?  Ia marah karena pengabdiannya yang telah belasan tahun dikhianati begitu saja. Ia tidak terima suaminya mengambil kekasih baru yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Padahal sebelum ini, si bapak bilang tak ada yang bisa mengalahkan teman saya dalam urusan membahagiakan suami. Teman yang satu ini menyesal habis-habisan. Mengamuk. Marah. Jengkel. Berhari-hari ia menelepon saya berjam-jam. Menangis berkepanjangan. Marah, karena ia kembali menemukan bukti baru: karcis kereta api Cirebon Express, surat cinta balasan dari Cirebon… Karena emosi, ia menghubungi rivalnya di Cirebon. Yang di ujung sana, ya menjawab semua pertanyaan, termasuk sudah sampai mana hubungan mereka. Ternyata sudah jauh banget!  Teman saya meledak-ledak. Ia mengamuk! Lalu muncul tekad luarbiasa: balas dendam.  Ia  siap mengabarkan pada siapa saja, bahwa suaminya yang pejabat teras instasi terkait apalah itu sebetulnya petualang cinta, menyengsarakan hidup perempuan, penipu… dan masih banyak lagi! Hidup ini bukan permainan ular tangga yang turun naiknya ditentukan oleh jumlah titik yang ditunjukkan oleh dadu. Hidup ini adalah pilihan yang kita lakukan dan kemudian harus kita jalani. Suka tidak suka –karena kita sudah membuat pilihan.  Dalam kasus teman yang meradang ketika tahu dia punya saingan baru, itu soal pilihan. Pertama, ketika ia mulai didekati si bapak. Ia bisa memilih pergi dan tak peduli, atau iseng-iseng main api. Ia memilih main api. Ketika hampir terbakar, ia bisa memilih berhenti dan kawin dengan pacar yang setia atau menerima ajakan untuk jadi pacar gelap. Ia pilih jadi pacar gelap. Pilihan berikutnya: berhenti jadi pacar gelap dan punya kehidupan baru atau jadi istri kedua. Ia memilih jadi istri kedua. Pilihan selalu diikuti dengan konsekuensi.  Memilih mencuri cinta si bapak dari istri pertama, berarti siap juga bila  nanti ada perempuan lain yang mencuri cinta bapak. Pilihan mencari tahu mengapa suami jadi sering ikut seminar berbuah sakit hati parah saat melihat segala bukti. Siapa pun bebas membuat pilihan.  Kita yang ngeri melihat pilihan itu,  cuma bisa memberi pandangan, nasehat. Paling banter mencegah. Kalau yang diberi pandangan menolak, kita tak bisa memaksa.  Tetapi saat memilih, tolonglah sediakan sedikit waktu untuk berpikir, menimbang dan meneliti baik buruknya pilihan itu.  Dan kalau itu sudah dilakukan, mohon untuk menyediakan diri buat bertanggung jawab pada pilihan itu. Untuk kasus teman yang satu ini, saya sedih. Marah. Bukan pada nasib buruk yang menimpanya, tetapi karena ia tak bisa mengingat lagi semua pilihannya di masa lalu. Berikut konsekuensinya.  Bahwa yang menimpa hari ini adalah lanjutan pilihannya di hari kemarin. Ia memilih jadi istri ketiga, berarti siap menerima istri ketiga, keempat, lima, enam… Lelah mendengar keluhan yang selalu disertai deraian air mata, saya terpaksa mendorongnya ke masa lalu. Saat ia membuat pilihan-pilihan hebat itu.  Sebelum membuat pilihan, tidakkah terpikir sedikit saja, bahwa dengan memasuki kehidupan lelaki ini, sebenarnya ia membuat istri pertamanya menderita? Begitu juga dengan anak-anaknya? Tidakkah terpikir penderitaan sang istri yang tahu –dari bisik-bisik orang di sekitarnya, gosip yang seliweran setiap kali ia lewat atau bicara di depan umum—bahwa setiap kali suami bilang ada raker bisa saja berarti berkemah di rumah istri kedua?  Tidakkah ia merasa bersalah telah merebut dan merusak kebahagiaan sesama perempuan dengan menjadi istri kedua?  Tidakkah ia berhitung betapa berat beban anak-anak lelaki itu bila bertemu dengan kerabat atau teman keluarga yang tahu ayahnya punya istri baru?  Teman saya itu menangis dengan keras, lalu membanting telepon. Ia tak lagi menghubungi saya hingga hari ini. Hidup memang bukan tari salsa: selangkah ke depan, selangkah ke belakang dan berputar. Hidup adalah pilihan. Ada kesempatan yang diberikan. Kita boleh memilih tetapi juga harus bertanggung jawab atas pilihan itu. Dan sesudahnya, jangan coba-coba lupa ingatan kalau pilihan kita berujung dengan rasa pahit.  Itu namanya mau enak sendiri aja. Ngeselin! http://rgaudiamo.wordpress.com/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun